23 Desember 2016

Biaya Hidup (baca: Belanja) di Denmark



Denmark memang negara mahal, lebih mahal dari biaya hidup di Belgia dulu. Tapi entah kenapa, saya merasa Kopenhagen lebih hidup ketimbang Brussels. Dari atmosfir tempat nongkrong, banyaknya arsitektur keren, hingga orang asing yang berstatus pelajar hingga pekerja memenuhi sudut Kopenhagen menjadikan negara ini lebih internasional.

Ketimbang Kopenhagen, sebenarnya Aarhus lebih cocok disebut sebagai kota pelajar. Banyak mahasiswa Indonesia yang tinggal di Denmark pun sebenarnya kuliah di kampus Aarhus. Tapi karena banyak kampus keren seperti KU (University of Copenhagen), DTU (Technical University of Denmark), KADK (Royal Danish Academy of Fine Art), CBS (Copenhagen Business School), atau KEA (Copenhagen School of Design and Technology) berlokasi di sekitar area Kopenhagen, makanya kehidupan anak muda di kota ini terasa lebih seru. Well, might be because I'm a city person.

Setahun lebih tinggal di Denmark, saya masih sedikit amazed betapa mahalnya negara ini. Herannya, meskipun mahal dari banyak hal, saya malah tambah kalap belanja, jajan di luar, hingga nonton tiap bulan.

21 Desember 2016

Fakta Tentang Bahasa Denmark



Wohooo.. Sudah nyaris satu tahun yang lalu saya membuat postingan tentang bahasa Denmark, tahun ini saya sudah masuk Modul 4. Apa yang menarik dari modul ini? Pelajaran tata bahasa makin sulit, tapi saya belum bisa juga bicara dengan baik.

Di kelas saya, mayoritas siswanya memang nyaris 90% bisa berbahasa Inggris dengan lancar. Daripada capek-capek memikirkan kata per kata dan menyusun hingga jadi kalimat dalam bahasa Denmark, saya dan mereka keseringan berganti ke bahasa Inggris saja. Jadi bisa dibayangkan betapa beratnya perjuangan siswa kelas saya di bagian speaking bahasa Denmark ini.

Teman-teman au pair ataupun non-au pair yang dulu sempat mengambil kelas bahasa Denmark, banyak yang memutuskan menyerah. Begitu pun juga saya. Meskipun sempat up dan down menyusun mood datang ke sekolah, akhirnya saya putuskan untuk kembali datang ke kelas menemui teman-teman seperjuangan. Semakin dipelajari, semakin banyak fakta menarik soal bahasa bangsa Viking ini.

1. Datar dan tanpa irama

Bahasa Denmark diakui sebagai bahasa terjelek di Skandinavia oleh banyak orang. Tidak seperti bahasa Swedia yang lemah gemulai dan bernada, ataupun bahasa Norwegia yang lebih jelas cara bacanya, bahasa Denmark lebih mirip orang lagi kumur-kumur. Tidak hanya super datar, tapi nyaris semua huruf dimakan.

Gara-gara label "terjelek" namun juga tersulit inilah, banyak pendatang memutuskan malas belajar bahasa Denmark. Alasan lainnya, tanpa bahasa Denmark pun, mereka tetap bisa bertahan hidup di kota-kota besar hanya dengan bahasa Inggris.

2. Rigsdansk

Sama seperti negara mana pun, tiap area biasanya memiliki dialek atau aksen di setiap bahasa resmi mereka. Di Denmark, dialek orang Aalborg berbeda dengan orang Ringkøbing. Pun begitu dengan dua dialek tersebut, sangat berbeda dengan dialek orang-orang yang tinggal di sekitar area Kopenhagen.

Rigsdansk atau rich Danish sebenarnya merupakan tata bahasa resmi yang dipakai di Denmark hingga saat ini. Rigsdansk biasanya diajarkan di sekolah ataupun dipakai saat acara formal.

Lucunya, rigsdansk sering dikaitkan oleh bahasa orang-orang middle class di tahun 1800-an. Di tahun 1970-an, karena pusat pemerintahan ada di Kopenhagen, rigsdansk menjadi tata bahasa resmi sekaligus dialek tetap para Copenhageners ataupun orang-orang yang tinggal di area Sjælland.

Karena perbedaan dialek inilah, orang-orang Sjælland biasanya kesulitan mengerti dialek orang Jutland ataupun Bornholm. Mereka lebih sering disebut bahasa petani ataupun bahasa lower class karena tidak menggunakan standar bahasa Denmark yang dipakai oleh para Copenhageners.

3. Terkesan kasar

Saat belajar bahasa Inggris, kita sudah diajarkan soal pembagian bahasa formal dan non-formal. Untuk memanggil orang yang tak dikenal pun, kita tahu harus memanggil mereka dengan sebutan Sir atau Madam, jika tidak tahu nama belakang orang tersebut. Pun begitu saat saya belajar bahasa Prancis dan Belanda sewaktu di Belgia.

Di Denmark (dan juga bahasa Nordik lainnya), formalitas bukanlah ketetapan dari standarisasi satu bahasa. Selain kata undskyld yang berarti maaf (atau excuse me), saya tidak mengenal kata lemah lembut lainnya.

Atmosfir antara siswa dan guru pun tercipta dengan sangat kasual. Yang tua tidak gila hormat hanya untuk dipanggil Pak, yang muda pun tidak perlu pikir panjang hanya untuk bersikap sopan.

Ketiadaan bahasa formal, logat yang datar dan tanpa berirama, cocok saja jika bahasa ini terdengar cukup kasar di telinga.

4. Betapa liberalnya bahasa ini

Orang Denmark termasuk yang sangat bebas dalam pemakaian bahasa mereka. Tidak seperti orang-orang di Britania Raya yang sangat sopan dan takut untuk memakai kata-kata kasar, orang Denmark justru sebaliknya.

Kata-kata makian yang bermakna seksual, kasar, dan tidak pantas dianggap biasa saja digunakan dalam percakapan sehari-hari. Karena terpengaruh tontonan Amerika, anak-anak kecil di Denmark sudah sangat akrab dengan F! word. Belum lagi para orang dewasa yang sering lepas kontrol mengucapkan kata serupa.

Di lirik lagu, deadline koran, ataupun majalah, kata-kata pinjaman dari Inggris-Amerika yang bermakna negatif sering dipakai. Karena hal inilah, tidak heran kalau orang Denmark juga dicap sebagai bangsa yang hobi cursing.

Host kid saya yang baru berumur 5 tahun, bebas saja mengatai orang tuanya. Saya pernah mendengar gadis kecil ini sampai berteriak-teriak, "Ayah bodoh!" atau "Betapa bodohnya orang tua ku ini!". Seorang teman pernah bercerita, sepupunya yang berusia 13 tahun, bebas saja mengatakan, "Dasar ibu bodoh, such a b**ch!"

Reaksi orang tua mereka? Biasa saja. Malah hanya bertanya dengan lemah lembut, "Kenapa? Kenapa ibu sampai dikatai bodoh?"

Dulu, saat satu kata kasar keluar dari mulut kecil kami, orang tua saya tidak segan-segan mengambil cabe merah atau rawit untuk dimasukkin ke mulut kami. Memang tidak pernah terjadi karena hanya menakut-nakuti. Tapi jelas sekali, kalau no place for bad words at home!



11 Desember 2016

REYKJAVÍK: Menelusuri Kota Sepi Bergaya Eropa Klasik di Akhir Pekan


"Kamu jadi pergi ke Irlandia? Eh, yang terkenal dari sana apa sih?" tanya seorang kenalan. "Westlife!" jawab saya.

"Kak, jadi pergi ke Sislandia?" tanya Rika, beberapa saat setelah melihat status terbaru saya di BBM. "Hah? Emang ada di peta?" tanya saya balik.

ISLANDIA, sodara-sodara! Saya liburan ke Islandia, bukan ke kedua tempat yang Anda sudah sebutkan. Seriusan, saat saya menyebutkan Reykjavík, banyak yang tidak tahu dimana letak kota ini berada.

Dari letak geografisnya pun, banyak yang bingung, negara ini masuk bagian Eropa atau tidak. Apakah visa Schengen bisa digunakan atau mesti apply visa baru. Iya bisa. Islandia masuk bagian negara Nordik yang letaknya paling utara Eropa. Karena masuk salah satu negara Schengen, tidak perlu lagi apply visa baru untuk datang kesini.

01 Desember 2016

WARSAWA: Menemukan Tempat Terbaik di Area Miskin Turis

Setelah menghabiskan waktu seharian penuh bergumul dengan turis di area Old Town, akhirnya saya sepakat untuk selesai berpadat-padat ria di pusat kota di hari kedua. Teman Belgia saya, Mittchie, yang juga ikut travelling kali ini, juga sepakat mengikuti kemana arah langkah kaki saya saja.

Meskipun kebanyakan turis mendatangi Warsawa untuk menelusuri jejak perang dunia, saya dan Mittchie sepertinya tidak terlalu tertarik. Kami pun mencoret habis-habisan daftar museum sejarah saat berada di Warsawa. Saya termasuk yang super lelet bangun menikmati keindahan kota, lebih sering berleye-leye di kafe, dan terlalu santai berjalan-jalan menikmati setiap detail yang menarik perhatian.

Boleh jadi saya datang ke area pusat kota, mencicipi makanan khas lokal di restoran yang penuh turis, tapi tidak selamanya saya harus berpegang teguh dengan apa yang tercantum di Trip Advisor. Kecuali saya memang datang ke Polandia untuk belajar sejarah, then the case could be different.
emerge © , All Rights Reserved. BLOG DESIGN BY Sadaf F K.