Lagi-lagi, menemukan topik seru di Twitter. Suatu hari, seorang imigran Indonesia membuat utas tentang asumsi orang-orang yang mengatakan negara tempat tinggalnya enak, padahal aslinya tak demikian. Dari mulai mahalnya harga permak celana, sulitnya jasa percetakan, hingga absennya tukang bakso keliling. Lalu sebuah balasan warganet cukup mencolek saya, " orang Indonesia yang tinggal di LN ini selalu promosi hidup di LN gak enak, tetap saja gak mau pulang dari sana ". Tiba-tiba saya berpikir, lho iya juga ya . Sedikit tersentil, karena orang Indonesia yang sering promosi kekurangan tinggal di luar negeri itu salah satunya saya sendiri. Lewat blog ini, saya juga membanjiri cerita pengalaman tak mengenakan yang berbeda dengan banyak konten bahagia diaspora di media sosial. Saya juga seringkali menjelekkan negara tempat tinggal dan kadang masih membandingkannya dengan kampung halaman di Indonesia. Padahal sedekade ini tinggal di Eropa, harusnya sudah di fase 'menerima' b
Suatu hari, lima orang imigran yang punya latar belakang berbeda berkumpul di satu meja membahas politik Norwegia. Empat dari mereka sebut saja Ana, Bao, Choi, dan Dee. Percakapan ini diawali dari sebuah pertanyaan tentang " apa fungsi ganti WN Norwegia? " ketika jawaban yang selalu dilontarkan hanyalah " ohh, kamu bisa dapat hak suara saat pemilu " atau " ohh, kamu bisa jalan-jalan ke banyak negara tanpa mengajukan visa " — visa ke Amerika maksudnya. Lama-kelamaan topik tak menarik lagi, obrolan berganti tentang status izin tinggal masing-masing. Ana sedang proses memperbarui izin tinggal keluarga ( reunification family ) karena menikah dengan warga lokal. Bao sedang riset tentang job seeker permit karena masa studinya akan segera berakhir. Choi sedang berbahagia akan segera mengajukan izin tinggal permanen. Dee sudah cukup secured di Norwegia namun masih pusing akan mendaftarkan anak ke penitipan yang mana, mengingat antrian selalu panjang. Lalu yan