22 September 2021

Susah Pulang, Terpenjara di Negara Orang

Going through hardships is good. It means you are growing stronger, even if it is tough.

Kalau ada yang merasa sedih saat pandemi ini belum bisa kemana-mana, baik untuk liburan ataupun au pair ke luar Indonesia, let me remind you a story.

Tahun lalu ketika pandemi serentak menutup pintu banyak negara, saya masih tinggal di Norwegia melanjutkan studi. Kala itu saya bagai anak hilang yang akhirnya lepas dari jaminan hidup dari host family dan memutuskan meneruskan langkah di negara orang sembari kuliah lagi. Dipikir hidup akan baik-baik saja, kenyataannya jauh dari apa yang sudah direncanakan. Pekerjaan pertama saya selepas jadi au pair, yaitu pelayan restoran, hanya bertahan selama 1,5 bulan. Restoran harus menghentikan semua aktivitas dining in dan menggantinya dengan take awayI lost my job in a sudden.


Untuk dapat pekerjaan ini pun cukup tricky karena saya sudah putus asa setelah hampir 2 bulan menganggur. Untuk mahasiswa internasional yang dari nol hanya mengandalkan uang pribadi, dua bulan tanpa pesangon apapun adalah mimpi buruk. Uang yang saya tabung sedari au pair juga tak bisa lagi menutupi biaya hidup karena terlanjur dipinjamkan ke kerabat di Indonesia namun belum juga dikembalikan. Sekalinya dapat kerja lalu terpaksa dipecat, kehidupan saya mulai merayap. Yang paling gigit jari, akhir musim panas 2020 saya harus memperbarui izin tinggal pelajar dengan menyertakan uang jaminan baru. I had no job, no sufficient money, nothing. Rasanya seperti di titik terendah dan berpikir bahwa hidup di Indonesia kelihatannya tak akan separah ini juga.

Cari pekerjaan lain pun susahnya bukan main, apalagi di masa awal pandemi ketika banyak pekerja terpaksa dirumahkan. Jadi pelayan atau pegawai toko? Jangan salah, yang melamar bisa sampai 200-300 orang dari yang sebelumnya hanya maksimal 50-an! Meskipun masih healing dari pekerjaan rumah tangga, namun saya terpaksa membuat akun jasa babysitter dan cleaning lady siapa tahu ada yang tertarik. Tapi nyatanya, nihil juga.

Empat bulan hanya stres sendiri di rumah, umpan CV saya akhirnya menarik salah satu restoran Asia. Saya dapat tawaran wawancara dan trial period di tempat mereka. Sayangnya baru dua kali bekerja, saya kembali "dipecat" dengan alasan kurang pengalaman. Sesulit itu! Bahkan untuk jadi pelayan restoran mesti punya pengalaman sendiri. Masa tinggal yang hampir habis pun terpaksa saya perbarui dengan uang seadanya dan berharap imigrasi bisa sedikit memaklumi kesusahan mahasiswa asing saat pandemi. Di sisi lain, saya setidaknya masih punya waktu cari kerja part-time di tempat lain selagi menunggu izin tinggal jadi. 

Saat itu imigrasi sedang mengurangi akumulasi kerja sehingga banyak aplikasi yang tertunda. Untuk perbaruan masa tinggal pelajar yang semula hanya butuh waktu 2 bulan, dijadwalkan maksimal 7 bulan. Dulu sewaktu masih jadi au pair, saya bisa pulang pergi Indonesia setahun sekali. Tapi karena belum mengantungi izin tinggal pelajar yang tak jelas statusnya, saya tak tahu kapan bisa kembali lagi ke Indonesia. Hingga setelah 6 bulan penantian status izin tinggal, saya dikagetkan dengan email dari imigrasi yang menolak permohonan aplikasi saya! Alasannya tentu saja karena uang jaminan yang tidak cukup. Susah sekali hidup di negara orang dengan pondasi izin tinggal yang mesti berjudi dengan waktu. Namun tak ada yang bisa saya lakukan kecuali mengajukan banding dan memperbarui uang jaminan baru. Beruntung, saya sebelumnya diterima magang di perusahaan kantoran yang gajinya sangat lumayan menutupi uang jaminan ini.


Di situs imigrasi tertulis masa tunggu keputusan banding adalah maksimum 8 bulan. Untuk beberapa kasus, waktu tunggu ini tidak mutlak dan bisa saja lebih cepat dari yang ditentukan. Contohnya dua teman saya yang kemarin ditolak aplikasinya, dua bulan kemudian sudah dapat jawaban. But, who knows? Saya yang sebetulnya ingin sekali pulang ke Indonesia musim panas tahun ini dibuat gusar karena hal tersebut jauh dari kenyataan. Ada rasa rindu yang teramat besar terhadap rumah, keluarga, serta semua hal tentang kampung halaman. I am freaking tired living this way! Selelah ini sampai keberadaan teman dan pacar di Norwegia pun tak cukup mengobati kesenjangan.

Rencana saya, pulang ke Indonesia setelah masa wisuda bisa menguntungkan karena tak perlu bayar biaya karantina. Bagi para pelajar yang baru pulang dari luar negeri, pemerintah akan menanggung semua biaya hotel ketika tiba di Indonesia. Tentu saja saya tak ingin menyiakan kesempatan ini meskipun keadaan Indonesia saat pandemi sangat memprihatinkan. Namun berita duka yang setiap hari terbaca dan terdengar membuat perasaan saya kalut. Saat kakek meninggal dunia, saya hanya bisa melihat foto pemakamannya. Ketika ayah dari tiga teman baik saya meninggal di waktu yang hampir bersamaan, juga tak ada kesempatan untuk melayat terakhir kalinya. Orang tua saya semakin menua, tapi kehidupan saya di Norwegia berjalan begitu tertatih sampai tak tahu pasti kapan bisa kembali.

Pas satu tahun hidup dengan rasa was-was, saya menerima telpon dari pihak imigrasi di hari Sabtu. Cukup deg-degan karena entah berita apalagi yang akan mereka sampaikan. Quite fortunate, permohonan banding saya akhirnya dikabulkan. Lega, tapi sebetulnya tidak juga. Setiap tahun, imigrasi memberikan masa tinggal bagi para pelajar internasional hanya sampai tanggal 31 Agustus. Saat itu saya ditelpon tanggal 20 Agustus dan masa tinggal yang diberikan imigrasi hanya sampai 31 Agustus saja. Artinya, saya hanya punya 11 hari untuk hidup legal sebagai mahasiswa! Normalnya, setelah mendapatkan izin tinggal kita diwajibkan ke kantor polisi untuk foto dan sidik jari, lalu menunggu sekitar seminggu kartu izin tinggal jadi. Kartu inilah yang membuat kita legal tinggal di negara orang dan bisa dipakai keluar masuk area non-Schengen tanpa apply visa baru. Tapi karena saya hanya punya 11 hari masa tinggal, tak ada gunanya lagi datang ke kantor polisi.


Mendekati kadaluarsa, saya harus mendaftarkan aplikasi baru secepatnya jika masih ingin tinggal di Norwegia. Pilihan yang paling masuk akal hanya dua, daftar working permit as a high-skilled worker atau daftar sebagai pencari kerja setelah lulus kuliah. Karena saya belum mendapatkan pekerjaan permanen dengan gaji sesuai syarat imigrasi, maka pilihannya hanya mengajukan aplikasi baru sebagai job seeker. Lagi-lagi menunggu karena untuk mengantarkan dokumen ke kepolisian slot yang tersedia lama sekali. Daftar akhir Agustus, saya baru dapat jadwal awal November.

Dari kantor polisi, kita juga harus menunggu lagi keputusan dari pihak imigrasi maksimum 8 bulan untuk aplikasi tipe ini. Artinya, hidup saya di Norwegia hanya kebanyakan menunggu izin tinggal. Padahal akhir tahun saya berencana tak ingin Natalan di sini, tapi pulang ke Indonesia. Apa daya, karena KTP tak punya, ruang gerak sangat terbatas dan harus setia menunggu di dalam negara. Bisa saja pulang ke Indonesia, namun susah jika ingin masuk lagi ke sini. 

Jadi, jangan sedih. Kalian yang tak bisa terbang ke luar negeri bisa sama stresnya seperti saya di negara orang yang belum bisa juga pulang ke Indonesia. Sekangen itu dengan keluarga di rumah sampai saya pusing sendiri ingin menjalani hidup seperti apa di sini. Tak ada yang bisa saya lakukan kecuali menunggu dan berusaha menikmati hidup normal; bekerja, belanja, lalu makan enak. Somehow terpikir, mungkin terpenjara di negeri sendiri bisa jadi lebih baik jika sama-sama masih bisa bekerja, belanja, makan enak, plus dekat dengan keluarga.



06 September 2021

Sekeluarga Jadi Au Pair


Ketika memutuskan jadi au pair dan tahu beratnya mengarungi hidup di negara orang, di detik itu juga saya bersumpah tak akan pernah membiarkan keluarga saya mengikuti jejak ini. Bukan karena au pair program yang buruk, tapi karena saya tak ingin mereka juga merasakan apa yang pernah saya alami. Tinggal bersama orang asing, mengganti popok bayi, mengurus dokumen imigrasi, serta adaptasi cepat dengan cuaca itu tidak mudah bagi semua orang. 

Betul memang, jadi au pair bisa membentuk mental juang mu lebih kuat. Tinggal di negara baru sungguh menantang dan bisa berkesan jika kita memanfaatkannya dengan baik. Tapi untuk menawarkan kesempatan ini apalagi mewariskan host family kepada keluarga di Indonesia, saya enggan. Tanpa banyak orang tahu, cerita au pair saya kenyataannya lebih dramatis dari yang pernah saya ceritakan ke siapa pun.

Saya cukup kagum dengan para au pair Filipina yang punya misi membawa semua anggota keluarga mereka keluar dari negara tersebut. Selain karena persaingan kerja di negara mereka cukup tinggi ditambah lagi mengirim anak ke luar negeri adalah cita-cita hampir semua orang tua, orang Filipina sebetulnya bangsa yang sangat solid sesampainya mereka di negara orang. Mereka tak segan berbagi informasi apapun yang nantinya bisa menguntungkan keluarga, kerabat, atau teman.


Tak hanya satu dua orang kenalan au pair yang sampai mewariskan host family ke adik, kakak, atau sepupu mereka di Filipina. Nanti dulu orang lain asal keluarga terdekat bisa diterbangkan dahulu. Belum lagi ketika mereka sampai di negara tujuan dan berhasil mendapatkan tambahan uang jajan dari black job menjadi cleaning lady atau babysitter musiman, kalau sudah bosan, mereka juga akan mewariskan pekerjaan tersebut dari mulut ke mulut ke sesama au pair Filipina. Makanya tak heran, beberapa mantan au pair Filipina yang saya kenal di sini lalu ganti ke izin tinggal pelajar rasanya tak pernah menganggur karena sering dapat info pekerjaan dari rekan lainnya. Prinsip mereka, anak rantau pantang pulang dan sebisa mungkin juga mereka mendukung satu sama lain agar bisa tinggal lama di negara orang. Sedikit bertentangan dengan orang Indonesia yang lebih berhati-hati berbagi informasi ke sesamanya di luar negeri.

Berbeda dengan para au pair Filipina yang bermisi menarik semua keluarga ke negara baru, saya malah tak tertarik mengobral cerita tentang kehidupan di luar negeri ke kerabat atau keluarga terdekat. Bukan karena malu, tapi karena merasa cerita yang pernah saya lalui ini tak relevan dengan motivasi hidup mereka. Simpelnya, untuk apa jauh-jauh ke luar negeri kalau hanya untuk menjadi 'babu'. Lingkungan saya di Indonesia juga dikelilingi oleh orang-orang yang hampir semuanya well-educated dan tahu apa yang mereka mau. Kebanyakan tahu luar negeri ya untuk belajar dan mendapatkan gelar. Ibaratnya, kalau memang ingin tinggal di luar negeri, kejarlah cita-cita tersebut dengan jalan lain dulu; semisal lanjut kuliah dan jadi mahasiswa atau akselarasi karir. Jika memang tak ada pilihan lain karena masalah dana, kapasitas otak, serta kesempatan, sebisa mungkin taruh au pair menjadi cita-cita mu di daftar paling akhir atau bahkan lupakan. Saya cukup pro dengan pandangan tersebut dan setidaknya itu yang saya tekankan ke adik ketika dia memutuskan untuk stop out (SO) dari kuliah Hukumnya dan berniat ingin kuliah di luar negeri.

Jujur, saya tidak munafik. Saya bisa menjadi diri saya yang sekarang juga karena batu lompatannya jadi au pair. Namun tidak semua au pair ending kisahnya akan seperti saya. Siap setiap hari hidup bagai roller coaster, harus berpikir cepat dalam menyelesaikan masalah, tak cengeng, taktis, dan mampu kembali bangkit saat terpuruk? Kalau tak punya mental pejuang, yang ada baru sebulan langsung pulang. Mungkin saya bisa hidup berliku macam ini, tapi tidak untuk saudara saya yang lain.
 
Sebagai seorang kakak, tentunya saya bangga dengan keputusan yang diambil adik saya kala itu. Bahkan kalau ingin dirunut, saya juga yang punya andil 'meracuninya' untuk keluar dari kampus. Saya kenal potensi adik saya dengan baik dan belajar Hukum seperti buang-buang waktu. Saya orang pertama yang mendukungnya untuk SO dan mendorong untuk kursus IELTS dulu sebelum siap mencari beasiswa ke luar negeri. Tujuan kami saat itu hanya akan fokus mencari beasiswa untuk kuliah S1 berbahasa Inggris. Kami bukan keluarga kaya, tapi untuk biaya kursus IELTS dan tes setidaknya masih bisa diupayakan  meski di akhir masih maju mundur juga karena biayanya fantastis sekali.


Singkatnya, adik saya tak jadi kursus IELTS, tak jadi daftar kuliah berbahasa Inggris, namun berhasil mendapatkan beasiswa penuh kuliah selama 5 tahun di Cina  satu tahun belajar bahasa dan empat tahun kuliah. It's been 5 years already dan anaknya terpaksa kembali ke Indonesia tahun lalu karena pandemi. Cukup lama di negara tersebut, tentunya sangat normal jika masih ada kerinduan mendalam di dirinya untuk bisa kembali dan membangun karir di sana. Sedikit cerita, adik saya ini termasuk orang yang hoki. Dengan modal bahasa Mandarin dan Inggrisnya yang casciscus, mencari pekerjaan di Cina bukan perkara sulit. Pekerjaan pertama dia di Cina sebagai tutor bahasa Inggris pun didapat dari ibu-ibu yang menyapanya random di dalam bus. 

Seringkali ketika saya telpon, dia menyampaikan kegelisahannya karena masih rindu ingin kembali ke negara tersebut. Rindu ini begitu mendalam karena kondisi global yang memaksanya untuk pulang dan belum juga bisa kembali dalam waktu dekat. Baju, koper, sepatu, serta perlengkapan lain kenyataannya masih berada di asrama mahasiswa. Beberapa kali juga dia mengutarakan ingin bisa kembali lagi ke Eropa mengunjungi saya dan sempat terbesit pikiran untuk jadi au pair di Norwegia. Saya sangat memahami kegelisahannya, tapi saya tetap tak ingin dia mencari jalan singkat jadi au pair meski rasa rindu untuk tinggal di negara orang sering membuncah. Potensi yang dia miliki nyatanya lebih besar dari sekedar mengurus dapur orang. 

Lambat laun, yang bisa kita lakukan kadang hanya berusaha pasrah dan moving on. Meski belum bisa kembali ke Cina, namun saya bahagia karena sekarang dia sudah bekerja di tempat yang baik. Yang membanggakan lagi, pekerjaan ini didapat saat dia masih sibuk menulis skripsi di tengah pandemi. Bahasa Mandarinnya pun menjadi tak sia-sia karena nyatanya banyak perusahaan di Indonesia yang membutuhkan pekerja fasih Mandarin, salah satunya perusahaan multinasional tempat dia bekerja sekarang. 


"Kalau kerja di Indonesia bisa hampir menyentuh 2 dijit begini, rasanya tidak harus bekerja di luar negeri juga, sih," katanya beberapa waktu lalu.

Yes, kadang kebahagiaan tak perlu dicari jauh. Sekali lagi, saya bahagia karena dia bisa tinggal di Indonesia, mengaplikasikan ilmunya dengan tepat, dan bekerja di tempat yang layak. Walaupun, saya tetap akan mendukungnya jika suatu hari nanti dia ingin cari kesempatan lebih luas untuk kembali dan bekerja di negara orang. 

Sama seperti kalian yang sedang membaca tulisan ini dan berencana/atau sedang menjadi au pair. Saya berharap, kalian tak bercita-cita menjadi saya yang harus hidup menghabiskan masa 20-an membantu pekerjaan rumah tangga orang. Tentu saja, saya tak melarang kalian jadi au pair. It is a wonderful experience in your 20s and just go for it! Belajar yang banyak dari budaya orang lain, buka pikiran saat tinggal bersama orang asing, coba makanan baru dan belajar untuk tak tiap hari makan Nasi Padang, lalu berkencanlah dengan cowok lokal kalau perlu. Tapi hati-hati, au pair bisa membuat kalian ketagihan!



emerge © , All Rights Reserved. BLOG DESIGN BY Sadaf F K.