Langsung ke konten utama

My Home, My Rules



Mungkin bagi orang awam yang tak tahu regulasi resmi au pair, uang saku €450 di Belgia atau NOK 5900 di Norwegia per bulan itu terlalu sedikit. Jauh dari upah minimum pegawai lainnya yang diwajibkan pemerintah setempat. Tapi mereka tak paham, bahwa uang saku yang diberikan ini adalah upah bersih yang diterima au pair tanpa harus bayar akomodasi dan makan setiap bulannya. 

Sekarang, banyak yang ketagihan jadi au pair tidak hanya karena embel-embel pertukaran budaya. Tapi kegirangan, bisa tinggal di luar negeri dengan jaminan dari host family plus dapat gaji. Sebagai orang yang mengundang au pair ke rumah mereka, host family wajib menyediakan fasilitas kamar yang baik dan bahan makanan yang cukup, ditambah dengan uang saku yang sudah ditetapkan pemerintah untuk mencukupi kebutuhan tersier au pair. Sebagai timbal balik, au pair hanya perlu membantu urusan rumah tangga dan menjaga anak dari si keluarga saat dibutuhkan. Win-win solution demi kehidupan yang nyaman antara kedua belah pihak.


Ada banyak sekali au pair beruntung yang mendapatkan studio, apartemen, atau kamar mewah sendiri dengan fasilitas lengkap layaknya hotel bintang lima. Saking baiknya, host family yang punya kolam renang pribadi bahkan memperbolehkan au pair mereka mengundang teman untuk pool party. Saya akui, kehidupan au pair yang penuh fasilitas seperti ini memang bisa membuat kita manja. Hanya saja, semua kemewahan yang didapatkan sebetulnya fana. Mengapa, karena kita hanyalah tamu dan sesungguhnya posisi kita tetaplah menumpang di rumah orang! 

Ingin kamar seluas atau semewah apapun juga, yang namanya menumpang wajib tahu diri. Kita tidak bisa seenaknya mengizinkan teman keluar masuk karena apapun mesti izin host family dulu. Kadang tak boleh makan di kamar, buka kulkas sedikit langsung diplototin, maksimal mengundang teman menginap hanya 1 orang saja, serta peraturan lainnya yang bisa membatasi ruang gerak. Yes sure, kita sudah "dianggap" layaknya keluarga. Tapi bukan berarti kita memang keluarga mereka, kan? Kembali lagi, status kita hanyalah menumpang. 


Sebagai mantan au pair yang sudah 5 tahun gonta-ganti keluarga, semua host family saya menyediakan fasilitas yang berbeda dengan peraturan berbeda pula. Tak seperti au pair lain yang hanya diberi kamar atau apartemen pribadi, saya pernah menempati satu rumah berlantai dua terpisah dengan rumah host family! Seemed exclusive dan mewah sekali, tapi peraturannya juga banyak! Menempati rumah sebesar itu, saya tak boleh menyalakan penghangat lebih dari 19 derajat Celcius. Masak di dapur sendiri pun dilarang karena host family ingin saya masak di dapur mereka layaknya seperti keluarga. Sempat beberapa kali mengundang teman menginap ke sini, saya malah ditegur, "apa teman mu tak punya rumah sampai harus menginap di tempat mu terus??" 

Pernah juga menempati studio luas yang satu lantai seperti milik sendiri, tapi tak boleh mengundang teman menginap lebih dari satu orang. Ada lagi karena dapur bergabung dengan host family, saya hanya boleh masak maksimal sampai jam 8 malam saja. Serta pengalaman lain yang membuat saya jengah dan bersumpah untuk tak mau tinggal bersama orang lain lagi! I want my freedom! I want my own home!

Tahu selepas kontrak masih harus tinggal di Norwegia karena lanjut kuliah, saya dan Mumu memang sudah memutuskan untuk tinggal bersama (kohabitasi) di awal 2020. Saya sudah mengenal Mumu sekitar 1 tahunan saat itu dan doi juga sering bolak-balik mengunjungi saya di rumah host family. Mumu sempat menyewa kamar dan tinggal bersama orang lain di satu atap, lalu mengamini juga bahwa tinggal bersama random person itu sangat tidak menyenangkan! Pemilik kos yang juga tinggal seapartemen dengan Mumu adalah tipe orang yang sedikit bossy dan mean. Selain jorok dan pemalas, si pemilik ini punya peraturan semua harus hening di atas jam 11 malam. Keadaan mesti tenang tenteram, tak boleh ada suara apapun. Tak enaknya menyewa kamar dengan orang lain di satu apartemen seperti ini, kita tetap harus tahu diri dan menghargai pemilik kamar yang lain. 

Makanya keputusan untuk pindah dan tinggal bersama adalah hal yang sangat kami nantikan. Tak hanya soal kebebasan, tapi juga finansial. Tapi masalahnya, saya yang baru selesai jadi au pair saat itu belum punya pekerjaan lain. Mumu yang sudah duluan pindah dari apartemen lama, memutuskan tinggal lagi bersama orang tuanya sekalian menunggu saya mendapatkan pekerjaan.

Mumu sebetulnya berusaha membujuk saya tinggal dulu bersama orang tuanya untuk sementara waktu, sebelum akhirnya kami siap secara finansial untuk mencari apartemen baru. Meskipun memang sudah saya anggap seperti orang tua sendiri, namun tinggal bersama orang tua Mumu memberikan rasa sungkan baru. Jadi daripada merasa sungkan, saya memutuskan menyewa kamar di student housing sekalian cari kerja paruh waktu di sekitar Oslo. Kalau kata teman saya dulu, "Kamu belum pernah kan tinggal sendirian yang betul-betul sendirian? Coba saja dulu sebelum memutuskan tinggal bersama dengan pacar mu. Kamu akan menyadari kalau tinggal sendirian sebetulnya lebih asik ketimbang bersama orang lain dalam satu atap!"

Oke, saya coba! Tapi nyatanya, tinggal sendirian di kamar sepetak kecil yang hanya berukuran 11m2 juga tak seasik yang teman saya katakan. Belum lagi harus berbagi fasilitas dengan mahasiswa lain yang kadang malas cuci piring dan bersih-bersih. Di kosan mahasiswa tersebut, dalam satu koridor saya berbagi fasilitas dapur dan kamar mandi bersama 7 orang lainnya. Tiap mengunjungi saya ke kosan, Mumu geleng-geleng kepala dan harus mencuci ulang peralatan dapur yang akan kami gunakan. Mumu memang punya obsesi yang tinggi dengan kebersihan, makanya doi selalu mengutuki dapur kosan yang dinilai jorok.


Hingga ketika saya diterima bekerja sebagai pelayan restoran, kami akhirnya mantap berkeliling mencari apartemen baru. Syarat utamanya, tidak di tengah-tengah Oslo! Sebagai anak pedesaan yang introvert dan hampir sepanjang hidupnya tinggal di tempat sepi, Mumu sangat benci pusat kota Oslo dengan segala keruwetannya. Sementara saya, cenderung lebih ingin tinggal di sekitar Oslo mengingat mobilitas yang fleksibel ketika harus berangkat ke kampus dan bekerja. Saya mungkin sudah cukup terbiasa tinggal di Oslo bersama host family dengan akses transportasi 24 jam. Tapi karena Mumu punya mobil dan harus bolak-balik masuk tol setiap hari ke tempat kerja, artinya ada biaya parkir dan biaya tol yang harus kami tambahkan tiap bulannya. Di sini, saya harus mengalah dan memutuskan untuk mencari apartemen yang letaknya fleksibel di antara antara Oslo dan tempat kerja Mumu.

Cari apartemen yang affordable dan nyaman ternyata tidak mudah! Apalagi saya dan Mumu cenderung punya ekspektasi yang sama. Intinya kalau saya suka, pasti Mumu juga suka. FYI, kebanyakan apartemen di Norwegia sekarang sebetulnya tidak hanya berupa bangunan yang tinggi, tapi juga berlokasi di satu rumah dengan si pemilik. Sekitar tahun 2016-an, pemerintah setempat mulai membatasi pembukaan lahan hanya demi membangun hunian baru. Alternatifnya, orang-orang kaya yang punya ruang tambahan di lantai bawah rumah mereka boleh menyewakan tempat tersebut sebagai cikal bakal apartemen baru. Dengan syarat, ruangan tersebut memiliki sumber cahaya cukup, jendela yang banyak sebagai pintu keluar darurat, serta dilengkapi dengan fasilitas lain layaknya bangunan apartemen.

Di rumah host family saya yang dulu, lantai satu mereka terbagi menjadi dua bilik studio; satu milik saya dan satunya disewakan ke orang lain. Meskipun terdengar seperti "basement", tapi studio tersebut jauh dari kesan bawah tanah yang gelap dan sempit. Apartemen seperti ini biasanya punya pintu keluar sendiri dan harganya tidak jauh berbeda dari kawasan apartemen bertingkat yang selama ini kita tahu.


Dua minggu pencarian, saya dan Mumu akhirnya sama-sama suka dengan apartemen di sebuah distrik yang letaknya 27 km dari pusat Oslo. Harganya lumayan murah, dapurnya luas, lokasinya sangat tenang, dan si pemilik adalah pasangan paruh baya yang ramah. Di lantai satu rumah mereka, ada dua bilik yang disewakan dengan luas apartemen yang berbeda. Memang secara peta, lokasi apartemen ini sudah masuk Zona 2 dan terlihat jauh bagi yang sudah biasa mondar-mandir wilayah Oslo saja. Beberapa orang yang tahu saya pindah ke distrik ini pun sedikit skeptis mengapa anak muda macam kami mau pindah ke tempat 'sejauh ini', karena biasanya hanya keluarga beranak yang lebih memiliki lokasi hunian di luar Oslo.

Well, banyak yang tak tahu bahwa distrik ini sebetulnya punya kereta reguler yang bisa langsung sampai Stasiun Pusat Oslo 20 menit saja. Halte bus dan supermarket hanya 4 menit jalan kaki dari apartemen. Ada juga fellesterasse atau teras umum luas yang langsung menghadap ke danau dan jalan raya. Tanpa mau egois, lokasi ini juga saya nilai strategis karena berada di tengah-tengah tempat kerja Mumu dan Oslo. Anyway, tempat nongkrong tak perlu harus di ibukota, karena di Zona 2 pun tetap tersedia mall dan aktifitas lainnya.

Danau dekat rumah saat beku, ramai dikunjungi untuk bermain hockey dan ice skating

Walaupun banyak yang berkilah apartemen kami jauh, tapi saya dan Mumu tetap bersyukur karena akhirnya kami sekarang punya tempat sendiri. Kelaparan jam 3 pagi, tinggal ke dapur dan masak apapun yang kami mau. Ingin hosting acara, bisa undang berapapun dan siapapun yang kami mau tanpa perlu konfirmasi boleh atau tidak dulu dari si pemilik rumah. Undang teman menginap, silakan saja tanpa perlu takut kalau host family tak suka. Sekarang kami yang punya tempat, kami juga yang punya peraturan. 

Ada pendapat yang mengatakan bahwa teman, pacar, ataupun suami, baru ketahuan aslinya ketika kita tinggal satu rumah. Tadinya suka tampil wangi, bisa jadi setelah tinggal bersama baru terlihat aslinya yang jorok. Ada yang sebelumnya terlihat manja dan romantis, setelah tinggal bersama ternyata kasar. Namun untungnya pernyataan tersebut tidak berlaku bagi saya dan Mumu. Sebelum memutuskan kohabitasi, kami sudah cukup mengenal satu sama lain. Selama pacaran dan masih jadi au pair, Mumu sering bolak-balik mengunjungi dan menginap di studio yang saya tempati di rumah host family. Dari sini Mumu sudah menunjukkan sifat aslinya yang pembersih, telaten beres-beres, dan tak segan membantu pekerjaan rumah apapun. Bahkan ketika akhirnya tinggal satu atap, 95% urusan dapur jadi tanggung jawab Mumu dan saya layaknya nyonya besar yang tinggal tunggu masakan datang 😆 Berikut beberapa hasil karya Mumu di dapur yang sempat terabadikan kamera!

Beberapa jenis masakan Mumu yang hampir tak pernah mengecewakan

Tak ada tabiat asli yang membuat kami berdua kaget. Malah karena kohabitasi seperti ini, saya melihat Mumu tidak lagi seperti pacar, namun saudara sendiri. Awalnya ibu saya di Indonesia memang kurang setuju saat tahu saya harus kohabitasi. Namun akhirnya beliau mengerti bahwa keadaan saya yang harus kuliah dengan biaya sendiri di negara orang memang tidak mudah. Apalagi ketika kehilangan pekerjaan dan tersandung urusan finansial karena pandemi, tak ada lagi yang bisa saya lakukan selain menghemat biaya dengan jalan kohabitasi. Ingin dipaksa harus tinggal sendiri-sendiri pun, saya tak punya uang kalau harus bayar kosan tiap bulan. In the end, ibu saya hanya memberi nasehat, "Ya sudah. Jaga diri yang baik saja, Nak." 

Saya juga merasa bahwa keluarga Mumu sangat peduli dengan kami. Orang tua Mumu adalah tipikal orang tua yang gemar berbagi ke semua anak-anak mereka. Kalau ada bahan makanan berlebihan, mereka selalu mengundang anak-anaknya ke rumah datang untuk makan malam. Di musim panas, orang tua Mumu setidaknya 2 kali mengirimi kami sekantung besar bahan makanan organik yang dipanen langsung dari kebun. Kadang ada stroberi, sirup buah handmade, daging domba segar, ataupun telur ayam yang dibeli dari petani lokal. Karena ketelatenan bapaknya yang suka mengolah makanan, saya dan Mumu ikut rajin membuat sirup sendiri dari buah-buahan liar yang kami temukan di hutan!

Bahan makanan organik dari orang tua Mumu

Hidup juga rasanya terasa real dan lebih dewasa ketika kami harus patungan bayar apartemen tiap bulan dan belanja ke supermarket mingguan sendiri. Kalau kata Paramore, "Ain't it fun living in the real world? Ain't it good being all alone?" Kadang saya yang memikirkan ide resep makan malam dan Mumu yang eksekusi masak, lalu saya yang bagian beres-beres dapur. Bisa juga saya yang vakum lantai, Mumu yang mengepel. Sekompak itu karena kami tahu bahwa tempat ini adalah milik dan tanggung jawab bersama, terlepas dari nama kami berdua yang juga tertera jelas di dalam kontrak.

Kalau dulu bisa bermanja ria buka kulkas langsung tersedia bahan makanan, sekarang kami harus pandai berbelanja kebutuhan rumah tangga. Mesti berhemat sebijaksana mungkin tanpa mengorbankan rasa lapar. Kalau sedang tak ditempati, ada baiknya mematikan penghangat yang memakan Watt besar. Daftar belanja pun bukan lagi sepatu atau baju baru, tapi perkakas dapur, selimut wol, sprei linen, vas bunga, pohon Natal, ataupun bantal sofa pelengkap interior apartemen. 

Kesimpulannya, menumpang di rumah orang lain dan tinggal bersama orang asing itu memang tidak pernah menyenangkan, kecuali tinggal bersama orang yang tepat. Berbahagialah bagi kalian yang akhirnya punya tempat tinggal dan bisa punya peraturan sendiri. Cheers untuk kebebasan masak mie rebus krontang-krontang jam tiga pagi tanpa membangunkan si pemilik rumah!


Apa yang paling membuat kalian kesal ketika masih harus tinggal bersama bersama orang lain ― entah itu orang tua atau roommate?



Komentar

  1. Sudahlah, tinggal di rumah sendiri itu memang jauh lebih enak daripada numpang, walaupun numpangnya di tempat mewah. Aku juga udah ngga banget tinggal bareng orang lain, walopun se easy-going apapun flatmatenya.

    Zone 2 ini keknya deket kantor lama ku dulu deh, di Sandvika hahaha, aku dulu waktu dikirim kantor untuk kerja di Norway selama 1 tahun tinggalnya di Høvik, karena memang kantornya di Sandvika. Terus baru tau kalau banyak kolega memang rumahnya pilih tempat yang sepi banget (walaupun masih anak muda juga), ngga kaya disini yang anak muda pada milih tinggal di kota/Copenhagen.

    Soal cohabitation, aku setuju perlu banget demi "mengenal" pasangan lebih lanjut, kebiasaan baik/buruknya kek apa. Banyak banget orang Indonesia yang nyinyir soal ini dikira tinggal bareng itu cuman sekadar urusan ranjang (sama juga yang mau nikah muda, karena udah "ngebet"), plis deh, it's far more than that. Klo tinggal bareng aja ga tahan, gimana mau mikirin nikah (on why banyak ibu2 di Indonesia yang komplen suaminya suka naro handuk sembarangan atau jorok, yaaa pada ga keliatan sih sebelumnya). Maap jadi curcol :P

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nahahahaa.. iya! Tempat kita emang deketan sama Høvik!
      Ce, ku pikir Cece dulu kerjanya di Lysaker bukan? :O

      Kalo udah dibawa2 ke budaya Asia, emang kayaknya susah banget ngasih pengertian kohabitasi ini. Apalagi dibawa ke Indonesia, yang memang agama dan hidup tuh gandengan banget. Apa2 pasti bawa Tuhan, salah semua dah intinya. Dosa ya dosa, gak boleh diganggu gugat apapun alasannya.

      Hapus
    2. Ngga, kantorku di Sandvika, selemparan kolor dari stasiun, makanya klo baru dateng dari airport gampang banget tinggal ambil Flytoget nyampe kantor.

      Hapus
  2. Halooo kak, saya seneng banget baca tulisan jujur kakak. Kenalin kan nama saya Kiky. Kak, itu bagaimana kakak memberi pengertian ke Mumu tentang kita yg dosa kalau have sex sebelum sah/nikah? Tapi saya juga ga judge jika sudah melakukannya karena manusiawi sebenarnya kan kak kalau juga sudah melakukan itu terlepas dosa atau tidaknya. Saya selalu doakan kakak bisa happy dan sejahtera ya kak di Oslo. Moga murah rezeki ya buat kakak <3. Salam dari Pontianak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thank you, Kiky, udah mampir ;)

      Sebenernya ya, ini tuh balik lagi ke pengertian kamu dan pasangan. Jujuran aja, gak semua bule otaknya ngeres dan gak semua otak cowok Indonesia isinya agama mulu. Maksud ku di sini, mau itu bule ataupun cowok Indonesia, mereka tuh sama aja; COWOK! Even kamu gak tinggal bareng sekali pun, kalo otaknya ngeres, ya tetep bisa "maen" dimana aja. Ada yang nyewa hotel, maen di kebun sawit, maen di kebun pisang, dll.

      Jadi balik lagi di posisi ini, siapa yang punya prinsip. Kalo kamu udah megang 1 prinsip itu, ya pertahankan! Kalo cowoknya gak bisa dikasih pengertian dan demennya ngacengan mulu, udah beneran tinggalin aja deh.

      Hapus
  3. Tapi apakah udah ada antisipasi worst case jika misalkan putus sama pacar nanti mau tinggal dimana? Mengingat kamu tidak punya pekerjaan tetap juga di Norwegia dan dapat kerjaan stabil agak susah jikalau tanpa residensi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sekarang aku udah punya kerjaan part-time lagi kok :D
      Kalo pun terburuknya mesti putus dalam beberapa bulan, ya paling balik2 aku nyari kosan lagi di satu apartemen sama orang. Justru aku masih punya valid residensi di sini, karena status ku masih pelajar :) Memang belum saatnya dapet kerjaan tetap, karena jadi mhsw di sini cuma boleh kerja 20 jam/minggu doang. Belum tau deh rencana sehabis lulus ini gimana, mungkin ya cari kerjaan tetap di sini, mungkin ya pulang ke Indonesia. We'll see.

      Hapus
  4. Di Norwegia apakah ada tipe visa "tinggal seatap" untuk non-EU yang punya pasangan (straight/gay) orang EU?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Residensi pelajar beda dengan residence permit lainnya namun notabene tidak boleh digunakan untuk bekerja full-time.

      Hapus
    2. Ada, permit kohabitasi. Tapiiii.. syaratnya susah 😅😅😅 Gak segampang Eropa Barat pokoknya.

      Cuma dua yg boleh apply permit ini:
      1. Expecting anak bareng
      2. Pernah tinggal seatap minimal 2th yg mesti dibuktikan dengan kontrak rumah/alamat yg sama

      Satu2nya cara kalo mau gabung sama pasangan ya menikah.

      Hapus
    3. Halo Angel,

      Iya. Memang kebjikannya belom pada boleh kerja full-time kalo masih jadi pelajar. Tapi bukan berarti juga gak punya uang dan nyewa apartemen sendiri :D

      Norwegia juga punya permit lain yaitu "job seeker permit" untuk para lulusan sini kalo emang mau nyari kerjaan sehabis lulus. Jadi even status ku "cuma" pelajar sekarang, tetap bisa punya kesempatan dapet kerjaan tetap kalo emang niat nyari.

      Hapus
  5. Uwow, tulisan kamu ini lumayan kontroversial ya, karena bahas tentang tinggal bareng pasangan sebelum menikah. Aku juga melakukannya kok (HAHAHA). Sejak tahun 2017 sampe nikah tahun 2020, cuma bokap yang tahu aku tinggal bareng pacar. Di satu sisi sih aku bangga sama dia karena nggak ember, tapi di sisi lain aku membayangkan, mungkin dia harus "pasang badan" dengan berbagai asumsi dari anggota keluarga lain tentang gaya hidupku.

    Aku pernah tinggal sendiri, sama housemate, dan sama pacar (Sekarang suami). Yang paling enak selain tinggal sama partner ya tinggal sendiri. Aku gak begitu suka tinggal sama housemate karena aku introvert dan gak gitu suka basa-basi dengan teman serumah. Untukku, teman serumah gak harus jadi teman. Kalo dikasih pilihan, aku juga gak mau serumah sama temanku, karena takut lihat dia punya kebiasaan yang bikin aku ilfil dan akhirnya gak temenan lagi.

    Ada lah satu cerita housemate ngeselin. Saat itu kami numpang subletting di rumah seorang cewek, peraturannya banyak sekali. Dia ga suka liat kamar mandi kotor, tapi sebenernya dia yang bikin kotor. Pas keluarganya datang untuk ngecek rumah, dia mau nyalahin pacarku, bilang kamar mandinya kotor karena gak bersih. Padahal dia sendiri yang ngotorin. Sejak itu kami kapok tinggal sama housemate dan buru2 finalisasi beli rumah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. BANGET, Crys!!!!!

      Aku nulis ini maju mundur mikirin silang kultur. Udah ampir setahunan pending. Tapi karena emang udah terlalu eneg tinggal sama host family meskipun kamar semewah apapun juga, akhirnya ku keluarin tulisan ini! Baru paham deh enaknya tinggal sendiri (atau sama partner yg bener) kalo udah kelamaan diatur2 orang mulu.

      Tapi Crys, keluarga asli kan emang cuma orang tua & sodara kandung. Yg paling penting orang tua tau sih, menurut ku. Bodo amatlah yg lain, kepo amat urusan kita sampe di LN 🙄

      Kalian jauh banget ya next step-nya langsung beli rumah gitu 🤩 Aku setuju juga, gak semua temen cocok diajak tinggal bareng. Belom dramanya. Mikirin mood-nya, blablabla.. udahlah, mending cabut aja.

      Hapus
    2. Pas kami subletting itu, memang sudah timeline lagi cari2 rumah untuk dibeli, Nin. Jadi emang kayaknya semesta berbicara, dua bulan sebelum tanggal kontrak selesai, kami langsung cabut. Sudah bayar deposit awal dan akhir dan deposit akhir bisa jadi rent bulan terakhir, jadi kami ngerasa ga ada obligasi untuk tinggal sampe selesai.

      Hapus
  6. Memang bagaimanapun lebih enakan punya kamar atau rumah sendiri. Kalaupun punya room mate memang harus yang bisa kita toleransi kelakuannya. Kalau kitanya punya toleransi tipis, yang ada bisa perang/pusing sendiri. Saat tinggal di Barat saya sudah alami yang mbak sebut sampai akhirnya dulu punya kamar sendiri hehehe..tinggal di rumah dengan rule si ibu kos, sewa apartemen dengan beberapa kamar (cewek semua ya). Banyak cerita seru dan lucunya apalagi bila kawan tinggal dari berbagai bangsa, tapi tinggal sendirian memang enak karena lebih punya kebebasan lebih.

    Sudah biasa dengan kebiasaan kohabitasi di Eropa (kalau orang Prancis sebut colocataire). Beberapa kawan melakukan itu dengan pasangannya. Cuma masyarakat kita secara umum sulit menerima. Teman-teman perempuan yang berani menuliskan ini dengan bahasa Indonesia dan target pembaca Indonesia, biasanya sudah siap untuk tidak kembali tinggal di Indonesia. Alias untuk seterusnya disana. Akan banyak permasalahan dengan jejak digital yang ada.
    Pembaca bisa mengambil hikmah namun yang harus benar-benar siap dengan segala resiko diatas tetap penulis...Semoga setelah tulisan ini hadir mbak bisa siap dan berhati-hati ya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih banyak ya udah cerita & berbagi pendapat 😇 Kalo di Barat kecenderungan tinggal seatap seperti ini memang lebih ke urusan finansial. Banyak juga yang satu apartemen gabung cowok-cewek masing2 punya kamar, tapi kayak gak saling kenal karena privasi tetap jadi urusan pribadi. Mau tinggal yang betul2 sendiri di satu studio, kalo bukan dari keluarga kaya, tetep mikir berkali2 karena jatuhnya mahal.

      Nulis cerita ini juga aku sebetulnya maju mundur. Pasti banyak yang kontra dan terlihat menjijikan karena tidak sesuai dengan kultur orang Indonesia. Meskipun, sudut pandang ku lebih luas dari cerita masalah kohabitasi semata. Gak masalah. Yang penting semua keluh kesah tinggal numpang sama orang sudah terluapkan 😀

      Kalo masalah dapet kerja di Indonesia, problemnya sekarang gak cuma jejak digital, tapi banyak sekali faktor. Jadi kalopun ditolak hanya karena tulisan ini, I’m READY to bear it 💪🏽 Makasih sekali lagi udah diingetin.

      Hapus
    2. Salah satu kenalanku yg dulu lama tinggal disini dan cohabiting sama pacarnya, kudu balik ke Indonesia for good dan dia sekarang ekskutif di perusahaan online yg top banget.

      Ya semoga aja orang Indonesia menghire orang karena ekspertise dan kemampuannya, bukan karena agama atau dulu pernah tinggal bareng. Ngakak berat

      Hapus
    3. Gokil, Cece Kutubuku! xD

      Di Indonesia problem nyari kerja lebih rumit dari sekedar jejak digital doang. Kemampuan oke, jejak digital bagus, tapi kalo gak ada orang dalem ya kadang percuma juga. Tapi yaaa... "semoga aja orang Indonesia menghire orang karena ekspertise dan kemampuannya, bukan karena agama, dulu pernah tinggal bareng, atau karena orang dalem".

      Hapus
  7. Nin, fotonya bagus banget!! Lokasi rumahnya juga oke banget tenang dan deket alam gitu.

    Selamat ya udah ada rumah sendiri, bebas mau ini itu tanpa merasa ada yang ngawasin. I know this feeling so well karena sejak masuk SMA udah tinggal sendiri haha. Congrats and have fun with your freedom :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih, Umi 😇

      Asik banget dari SMA udah tinggal sendiri. Lebih mandiri jadinya ya. Emang harusnya kalo anak2 >16th tuh bagusnya punya tempat sendiri biar apa2 gak ortu mulu.

      Hapus
    2. Aku SMA umur 15 nin haha, ya ada sisi baik buruknya sih, buruknya kita menghabiskan waktu lebih dikit tinggal sama ortu dan sekarang kalau pulang ke rumah merasa ga nyaman karena apa-apa suka diatur. Baiknya ya ga ada yang ngatur kita, mau koprol pun ga ada yang marahin, pulang larut malam atau kemana aja bebas, dan lebih mandiri sih.

      Orang-orang terlalu berpikir pendek kalau ngelepas anak hidup sendiri si anak bakal kena pergaulan bebas dll. Padahal anak punya otaknya sendiri dan bisa filter mana yang baik buat dirinya dan mana yang enggak. Aku pulang larut malam bukan berarti pesta pora atau melakukan segala hal negatif yang orang2 pikirkan. Well, masuk komunitas kampus mengharuskan kita pulang larut malam men, apalagi kalau ada rapat besar atau kejar deadline haha (meluruskan pikiran negatif orang2 saja).

      Seneng lho baca cerita kamu yang dari zero banget sampai sekarang udah jadi sekarang. Sukses selalu ya.

      Hapus
    3. Hahaha.. Iya, Umi. Aku juga masuk SMA kayaknya baru banget ultah ke-15. Tapi maksud ku kalo di sini, biasanya anak2 yang udah lulus SMA atau >16th, udah pada siap2 lari dari orang tuanya biar hidup makin mandiri.

      Si anak memang punya otaknya masing2, tapi banyak juga yang dilepas malah gak tanggung jawab, Umi. Mungkin lebih ke didikan orang tua kali ya. Edukasi seks dan adulting life penting juga di Indonesia karena banyak yang dilepasin malah merasa bebas (dalam artian negatif). But proud of you! Kamu adalah anak yang bertanggungjawab dan bener2 otak dipake buat mikir hal2 positif! ;)

      Makasih ;) Tapi aku belom jadi apa2 sekarang. Huhu.. Masih jadi mahasiswa, perjalanan masih panjang sebelom dapet permanent job.

      Hapus
  8. Sebagai mahasiswa yang tinggal di student housing rame rame, aku tahu banget rasa ga enaknya hidup bareng orang apalagi yang baru kenal :”< saat butuh privacy space di kamar tapi keganggu temen yang nelpon orang tuanya pake loudspeakers atau pas lagi enak enak tidur pake kutang trus tiba tiba roommate bawa temen itu ngeselin banget huhu.
    Selamat punya rumahhh dan kebebasan privasi :”>

    BalasHapus
    Balasan
    1. ((Ngakak!!!)) 🤣

      Iya memang begitulah kalo mesti tinggal sama orang. Mesti saling mengerti, saling memahami, saling toleransi. Ujung2nya capek sendiri karena selalu merasa segan & tetep mesti izin dulu ini itu sama temen sekamar.

      Udahlah.. emang paling enak punya tempat sendiri (bersama orang yang tepat) 😀

      Hapus
  9. Memang ga mudah tinggal bareng orang lain meskipun ada hubungan saudara satu sama lain

    Baca tetang ini jadi tergelitik untuk sekedar sharing. Aku pernah tinggal bareng sama dua housemate di jakarta satu dari sulawesi dan satu dari sumatera. Awalnya karena pengen ngirit tapi ternyata ini jadi pengalaman terbaikku. Aku jadi belajar banyak banget dari mereka gimana bertoleransi mengahargai dan bebagi baik makanan berbagi cerita hidup pokonya saling menguatkan satu sama lain. Mereka ga pernah itung2an soal uang, dalam hal pekerjaan rumahpun ga pernah itung2an tenaga siapa yang melebihi siapa jadi saling tau batasan masing2 aja misalnya aku kemaren yg ngepel lantai nah sitemenku bakalan inisiatif sendiri nanti cuci piring atau cuci sprei. Tinggal bareng bener-bener menjadikan kita satu keluarga, sakit ada yg rawat, kalo telat pulang kerja ada yg nyariin, atau kadang nyampe rumah makan malam udah jadi huhu terharu kadang akutuh apalagi moment pillow talk tentang cowo sebelum tidur atau moment nonton netflix bareng huhu dan paling seru adalah kita sering bercakap2 pake bahasa inggris karena kebetulan pada pengen bisa speaking yang kadang ngomong aksen ga jelaspun tetap ketawa fun. Kita juga sering ikut vidcall sama ortu masing2. Intinya kita selalu saling ngingetin dan menjaga satu sama lain. Oiya Kita tinggal dikamar yang luasnya seperti apartemen tapi jangan bayangkan seperti apartemen mewah jakarta ya karena hanya rumah kos biasa.

    Pas moment dimana aku harus pindah temenku yang satu bilang 'sedih banget karena kita udah rasa keluarga gini' trus dia bilang dia nangis pas waktu aku berencana mau mau pindah tapi nangisnya ga didepan aku, dia bilangnya pas dihari terakhir. Temenku yang satu lagi keliatan banget dari wajahnya sedih trus nurutin apa yg aku pengen sebelum pindah, selalu berusaha menghibur, dan bantuin semua barang2ku. Dia memang ga pandai berkata2 tapi aku bisa liat dari raut wajah dan dan tindakannya rasanya seperti kakak sendiri.

    Baru kali ini ketemu temen yang super deep padahal sebelemunya kita sama sekali ga kenal bahkan aku pernah tinggal kos bareng sama sepupu rasanya ga begini dan sering ada keselenya karena tingkah satu sama lainnya berbeda.

    Sekarang aku udah beberapa bulan sejak aku pindah dan rasanya canggung banget nget nget sedih dan sering kangen kehangatan bareng mereka. Semoga bisa ketemu temen sebaik dan secocok mereka. Bagiku tinggal bareng mereka adalah defenisi hidup rukun. They are the best ever.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tengkyu banget ya udah cerita!

      So sweet banget sih kalian. Jadi gak terpisahkan gini ya sakingnya. Seru banget kalo jadi nenek2, terus ngekos lagi serumah gini. Bisa saling menghibur & “hangout” bareng 😀

      Karena hidup pasti punya fase berbeda. Gak mungkin selamanya kita mau tinggal seatep sama temen, apalagi kalo udah memutuskan menikah. Tapi hidup bertetanggaan, why not?! 😇

      Hapus
  10. Halo Kak Nin

    Saya pernah 6 bulan tinggal bersama warga negara Jerman yang bermukim di rumah. Senang sih, karena bisa melatih percakapan bahasa Inggris sehari-hari. Tapi dia tau diri dan bisa di ajak kerja sama.

    Terima kasih ceritanya, sangat menginspirasi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai Kharis,

      Baguslah tinggal sama orang yang bener :) Bisa diajak kerja sekalian latihan bahasa Jerman.

      Makasih udah dibaca.

      Hapus
  11. woalah ternyata kakak ada pacar juga asli orang di sana, ku kira kakak sendirian....
    waaaah waah selamat ada teman jaga nya, td aku baca dia pengertian jg

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wahh.. kamu baru baca blog aku kayaknya 😀 udah lumayan lama kita abisnya. Hihihi..

      Makasih ya!

      Hapus
  12. Ninnn, I am so happy for you. Baca post-an ini jadi bikin kangen tinggal sendiri lagi wkwkwk. Minta tolong do'anya biar bisa secepatnya ya Nin. Please stay healthy, I am so happy reading your post :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tengkyu, Annisa ♥️

      Semoga kamu juga kesampean tinggal di tempat sendiri ya. Makasih udah mampir dan nyimak :)

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bule Ketemu Online, Bisakah Serius?

( PERHATIAN!!! SAYA BANYAK SEKALI MENERIMA TESTIMONIALS SOAL COWOK-COWOK DARI INGGRIS YANG MEMINTA ALAMAT SI CEWEK YANG DIKENAL VIA ONLINE. FYI , HAMPIR SEMUA MODUS PENIPUAN SEPERTI INI BERASAL DARI INGGRIS DAN AMERIKA! JANGAN PERNAH TERTIPU KEMASAN KULIT PUTIHNYA, KARENA BISA JADI YANG KALIAN AJAK CHATTING -AN ATAU VIDEO CALL -AN ITU ADALAH PENIPU !! JANGAN PERNAH BERI DATA DIRI SEPERTI NAMA LENGKAP, ALAMAT, SERTA NOMOR IDENTITAS ATAU KARTU KREDIT KE ORANG-ORANG ASING LEWAT DUNIA DIGITAL! BE SMART, BE AWARE, AND PLEASE JANGAN DULU BAPERAN KALO ADA YANG MENGAJAK NIKAH PADAHAL BARU SEMINGGU KENAL!!!) Selain berniat jadi au pair, ternyata blog saya banyak dikunjungi oleh cewek-cewek Indonesia yang ingin pacaran atau sedang dekat dengan bule. Gara-gara tulisan tentang cowok Eropa dan cowok Skandinavia , banyak pembaca blog yang mengirim surel ke saya dan curhat masalah cintanya dengan si bule. Aduh, padahal saya jauh dari kata "ahli" masalah cinta-cintaan. Saya sebetu

Mempelajari Karakter Para Cowok di Tiap Bagian Eropa

*I talk a lot about European boys in this blog, but seriously, this is always the hottest topic for girls! ;) Oke, salahkan pengalaman saya yang jadi serial dater  selama tinggal di Eropa. Tapi gara-gara pengalaman ini, saya juga bisa bertemu banyak orang baru sekalian mempelajari karakter mereka. Cowok-cowok yang saya temui ini juga tidak semuanya saya kencani. Beberapa dari mereka saya kenal saat workshop, festival, ataupun dari teman. Beruntung sekali, banyak juga teman-teman cewek yang mau menceritakan pengalamannya saat berkencan dari cowok ini, cowok itu, and all of them have wrapped up neatly in my head! Secara umum, tulisan yang saya ceritakan disini murni hasil pengalaman pribadi, pengalaman teman, ataupun si cowok yang menilai bangsanya secara langsung. Letak geografis Eropanya mungkin sedikit rancu, tapi saya mengelompokkan mereka berdasarkan jarak negara dan karakter yang saling berdekatan. Kita semua benci stereotipe, tapi walau bagaimana pun kita tetaplah bagi

7 Kebiasaan Makan Keluarga Eropa

Tiga tahun tinggal di Eropa dengan keluarga angkat, saya jadi paham bagaimana elegan dan intimnya cara makan mereka. Bagi para keluarga ini, meja makan tidak hanya tempat untuk menyantap makanan, tapi juga ajang bertukar informasi para anggota keluarga dan pembelajaran bagi anak-anak mereka. Selain table manner , orang Eropa juga sangat perhatian terhadap nilai gizi yang terkandung di suatu makanan hingga hanya makan makanan berkualitas tinggi. Berbeda dengan orang Indonesia yang menjadikan meja makan hanya sebagai tempat menaruh makanan, membuka tudung saji saat akan disantap, lalu pergi ke ruang nonton sambil makan. Selama tinggal dengan banyak macam keluarga angkat, tidak hanya nilai gizi yang saya pelajari dari mereka, tapi juga kebiasaan makan orang Eropa yang sebenarnya sangat sederhana dan tidak berlebihan. Dari kebiasaan makan mereka ini juga, saya bisa menyimpulkan mengapa orang-orang di benua ini awet tua alias tetap sehat menginjak usia di atas 70-an. Kuncinya, pola

Guide Untuk Para Calon Au Pair

Kepada para pembaca blog saya yang tertarik menjadi au pair, terima kasih! Karena banyaknya surel dan pertanyaan tentang au pair, saya merasa perlu membuat satu postingan lain demi menjawab rasa penasaran pembaca. Mungkin juga kalian tertarik untuk membaca hal-hal yang harus diketahui sebelum memutuskan jadi au pair  ataupun tips seputar au pair ? Atau mungkin juga merasa tertantang untuk jadi au pair di usia 20an, baca juga cerita saya disini . Saya tidak akan membahas apa itu au pair ataupun tugas-tugasnya, karena yang membaca postingan ini saya percaya sudah berminat menjadi au pair dan minimal tahu sedikit. Meskipun sudah ada minat keluar negeri dan menjadi au pair, banyak juga yang masih bingung harus mulai dari mana. Ada juga pertanyaan apakah mesti pakai agen atau tidak, hingga pertanyaan soal negara mana saja yang memungkinkan peluang kerja atau kuliah setelah masa au pair selesai. Oke, tenang! Saya mencoba menjabarkan lagi hal yang saya tahu demi menjawab rasa penasar

First Time Au Pair, Ke Negara Mana?

Saya ingat betul ketika pertama kali membuat profil di Aupair World, saya begitu excited memilih banyak negara yang dituju tanpa pikir panjang. Tujuan utama saya saat itu adalah Selandia Baru, salah satu negara impian untuk bisa tinggal. Beberapa pesan pun saya kirimkan ke host family di Selandia Baru karena siapa tahu mimpi saya untuk bisa tinggal disana sebentar lagi terwujud. Sangat sedikit  host family dari sana saat itu, jadi saya kirimkan saja aplikasi ke semua profil keluarga yang ada. Sayangnya, semua menolak tanpa alasan. Hingga suatu hari, saya menerima penolakan dari salah satu keluarga yang mengatakan kalau orang Indonesia tidak bisa jadi au pair ke Selandia Baru. Duhh! Dari sana akhirnya saya lebih teliti lagi membaca satu per satu regulasi negara yang memungkinkan bagi pemegang paspor Indonesia. Sebelum memutuskan memilih negara tujuan, berikut adalah daftar negara yang menerima au pair dari Indonesia; Australia (lewat Working Holiday Visa ) Austria Amerika