Skip to main content

Posts

Showing posts from 2022

8 Alasan Belgia adalah Negara Terbaik Au Pair

Sudah berapa kali saya mendengar kisah buruk au pair di Eropa saat saya masih dan tak lagi jadi au pair? Mungkin puluhan bahkan hampir ratusan kali. Kisah buruk ini pun makin menguat ketika saya pindah ke Skandinavia dan mendengar banyak keluhan au pair tentang perlakuan keluarga angkat mereka. They're not a real family , tapi majikan! Baca juga:  Mitos dan Fakta Au Pair di Skandinavia Sedikit tak adil jika harus membandingkan perlakuan keluarga di Skandinavia dengan para keluarga angkat saya dulu di Belgia. Nyatanya, tinggal dengan keluarga asing di negara manapun memang tak pernah mudah. Namun ada banyak hal yang sampai membuat saya menobatkan Denmark (lalu sekarang Norwegia) sebagai negara terburuk untuk au pair . Salah satunya, pengalaman hampir semua au pair yang pernah saya temui di Skandinavia setidaknya pernah ganti host family satu kali! It's a red flag! Saya memang hanya jadi au pair di 3 negara Eropa. Empat tahun di Skadinavia dan hanya satu tahun di Eropa Barat te

Hidup Cermat: Berburu Rabat di Eropa

Hidup di luar negeri itu berat! Meski sudah mengantongi gaji lokal, tapi bayang-bayang untuk hidup hemat tetap tak bisa dielakan. Well , setidaknya bagi saya yang dari zaman au pair pun sudah berpikir bagaimana cara mendapatkan potongan harga meski tak berstatus mahasiswa. Status au pair yang nanggung cukup membuat saya kesal; mahasiswa bukan, pekerja full-time juga bukan. Sementara di Eropa banyak diskon hanya diperuntukkan bagi mahasiswa yang berkantong pas-pasan. Padahal dengan uang saku minimum, au pair tak ada bedanya dengan para mahasiswa tersebut. Untungnya, Eropa itu cukup adil. Ada banyak diskon khusus yang diberikan bagi young adults usia maksimal 28-34 tahun, mengingat tak semua anak muda sudah hidup makmur di usia segitu. Bukan, saya tak bicara diskon beli baju ataupun kosmetik demi menunjang penampilan, tapi potongan harga yang bisa menekan pengeluaran selama tinggal di negara orang. Baca juga: Menghitung Uang Saku Pelajar vs Au Pair di Norwegia Dan betul, di Eropa usi

10 Alasan Norwegia Tak Cocok Untuk Destinasi Liburan Orang Indonesia

Blog ini sebetulnya tak didedikasikan untuk para traveller yang ingin mencari tips liburan ke Eropa karena saya pun hanyalah pejalan musiman. Tapi karena banyak negara sudah mulai luwes mengizinkan pelancong asing memasuki wilayah mereka, rasanya tulisan ini bisa jadi perspektif baru bagi orang Indonesia yang berniat jalan-jalan ke utara Eropa, terutama Norwegia.  Tinggal di negara ini selama 4 tahun masih membuat saya tak berhenti wowing tiap kali mengunjungi tempat baru. Liburan di Norwegia itu hampir sama dengan liburan di Indonesia, lengkap! Dari pantai, laut, hutan, danau, fjord , air terjun, sampai gunungnya pun bisa dijelajahi dengan ekspektasi menemukan keindahan alam yang luar biasa. Tak heran jika negara ini ada di bucket list banyak orang. Sayangnya, saya merasa bahwa opsi liburan di Norwegia tidaklah ditawarkan untuk semua wisatawan, terutama dari Indonesia. Serius! Norwegia sepertinya kurang cocok untuk gaya liburan orang Indonesia yang cari nyaman, bukan petualangan sa

Agensi Au Pair Gratis

Meskipun jadi au pair butuh modal , namun jangan sampai membuat kantong meringis. Beberapa tahun lalu ketika au pair tak terlalu dikenal, banyak agensi gratis berjamuran jadi perantara keluarga dan au pair. Saya termasuk salah satunya yang dari dulu pakai jasa agensi au pair gratisan tanpa keluar modal 0 Rupiah pun untuk dapat host family . Sekarang demi jadi au pair di luar negeri, banyak orang rela sampai hutang kanan kiri untuk modal bayar agensi yang dirasa lebih menguntungkan ketimbang harus cari keluarga secara mandiri. Tak hanya janji mencarikan keluarga angkat lebih cepat, namun mereka juga menyediakan kursus bahasa sampai pendampingan mengurus visa. Agensi-agensi ini pun tak murah bahkan ada yang sampai mengenakan biaya puluhan juta. Dengan uang saku au pair yang tak seberapa, bagi saya, rasanya sayang sekali mengeluarkan uang sebanyak itu selama masih mampu cari keluarga sendiri. Tak sampai di situ, ketidakpahaman calon au pair dengan para scammers pun memungkinkan mereka un

Experience The Best of Norway (For Free): Yuk Coba WWOOF!

Ingat sekali bagaimana dulu awal-awal saya mencari cara untuk bisa tinggal di luar negeri, salah satu informasi yang sering muncul lewat mesin pencari adalah WWOOF. Membaca deskripsinya, saya merasa WWOOF bisa jadi salah satu cara bagi kita yang ingin merasakan langsung kehidupan di luar negeri  –  khususnya di daerah perkebunan, peternakan, atau persawahan. WWOOF atau World Wide Opportunities on Organic Farms sudah ada lebih dari 50 tahun lalu dan awalnya merupakan wadah komunitas yang mendukung para petani lokal untuk memfasilitasi edukasi seputar pertanian organik dan sustanaible living . Didirikan di Britania Raya tahun 1971, WWOOF adalah salah satu program pertukaran pendidikan dan budaya pertama di dunia. Sekarang, WWOOF sudah tersebar di lebih dari 130 negara di dunia  –  termasuk Indonesia, dan jumlahnya diperkirakan akan terus berkembang.

Masuk Kuliah di Eropa Itu Mudah! Ini Buktinya!

Sekitar enam atau lima tahun lalu, saya mengobrol dengan salah satu teman sekelas yang baru masuk ke kelas bahasa Denmark kami. Cowok muda asal Islandia yang pindah ke Denmark untuk mengubah nasib ini sebetulnya ramah dan good looking , tapi mulutnya cukup sadis. Kalimatnya yang paling saya ingat sampai sekarang, "hanya ada dua tipe anak muda Asia yang bisa sampai Eropa. Yang suuuuper kaya sekali atau yang suuuuper pintar sekali! Kaya karena dibiayai orang tua atau pintar karena dapat beasiswa." Bodohnya, meskipun tahu itu salah namun saya iyakan pernyataan tersebut. Well, dia juga tak sepenuhnya salah sebetulnya. Namun yang saya ingat, dia tidak menanyakan mengapa saya ada di Denmark saat itu dan hanya nyerocos membicarakan hal lain setelahnya. If only he knew saya di Denmark jadi 'babu' alias au pair , mungkin akan menepis semua stereotipe dia sebelumnya tentang orang Asia di Eropa. Lambat laun, saya baru tahu bahwa si cowok ini bisa berkata demikian karena punya

Ketika Nasib Membawa Mu Pulang

Kutipan tak bertuan berbahasa Norwegia di atas berarti, kebahagiaan itu tak selalu naik ke puncak tangga, tapi berhenti pada tahap dimana seseorang berkembang . Seringkali saya membaca dan mendengar kata-kata motivasi dari para imigran Indonesia yang tinggal di luar negeri atas nama perjuangan. Salah satunya, " anak rantau pantang pulang " atau yang sebetulnya lebih menggambarkan tak boleh pulang sebelum berhasil di negara orang. Meski tak semua berpendapat sama, namun keberhasilan ini lebih erat kaitannya dengan materi. Jujur, saya mungkin salah satu yang kurang setuju dengan kata-kata motivasi ini setelah merasakan langsung bahwa realita seringkali memaksa kita untuk jadi realistis. Tak selamanya usaha mendukung hasil.

6 Persepsi Keliru Tentang Au Pair

Semakin banyak yang membagikan cerita kehidupan mereka sebagai au pair, semakin banyak juga anak muda Indonesia yang tertarik ingin mengikuti jejak. Cerita dibuat semotivatif dan semenarik mungkin agar interaksi dengan para pengikut terus berjalan. Dari mulai cerita betapa mudahnya pindah ke negara-negara di Eropa, bisa dapat pacar bule yang seru dijadikan konten, hingga kesempatan melanjutkan sekolah atau berkarir di luar negeri. Gaya orang bercerita memang berbeda. Namun bagi kalian yang tertarik jadi au pair, saya sarankan tetap harus banyak mencari info dari kanan kiri sebelum cepat menarik kesimpulan dari satu pernyataan. Jangan sampai mimpi terkalahkan ekspektasi yang melambung tinggi. Au pair bukanlah program yang ' too good to be true '. Berikut 6 persepsi keliru yang sering saya dengar:

Kuliah Mandiri di Luar Negeri, Keberuntungan atau Kerja Keras?

" Menurut kamu ya, Nin, apakah memungkinkan kuliah di luar negeri pakai biaya sendiri, tanpa bantuan teman, pacar, saudara, atau host family saat lagi pandemi seperti ini? " tanya seorang rekan au pair di akhir tahun 2020 saat kami nongkrong di pusat kota Oslo. Tulisan ini semestinya dirilis lebih awal, ketika cerita hidup saya yang nelangsa sebagai mahasiswi di Norwegia lebih relevan. Pertanyaan tersebut muncul tanpa sebab. Teman saya ini tahu betul bagaimana terpuruknya saya saat menjalani semester dua dengan tertatih karena sempat kehilangan pekerjaan. Di saat genting ini, uang tabungan saya semasa au pair terkuras dan cari kerja lagi juga tak mudah. Keluarga di Indonesia tak bisa banyak membantu secara materi. Pun teman sejawat hanya bisa menolong dari segi moril. Berandai-andai, teman saya tersebut hanya ingin tahu apakah mungkin mantan au pair yang lanjut kuliah mandiri semasa pandemi bisa hidup nyaman? Jika waktu bisa diputar kembali, mungkinkah kemarin saya bisa men