26 Oktober 2023

Derita Jajan di Norwegia: Banyak Restoran Zonk!

Mungkin banyak yang belum cerita, tapi salah satu duka tinggal di Norwegia adalah sulitnya menemukan tempat makan yang kualitas dan standarnya sebanding dengan kantong. Meski sudah terucap berulang kali lewat Instagram pribadi, namun kali ini saya ingin berbagi lagi derita jajan di utara Eropa yang standar makanannya sukar cocok dengan lidah. Tapi kali ini mari fokus ke Norwegia, salah satu negara terindah yang dicanang banyak orang sebagai one of the perfect places to live in. 

Penafian: saya bukanlah seorang gastronom atau connoisseur, tapi hanya seasonal foodie yang kebetulan punya kesempatan mencicipi gourmet hingga street food di beberapa negara saat travelling. Selain hobi nonton acara masak-masak, saya juga sedikit tahu tentang beberapa olahan dan teknik masak dari keluarga – meskipun saya sendiri kurang pandai mengaplikasikannya di dapur. Masalah rasa pun sangat subjektif dan cerita yang ada di sini murni opini pribadi hasil dari kegelisahan seorang pendatang terhadap pilihan jajanan yang ada di Norwegia.

1. Kopenhagen si ibukota wisata kuliner Skandinavia



Budaya makan dan nongkrong di Kopenhagen menjadikan kota ini salah satu opsi wisata kuliner di benua Eropa 

Ketika bicara tentang Eropa Utara, saya sebetulnya tak merujuk ke seluruh wilayah Nordik. Denmark bagi saya adalah pusat kuliner terbaik seantero Nordik yang makanannya worth to try. Selain keunggulan pastry, cari makanan lezat di Kopenhagen tak sesulit di Norwegia. Tak cuma soal rasa, tapi harga serta kualitasnya sebanding dengan apa yang kita dapatkan. Stockholm sebagai ibukota Swedia pun, menurut saya, masih kalah dengan Kopenhagen dari segi wisata kuliner.

Kembali ke masa au pair di Denmark 8 tahun lalu, saya yang memang suka eksplorasi ini baru tahu ternyata cara bersenang-senang di ibukota memang tak murah. Tiap akhir pekan, jalanan serta angkutan umum di Kopenhagen selalu dipenuhi muda-mudi yang berdandan rapi siap menjelajah malam. Penasaran, saya jadi tertarik ikut menyesapi kehidupan santai ala anak muda Denmark nyaris tiap minggu bertemu teman-teman baru di bar, kafe, sekalian mencicipi beberapa restoran. Yes, it cost a lot of money - apalagi posisi saya saat itu masih au pair.


Tapi tak ada yang disesali. Selain kehidupan malamnya yang lively, Kopenhagen menawarkan banyak tempat nongkrong dan makan enak yang kamu tak harus datang dulu ke fine dining restaurant untuk mendapatkan kualitas memuaskan. Ingin santai, hampir tiap sudut publik Kopenhagen diisi kafe mungil yang menawarkan atmosfir nyaman layaknya rumah. Cocok dengan konsep hygge ala orang Denmark. Kafe-kafe ini pun sedikit berbeda dengan warung kopi di luaran yang interiornya selalu dibuat seindustrial mungkin dan terkesan mainstream. Saat sedang bosan di rumah, saya biasanya melipir sebentar memesan Chai Latte yang entah kenapa, versi Denmark jauh lebih manis dan gurih di mulut dibandingkan Chai Latte di tempat lain.


Dari rasa, penampilan, ukuran makanan, sampai harga, semuanya selaras!
Gambar: salah satu menu dari 10-course menu restoran di Denmark yang terlihat seperti sebuah kuratan seni.

Karena banyak hidden gems di tiap sudut, saya jadi selalu tertantang mencoba banyak tempat baru setiap minggu. Beberapa cowok yang saya kencani di Denmark juga kadang mengajak ke tempat-tempat asik saat first date yang atmosfirnya nyaman tanpa takut awkward. Tak mesti kafe, beberapa bar dan restoran santai juga selalu masuk dalam daftar. Saking seringnya jelajah dan tahu banyak tempat, dulu beberapa teman sering kali minta rekomendasi tempat seru untuk nongkrong atau kencan.

Tak ada yang menyangka bahwa kota sekecil Kopenhagen memiliki perkembangan sejarah kuliner yang berfokus ke bahan-bahan lokal dan musiman; meluas dari food hall sampai food truck. Dengan total 31 restoran Michelin yang ada di ibukota, tak heran mengapa kota ini dicap sebagai ibukota kuliner di Skandinavia. Dibandingkan Stockholm yang punya 12 restoran serta Oslo yang hanya punya 6, masuk akal mengapa saya condong membandingkan alternatif jajanan seantero Nordik dengan Denmark.

Tak hanya penganannya yang mendunia, tapi juga inovasi para koki untuk menciptakan cita rasa yang kaya menggunakan bahan-bahan segar, menjadikan sepiring makanan layaknya maha karya. Kalau ada yang mengatakan jajan kuliner di Kopenhagen itu mahal, memang iya kalau dibandingkan dengan Indonesia. Namun dibanding dengan rasa dan servis yang ditawarkan se-Eropa Utara, harga yang kita bayar sangat sepadan dengan apa yang didapatkan. Bagi kalian yang tertarik wisata kuliner di Kopenhagen, cobalah untuk lebih open minded tak melulu harus datang ke restoran Asia saking apapun yang dijual di sini hampir semuanya memuaskan lidah.

2. Susahnya cari makanan enak di Oslo


Awal kedatangan ke Norwegia beberapa tahun lalu, saya sempat membaca keluhan para turis yang merasa tak bisa menemukan banyak keseruan di ibukota. Mereka yang membayangkan Oslo layaknya Amsterdam atau Stockholm, akan dibuat sangat kecewa ketika tahu ibukota Norwegia bahkan seringkali sepi di akhir pekan. Oslo memang tidak diciptakan bagi si pecinta kehidupan malam, tapi alam. Penduduk Oslo justru tak doyan cari keramaian, tapi melarikan diri ke pegunungan atau hutan dari Jumat sore.


Saat ragu ingin Western food, cuma masakan Italia yang rasanya masih masuk dengan lidah

Meski ingin menghabiskan akhir pekan di ibukota pun, kehidupan malam di Oslo faktanya tak semenarik itu. Bir dan alkohol di bar sangat mahal. Cari jajanan yang kualitas dan harga selaras adalah sebuah tantangan. Seorang pendatang asal India yang sempat kerja di Swedia mengatakan bahwa Oslo masih terlihat kampungan dibandingkan banyak kemodernan malam di Stockholm. Well, Norwegia memang baru jadi OKB di tahun 70-an dan masih perlu banyak pembangunan jangka panjang.

Kembali ke kuliner, berpengalaman mencoba makanan enak di negara lain, membuat lidah saya cukup terlatih membedakan mana makanan yang overall penampilan dan rasanya top notch, mana yang sebetulnya cuma asal jadi. Di Oslo yang multikultural, dominan restoran diisi makanan fusion yang lebih sering menghilangkan rasa otentik. Nama restoran boleh Jepang, tapi menu makanan merupakan perpaduan dari berbagai negara di Asia. Dari Sushi, spring rolls, sampai Bebek Peking disediakan dalam satu menu. Saking fusion-nya restoran di Oslo, cari makanan asli yang fokus ke satu negara tertentu sangat sukar ditemui. 


Mari ambil contoh kuliner Jepang yang paling dasar seperti Sushi. Di Oslo sebetulnya ada banyak pilihan restoran Sushi dari yang paling murah sampai paling mahal. Meski belum mencoba semua tempat di ibukota, tapi saya akhirnya tertarik mencoba tiga tempat yang digadang-gadang terbaik di Oslo. Tentu saja, predikat tersebut disandingkan dengan harganya yang tak murah. Hasilnya, none of them exceeded my expectations! Selain rasa yang biasa saja, harganya pun tak masuk akal dengan kualitas bahan yang tak jauh beda dari warung Sushi di sudut jalan. Yang berbeda hanya, Sushi di restoran dibuat terlalu inovatif dengan tambahan bahan lain seperti stroberi, nanas, daun kemangi, dan daun bawang. 


Meski terlihat lebih berwarna, namun terlalu inovatif sampai kehilangan rasa otentik

Saking bingung dengan rasanya yang nano-nano, saya tak berminat lagi makan Sushi di restoran mewah. Rasa Sushi di warung-warung sederhana lain, meskipun penampilannya membosankan, tapi rasa dan harganya masih masuk akal. Namun tak sekali ini saja pengalaman saya jajan di Oslo berakhir mengecewakan. Beberapa restoran Asia atau Western lain yang direkomendasikan orang dan dapat review baik nyatanya, menurut saya, juga biasa saja. Opini ini pun didukung oleh pasangan saya yang setuju bahwa standar makanan di tempat yang pernah kami datangi lebih sering zonk ketimbang outstanding.


3. Budaya kuliner Norwegia yang berbeda

Berkaca dari pusat kuliner se-Skandinavia, sekarang kalian tahu mengapa dari awal saya misuh-misuh dengan pilihan jajanan di Norwegia. Meski katanya salah satu negara bahagia, apalah arti kebahagiaan tersebut jika susah sekali menyenangkan lidah.

Sempat punya proyek di bidang F&B saat kuliah dulu, saya pernah riset pasar sampai wawancara dengan seorang founder startup yang akhirnya membuka insights baru tentang dunia kuliner di negara ini. Mengapa kualitas dan standar makanan di Norwegia masih kalah dengan Denmark, juga disebabkan oleh dua budaya berbeda. Orang Denmark saat akhir pekan lebih sering menghabiskan waktu di dalam ruangan sambil santai menikmati makanan dan alkohol. Sementara orang Norwegia sebaliknya, akhir pekan lebih banyak dihabiskan di luar ruangan dengan melakukan aktivitas fisik.


Mengapa banyak kafe lucu dan selalu ada saja restoran baru yang dibuka di Denmark, juga berhubungan dengan kebiasaan makan orang lokal yang lebih sering jajan di luar. Saat waktu istirahat kerja, mereka lebih suka quick order dari kafe terdekat dan niat cari tempat makan di luar. Sementara orang Norwegia, cukup puas dengan menu makan siang kantin kantor. Makanya cari makanan enak di Norwegia lebih susah, karena kebiasaan orang Norwegianya sendiri yang jarang jajan di luar. 


Meski sektor kelautan dan perikanan Norwegia sangat berkembang, namun tak didukung oleh olahan laut yang digemari orang banyak

Di satu sisi, posisi geografis Denmark yang lebih strategis menjadikannya lebih mudah mendapatkan bahan baku segar baik lokal maupun musiman. Bahan protein di Denmark nyatanya juga lebih bagus karena mereka punya pusat jagal sendiri di ibukota. Sementara geografis Norwegia yang lebih dingin dan jauh di utara, membuat negara ini cukup sulit mengekspor bahan baku makanan untuk kebutuhan restoran. Banyak hasil tanam petani lokal berfokus untuk kebutuhan pasar ketimbang tempat makan. Tak sama seperti Denmark sebagai pengonsumsi daging merah cukup tinggi, Norwegia yang lebih banyak nelayannya ini malah orang lokalnya sendiri tak terlalu suka mengonsumsi ikan. Karena perbedaan fokus inilah, dunia kuliner di Norwegia tak sewarna-warni Denmark dalam hal seni dan rasa.

Sempat kerja di restoran selama beberapa waktu, saya juga sedikit paham mengapa sulit sekali menemukan rasa otentik di negara ini. Orang Norwegia sampai sekarang sangat skeptis dengan makanan non-Western dan pemerintahnya sendiri sangat strict dengan persyaratan membuka restoran. Orang Norwegia masih sangat sulit beradaptasi dengan rasa asing dan selalu berekspektasi makanan yang ada di restoran sebisa mungkin disesuaikan dengan lidah mereka. Turun-temurun bahagia dengan rasa hambar ala garam dan merica, orang Norwegia masih harus berlatih dengan makanan kaya bumbu dan rasa pedas yang bisa membahayakan perut. Belum lagi banyak alergi aneh-aneh dan para environmental concious yang mulai rewel dengan menu makanan yang tak sesuai preferensi mereka. Demi mengikuti selera pasar inilah, akhirnya makanan dibuat se-fusion mungkin agar cocok dengan lidah orang lokal.

Faktor lain yang membuat saya kecewa dengan banyak tempat makan di Norwegia adalah, mereka seringkali tidak konsisten. Hari ini enak, besok bisa jadi berubah. Pernah suatu kali saya punya kafe langganan yang menyediakan kue enak di Oslo, dan cuma tempat ini yang satu-satunya menjual kue spesial tersebut. Saking niatnya, kadang saya datang jauh dan malam-malam ke sini cuma demi memenuhi craving ingin makanan manis. Anehnya, lambat-laun penampilan dan rasa si kue jadi berubah. Tak cuma di satu kafe ini saja, kejadian serupa juga sempat terjadi di beberapa restoran lain. Pertama datang rasanya enak, pas datang kedua kali konsistensi rasa dan tekstur malah tak sama. Ketidakonsisten kualitas ini akhirnya membuat saya kecewa dan malas mampir lagi. 

Satu lagi yang paling krusial, saya pernah dikelabui pemilik restoran yang menyediakan daging babi padahal saya memesan sapi. Saya sangat paham tekstur dua jenis daging ini dan dari segi harganya pun jelas sapi lebih mahal dari babi. Dikelabui dengan cara seperti ini sampai dua kali membuat saya sangat marah dan kecewa. Saat dikomplen, pemilik restoran berdalih bahwa daging tersebut bukan babi, tapi bagian lain dari punggung sapi. Nope, I didn't buy it! Saya blacklist restoran Asia tersebut, tulis review negatif di Google, dan bersumpah tak akan pernah kembali lagi ke sana! Sayang sekali, padahal restoran ini masih jadi salah satu terfavorit banyak orang di Oslo dan selalu dapat review positif dari pelanggan.


4. Norwegia butuh KFC!


Saat masih kerja di restoran, saya bertugas melakukan brand monitoring dan social listening tentang pain points dan preferensi orang Norwegia terhadap makanan cepat saji. Di sebuah sebuah lapak komunitas lokal, saya menemukan sebuah pertanyaan menarik yang mendapatkan cukup banyak respon, "merk makanan cepat saji apa yang kalian rindu dan inginkan di Norwegia?". Mengamati tiap jawaban cukup seru karena saya jadi tahu kegelisahan banyak anak muda Norwegia dengan keterbatasan restoran cepat saji di negara ini.

Meskipun dominan orang Norwegia bukanlah pecinta fast food, namun makanan cepat saji sangat erat relevansinya dengan para anak muda, pelajar, dan pendatang karena dirasa harganya masih ramah kantong. Padahal, makanan cepat saji di ibukota sebetulnya juga tak murah. Menu yang paling sering ditemukan hanya terbatas ke pizza, burger, dan kebab. Karena keterbatasan inilah, banyak yang menyerukan Taco Bell dan KFC dibuka lagi di Norwegia. Hell yes! Entah berapa kali saya sempat rindu makan crispy chicken, sampai pernah sengaja road trip ke Gothenburg di Swedia cuma demi makan KFC terdekat.


KFC di Denmark, kadang jadi pelarian demi ayam garing. Belum ada alternatifnya di Oslo.

Di tahun 80-an, KFC sempat membuka cabang di Oslo namun tak bertahan lama. Selain kompetisi, alasan sebenarnya adalah karena pemerintah sangat strict dengan kualitas bahan dan standar harga saat itu. Sebagai negara yang sangat menjamin kesejahteraan hewan, Norwegia memastikan bahwa bahan baku protein yang digunakan oleh restoran harus sesuai dengan standar dan kualitas yang telah ditetapkan. Hewan tak boleh disiksa selama proses pertumbuhan ataupun sebelum pengolahan. Terus-terusan butuh bahan baku yang cepat, KFC mengekspor ayam instan hasil suntik hormon agar bisa selalu menyediakan stok untuk persediaan pasar. Ayam yang harusnya diternakan dengan lamban selama masa pertumbuhan, justru tak selaras dengan kebutuhan KFC yang lebih memilih ayam gemuk hasil instan. Untuk terus bertahan di pasar lokal, jelas usaha KFC termasuk ilegal. Dirasa menghambat pertumbuhan laba demi mengikuti peraturan pemerintah lokal, KFC memutuskan menutup usaha dan tak pernah kembali lagi ke negara ini.


Sebuah merk lain, Fly Chicken, akhirnya jadi alternatif baru di Oslo dengan beberapa cabang yang tersebar di beberapa tempat. Meski sama-sama fokus menyajikan crispy chicken, tapi orang lokal berpendapat bahwa Fly Chicken masih jauh kualitasnya dibanding KFC dengan harga yang jauh lebih mahal. Karena tak banyak alternatif jajanan cepat saji, maka lagi-lagi orang hanya kembali ke pizza, burger, atau kebab. Pun untuk kebab yang bukan Western food, cukup lama prosesnya agar bisa diterima oleh masyarakat Oslo. Karena dijual di daerah permukiman imigran yang tak jelas kualitas bahan dasarnya, banyak sekali yang skeptis dengan makanan ini di awal 90-an. Hingga lambat laun, persepsi terhadap kebab berubah sampai menempati salah satu posisi teratas sebagai makanan cepat saji terfavorit di Norwegia.


5. Lalu, harus jajan kemana kalau di Oslo?


Dari semua kekurangan yang saya jelaskan di atas, apa iya tak ada satu pun restoran yang oke di Oslo? Apa iya orang lokal tak ada yang keluar untuk jajan? Harus makan dimana di Oslo yang harga dan kualitas makanannya bersahabat?

Well, kalau ditanya apakah ada restoran yang menyajikan makanan enak, tentu saja ADA! Di beberapa restoran yang pernah saya kunjungi, ada satu atau dua menu yang sebetulnya cukup oke untuk dicoba lagi. Tapi karena menu-menu ini kadang seasonal based, maka belum tentu ada juga tiap bulan.

Menurut saya, kunci jajan di Oslo adalah tak perlu berekspektasi apa-apa. Selain tidak konsisten, beberapa makanan cenderung sudah kehilangan rasa otentik dan membuat kita harus open minded dengan rasa yang lebih inovatif. Secara looks memang mengesankan dan menggugah selera, namun dari segi rasa akan sangat subjektif perorangan. Tapi dengan menghilangkan ekspektasi dari awal, kita jadi tak perlu kecewa berat ketika tahu makanan yang disajikan jauh dari harapan. 


Beberapa teman dari Asia juga sebetulnya sangat menghindari jajan di restoran Asia di Oslo karena rasanya yang kurang orisinil. Bagi para pendatang Asia, kadang cara yang mereka bisa lakukan adalah beli semua bahan makanan di toko dan masak sendiri. Salah satu restoran Cina di Oslo yang katanya close to the original taste ternyata juga punya 2 menu berbeda, menu asli dan menu untuk lidah non-Chinese. Selain overrated, rasa masakan di semua menu pun cenderung seragam. Teman sekelas saya yang orang Korea juga tak pernah tertarik makan di restoran Korea di Oslo karena kaget dengan harganya yang mahal tapi kualitasnya di bawah standar. Jadi ingat suatu kali datang ke restoran Thailand, lalu lagi-lagi dibuat kecewa dengan konsistensi kuah Red Curry yang terlalu cair. Lucunya, yang datang dan memesan makanan ramai sekali sampai saya bingung mengapa restoran tersebut begitu terkenal.


Restoran India yang pertama kali saya kunjungi di Oslo, selain harganya affordable, rasanya sudah diadaptasi ke lidah lokal dan masih cocok dengan selera Indonesia

Tapi kalau kalian ingin jajan di Oslo dan masih bingung harus kemana, mungkin saya sarankan mampir saja ke restoran India terdekat. Dengan semakin meningkatnya populasi orang Asia Selatan di Norwegia, maka bisnis F&B yang fokus ke wilayah ini pun semakin menjamur di tiap sudut kota. Dibandingkan pendatang dari Asia Timur, pendatang dari Asia Selatan masih banyak yang sering keluar jajan di restoran. Tanda sebuah restoran India enak dan nyaris otentik adalah, pelanggan yang datang lebih didominasi oleh orang mereka sendiri. Lebih bagus lagi datang ke restoran yang direkomendasikan oleh orang Indianya langsung. Plus, masakan India Selatan biasanya punya level pedas yang setara dengan level pedas orang Indonesia, serta tak pernah menyediakan babi sebagai protein utama jika kalian mencari makanan Halal.

⚘ ⚘ ⚘

Mengeluhkan daftar jajanan di Oslo yang tak sesuai selera personal sebetulnya tak adil, tapi lumrah saja sebagai konsumen. Namun bagi kita orang Indonesia yang terbiasa nongkrong di warung Nasi Uduk saat sarapan, jajan Nasi Padang untuk makan siang, lalu beli Siomay di sore hari, sebelum biasanya mampir ke tenda pinggiran untuk makan malam, lalu lanjut pula Pecel Lele di tengah malam, hidup dengan pilihan kuliner yang seuprit ini bisa jadi duka nestapa. Karena...food is life!!



16 Oktober 2023

Luar Negeri Itu Bukan Kemauan, Tapi Kesempatan


Another day, another story.

Seorang kenalan dekat, sebut saja D, yang sudah memegang kontrak kerja dari sebuah grup hotel besar di Kanada mendadak membatalkan rencana dan tak jadi berangkat. Entah apa penyebabnya, namun kabar tersebut cukup membuat saya tercengang. D yang saya tahu, tak hanya sekali ini saja beruntung mendapatkan kesempatan kerja ke luar negeri. Dari awal lulus sekolah, D sudah diterima bekerja di sebuah hotel besar di Palembang. Setelahnya, dikabarkan D mendapatkan tawaran di Qatar dan hanya bertahan 6 bulan. Dari Qatar, eksplorasinya berlanjut ke Australia sebelum akhirnya berlabuh di Bali. Dari Bali inilah, D mendapatkan informasi pekerjaan di Kanada dan berhasil lolos di semua tahap wawancara. Sayang, sudah keliling kerja di berbagai belahan dunia, D tak jadi mengurus visa Kanada dan dikabarkan akan kembali lagi ke Palembang karena ditawari posisi baru. Fiuuhh.. Sebuah unfair advantage yang sungguh nyata!

Sampai sini, apa yang terlintas di benak kalian?

D tak tahu rasanya bersyukur? Bodoh? Aneh? Tak tahu rasanya memanfaatkan peluang dengan benar?

Sebagai pejuang di luar negeri yang memulai langkah dari 0, saya pun penasaran alasan apa yang melatarbelakangi D sampai menyia-nyiakan semua peluang tersebut. Tak semua orang bisa memulai langkah besar semulus itu. Saya tak ingin mengatakan keputusan tersebut salah. Karena pada akhirnya, keputusan untuk hijrah dan bekerja di luar negeri adalah pilihan pribadi yang bergantung pada keadaan, kepribadian, dan prioritas seseorang. Meski bisa jadi pengalaman ini transformatif dan memperkaya cerita hidup bagi banyak orang, namun tentu saja hal ini tak cocok dan diinginkan semua orang. Termasuk D.


Perlu digarisbawahi juga bahwa D bukan anak orang kaya yang bisa bebas melanglang buana dan dianugerahi kucuran dana orang tua. D sama seperti kita umumnya, lahir dari keluarga menengahnamun dengan keberuntungan yang luar biasa. Semua pekerjaan yang D lamar pun murni dilamar sendiri mengandalkan pengalaman kerjanya yang sudah dibangun sejak lulus sekolah. Dengan kompetensi semenarik itu, layaknya main-main saja ketika melihat D menghamburkan banyak kesempatan yang sejujurnya diinginkan banyak orang.

Saya jadi ingat curhatan beberapa orang Indonesia yang berulang kali mengutarakan niat untuk hijrah ke luar negeri, namun belum ada peluangnya. Au pair yang membuka jalan saya ke Eropa tak sepenuhnya juga terbuka untuk orang lain. Banyak faktor yang membuat mereka harus melupakan angan ke luar negeri dengan cara ini. Beberapa dari mereka ada yang usianya sudah melewati persyaratan, tak diizinkan orang tua untuk 'membabu' ke luar negeri, tak kunjung dapat host family, hingga akhirnya dapat pekerjaan dan jodoh di Indonesia. Lalu jalan itu pun tertutup dengan sendirinya.

Pun yang ingin kuliah di luar negeri, tak semuanya diberikan jalan serupa. Meski sama-sama harus tes kompetensi bahasa, kirim lamaran kesana kemari, hingga menulis esai untuk beasiswa, namun banyak juga yang tak beruntung sampai kehilangan motivasi. Apalagi yang memang niatnya ingin langsung kerja dari Indonesia. Kalau tak diperantarai BPTKI atau punya kemampuan super yang tak semua orang lokal punya, jelas sangat sulit peluangnya. 

D bukanlah satu-satunya orang di sekitar saya yang punya unfair advantage memegang kunci emas ke luar negeri. Seseorang yang saya kenal juga menolak beasiswa lanjut S2 ke Prancis dengan alasan sudah ketemu jodoh lalu ingin menikah dan membangun keluarga di Indonesia. Walau mungkin banyak yang menyayangkan kesempatan tersebuttermasuk saya sendiri, tapi saya mengerti bahwa visi dan misi orang dalam hidup tak harus sejauh benua Amerika, Eropa, atau Australia. Tinggal di Indonesia dan membangun masa depan di kampung halaman bagi mereka jauh lebih rewarding ketimbang harus berjibaku dengan ketidaknyamanan di tempat asing.


Untuk orang-orang yang masih menjaga mimpinya untuk hijrah ke luar negeri, mengertilah bahwa ini bukan cuma perkara mimpi dan kemauan semata, tapi juga kesempatan. Banyak yang mau, tapi tak punya kesempatan. Sedikit yang punya kesempatan seperti D, belum tentu juga mau tinggal di negara orang. Justru kadang kita yang pontang-panting berniat ingin tinggal di luar negeri inilah yang tak menemukan jalannya dan berakhir putus asa.

Sama halnya dengan para au pair bermasalah yang kadang membuat saya heran, mengapa justru mereka yang dapat rejeki tinggal di benua ini?! Di Indonesia ada banyak sekali calon au pair dengan motivasi yang jauh lebih meaningful, namun sayangnya tak punya peluang yang sama. Sementara orang-orang yang punya tujuan terselubung justru malah mulus jalannya. Konteks “au pair bermasalah” ini adalah para oknum yang diberikan kesempatan emas tinggal di luar negeri, namun kurang mampu menggunakan segala peluang dengan maksimal. Alih-alih ingin belajar dan mengembangkan diri, mereka datang dengan tujuan berbeda yang kadang mengukir persepsi buruk di negara tujuan. It's not my job to judge, tapi sebagai mantan au pair yang diberikan banyak kesempatan untuk eksplorasi, saya cukup menyayangkan. 

"Namanya hidup, banyak yang tak adil," ucap seorang teman saat saya tanyai pendapatnya.

Teruntuk kalian yang tak punya unfair advantage, hanya berhalusinasi dan mimpi memang tak akan membawa kita kemana-mana. Namun menjaga mimpi agar tetap hidup adalah salah satu bekal mememotivasi dan menginspirasi diri menjalani hidup lebih bermakna. Satu jalan tertutup, mudah-mudahan ada jalan lain yang terbuka. Kita yang tak dianugerahi hoki dan privilese ini harus berusaha berkali lipat untuk menyamakan nasib. Meski kita kalah dengan orang-orang yang punya keberuntungan ganda, namun selalulah percaya bahwa jika ada kemauan pasti ada jalan. 



10 Agustus 2023

6 Alasan Tak Pulang Juga ke Indonesia

Awal tahun depan genap sudah saya 10 tahun tinggal di Eropa, tepatnya mondar-mandir di 3 negara. Harusnya sudah bisa ganti kewarganegaraan atau jadi penduduk tetap kalau saya fokus membangun nasib di satu tempat. Tapi karena izin tinggal juga "kontrakan" alias masih tak tentu, maka sampai sekarang nasib saya belum stabil di tanah orang.

Namun siapa sangka sudah selama itu, padahal yang paling teringat baru 2 tahun lalu saya lulus kuliah. Yang terasa kalau baru lulus, masih fresh from the oven. Pengalaman masih seusia jagung. Baru lahir, baru berkembang, baru ketemu dunia sesungguhnya. Yang harusnya dari kecil asa saya cuma ingin lanjut kuliah di luar negeri, jadi punya kesempatan tinggal selama ini.

Satu dekade bukan waktu yang sebentar menghabiskan usia 20-an di negara orang. Apa tak ada niat untuk pulang? Oh, jelas saja, ADA! Sering malah. Yang menyuruh saya pulang juga banyak. Tapi, kenapa masih di sini?

1. Ketagihan au pair

Belgia, 2014. Membuka kembali album foto saat pertama kali ke Belgia cukup membuat mellow. I was so simple back then. Less expectations, more creative.

Kembali ke awal mula jadi au pair di Belgia 9 tahun lalu, sebetulnya niat saya kala itu hanya sesimpel ingin ke negara orang dengan budget seminimal mungkin. Lulus kuliah adalah waktu yang paling tepat. Saya yang memang belum ingin membangun karir di Indonesia, melihat au pair adalah kesempatan terbaik untuk datang ke negara orang sekalian bertukar budaya. Betul, karena saat itu saya memang sedang passionate belajar bahasa dan budaya asing, dibuat sangat excited sekali saat tahu ada program sejenis au pair ini. The purpose definitely matched my value. 

Meski sempat ada tantangan di awal minta restu orang tua, namun inilah langkah awal saya menjelajah Benua Eropa. Dengan bantuan modal 5 juta dari ibunda, saya akhirnya berhasil menginjakkan kaki di Belgia saat musim semi. Bagusnya, ekspektasi saya sudah ditakar dari Indonesia. Saya tak selalu percaya dengan semua tulisan orang di internet yang terlalu mengglorifikasi luar negeri. Di pikiran saya, luar negeri tidak senyaman dan sesempurna itu. Makanya saat ada masalah dengan host family di minggu-awal kedatangan, saya tahu apa yang harus dilakukan. Karena tentu saja, jawabannya bukan pulang. 


Merasa tujuan di Belgia belum tepat sasaran, maka saya putuskan untuk jadi au pair lagi kedua kalinya. Walau sempat tertarik ke Prancis untuk mendalami bahasa, namun langkah saya berlabuh di Denmark. Lapak orang Filipina, kata rekan sesama au pair saat itu.

Berbeda dengan hiruk pikuk keluarga angkat sebelumnya, hidup saya di Denmark akhirnya lebih berwarna. I tried so hard to go beyond the limit. Mencoba apapun yang tak bisa atau tak pernah saya lakukan di Palembang maupun di Belgia; mulai dari agenda rutin mampir ke museum seni, ikut banyak kegiatan sukarelawan, travelling solo, super sosial berkenalan dengan orang baru hampir tiap minggu, hingga (finally) bisa join kelas desain berbahasa lokal. Ada juga masa dimana hampir tiap bulan saya sibuk jalan-jalan sampai selalu kehabisan uang jajan dan muak sendiri. Tapi di negara ini jugalah saya merasa menjadi pribadi yang kreatif, berani mengambil resiko, dan punya banyak ruang untuk jadi lebih eksploratif. Definitely best au pair years in my life — meskipun negara ini sangat tak ramah au pair!

Hingga di suatu titik saya merasa, "okay, it's enough!". Cukuplah 3 tahun jadi au pair di negara orang menghabiskan awal 20-an dengan segala gegap gempita di masa muda. Tiga tahun ini sebuah momentum bisa jalan-jalan sebagian besar wilayah Eropa, kenalan dengan banyak orang dari kultur berbeda, dan menuntaskan cita-cita jadi au pair 'sukses'. Now it's time for the real world; being an adult and building a career. Cari uang dan pekerjaan yang benar. Yang tentu saja, tidak di Denmark. Saat itu saya putuskan untuk pulang for good dan cari kerja di Indonesia.

2. Imajinasi tabungan segunung

Denmark, 2017. Buah dari keisengan saya setelah selesai au pair di Denmark menunjukkan jalan yang lebih panjang di Norwegia.

Tiga minggu sebelum pulang ke Indonesia, saya iseng membuka lagi profil au pair untuk cari keluarga di Norwegia. Yes, harusnya memang cuma iseng! Saat itu saya hanya ingin melihat, untuk au pair berpengalaman 3 tahun seperti saya, kira-kira butuh waktu berapa lama untuk dapat keluarga angkat. Niatnya, cerita ini akan saya bagikan di blog sebagai persepsi baru bahwa pengalaman panjang tak menjamin dapat keluarga lebih cepat. Namun siapa sangka, keisengan saya ini ternyata membuka jalan yang lebih panjang untuk tinggal lebih lama di Norwegia. Ya, saya menemukan satu keluarga yang sangat serius mengundang saya jadi au pair mereka.

Sejujurnya, keputusan ini termasuk yang terberat kala itu. Dari pihak host family di Norwegia inginnya saya segera memberikan jawaban. Namun di satu sisi, saya yang baru pulang masih ingin bersantai dulu sambil memikirkan rencana hidup matang-matang. Apalagi saat itu saya sudah dirayu untuk eksplorasi dan cari pekerjaan di Bali, yang memang sering jadi tujuan mantan au pair saat pulang ke Indonesia. Dimana lagi di Indonesia selain di Bali, tempat yang bisa mendekati kenyamanan yang pernah kita miliki di Eropa. Beberapa rekan mantan au pair yang sudah menetap di Bali pun sebetulnya sangat menyemangati saya untuk berkarir di Denpasar ketimbang 'membabu' lagi di Eropa.


Logisnya, mudah saja langsung menolak keluarga tersebut jika memang berniat berkarir di Indonesia. Tapi beberapa petunjuk kecil sedikit menggoyahkan keputusan saya. Misalnya, dari 6 keluarga angkat yang menarik, hanya 2 yang juga tertarik ke saya. Dari 2 ini pun, hanya 1 yang akhirnya sangat tertarik mengundang saya langsung ke Oslo di minggu yang sama setelah wawancara. Saya hanya punya 1 pilihan yang ternyata sangat serius dan menjanjikan. They looked like a normal family with extra luxury. Dari semua fasilitas dan benefit yang ditawarkan, saya yakin pengalaman au pair sekali ini akan jauh lebih kaya ketimbang dua negara sebelumnya. But, is it worth to try one more time?

Saya belum tahu. Yang saya sadari kala itu, Bali bukanlah tempat yang ingin saya tinggali. Setelah kunjungan kedua ke sana, ternyata saya masih cinta dan lebih nyaman tinggal di Palembang. Haha! Entahlah, Bali terasa sangat asing. Tak ada bayangan saya akan tinggal dan membangun kehidupan baru di sana. Kalau pun jadi au pair adalah jalan yang akan saya ambil, maka kali ini niatnya ingin menabung, bukan foya-foya seperti dulu. Saya harus lebih bijaksana dengan pengeluaran karena kumpulan uang ini diharapkan bisa menjadi investasi saat pulang ke Indonesia, ataupun kalau suatu hari ingin sekolah lagi.

3. Mimpi di depan mata

Universitas Oslo, 2019. Lima bulan sebelum kontrak selesai, saya meneruskan kuliah S2 di Universitas Oslo (UiO) dan memulai status baru sebagai seorang mahasiswa.

Meski tak pernah menyesal menghabiskan separuh usia 20-an jadi 'babu di Eropa', namun tetap ada kehampaan saat menyadari selama 5 tahun ke belakang yang bisa saya lakukan hanyalah mengurus anak dan membersihkan rumah. Saya rindu tantangan. Saya rindu kembali ke bangku kuliah. Saya rindu ujian. Saya rindu punya teman sekelas yang satu visi misi. Saya rindu mimpi awal ke luar negeri itu sebetulnya ingin lanjut sekolah. Kalau pun harus pulang for good, setidaknya ada yang bisa saya bawa ke rumah; yaitu ijazah S2 keluaran kampus luar negeri. My mom would be proud!


Bagusnya, au pair memang bisa jadi batu loncatan melihat peluang baru di negara orang, termasuk memperpanjang izin tinggal. Di bulan kedua kedatangan di Norwegia, saya sudah bertekad untuk lanjut kuliah master di tahun berikutnya. Meski cukup mudah diterima di Universitas Oslo, namun perjuangan saya mengganti dan mempertahankan izin tinggal pelajar ini luar biasa sulitnya. Apalagi saat itu saya memang nekad membiayai semua biaya hidup sendiri, tanpa beasiswa. Pandemi jadi awal masalah baru ketika banyak orang di-PHK dan tak mampu lagi menutupi biaya hidup bulanan. Termasuk saya yang hanya mengandalkan penghasilan dari bekerja paruh waktu.

Setelah dua tahun 'membelah sebagai amoeba' menyisihkan waktu untuk cari uang dan belajar, tesis pun kelar dan saya wisuda tepat waktu dengan nilai memuaskan. Sulit bagai merangkak, namun akhirnya badai berhasil terlewati karena bantuan orang-orang baik juga. What a challenging life I had after au pair! PR selanjutnya adalah mencari pekerjaan yang juga sebuah tantangan sebagai lulusan baru. Namun karena sebelum lulus saya sudah bekerja penuh waktu di sebuah perusahaan, maka bisa ditebak rencana saya setelahnya adalah ingin membangun karir di negara ini.

4. Menua di Eropa

Norwegia, 2020. Menolak tua di Eropa karena kamu tetap bisa jadi apapun yang kamu mau, belajar dari awal, dan ganti karir di usia 40 tahunan.

Jangan ditanya sesering apa ibu saya menyuruh untuk pulang dan berkarir di Indonesia. Baginya, meskipun sangat membanggakan melihat saya bisa lulus kuliah dan punya pekerjaan di luar negeri, tetap ada kehampaan saat jauh dari anak. Terlebih lagi, beliau yakin ada banyak pekerjaan di Indonesia yang menunggu saya sebagai lulusan kampus luar. Tapi karena sudah terikat kontrak dengan perusahaan di sini, maka ada alasan untuk bertahan dulu di Norwegia. Di satu sisi, cari uang di negara maju efeknya akan sangat cepat terasa di Indonesia. Salah satunya, saya tak perlu menabung lama untuk membeli tiket pesawat dan memberangkatkan keluarga ke Eropa.


Namun dari semua alasan yang ada, faktor umur adalah hal yang paling menguatkan saya untuk memperpanjang izin tinggal di Norwegia setelah lulus kuliah. Saya sadar sudah cukup terlambat untuk mulai di Indonesia. Not a good excuse, I know. Tapi mengingat usia produktif wanita di Indonesia terhenti di mid-20s, sementara saya saja baru mulai kuliah lagi late-20s, ada gap yang terlalu kompetitif. Berkarir di Eropa justru sebaliknya. Ada banyak kolega saya yang bahkan baru kuliah S1 di akhir 20-an dan memulai karir pertama mereka di pertengahan 30-an. Semuanya terlihat masih normal.

Pola pikir saya pun ikut berubah ketika tahu usia mapan di Norwegia dimulai saat 34 atau 35 tahun, bukan 25 tahun layaknya di Indonesia. Di usia ini diharapkan banyak dewasa muda sudah punya karir yang bagus dan uang yang cukup untuk membeli properti pertama mereka. Tak ada kata tua bagi yang usianya baru menginjak kepala 3. Ingin ganti karir di usia 40-an pun, masih bisa. Bahkan ada ibu-ibu yang baru melamar jadi pramugari di usianya mendekati 50 tahun, dan diterima. Sangat memungkinkan untuk mengejar atau mengganti karir apapun yang kita mau tanpa takut memikirkan usia. Pemerintah setempat bahkan memberikan pinjaman lebih bagi para dewasa muda di usia >30 tahun untuk sekolah lagi.

Hal inilah yang membuat saya tak pusing memikirkan milestones dan ambisi apa yang harus dikejar dalam waktu singkat. Saya tahu saya terlambat di Indonesia, tapi saya ingin memulainya dengan perlahan di Eropa. Mulai membangun karir yang harusnya sudah saya lakukan beberapa tahun lalu.

5. Kobaran dari sisa harapan

Indonesia, 2022. Tahun yang berat dan berulang kali kangen Indonesia. Seringkali ingin menyerah dan memunculkan pertanyaan, apa memang ada tempat untuk saya di Norwegia?

But, damn! It's freaking hard
. Layaknya sebuah kutukan di akhir masa au pair, saya selalu dibuat tertatih setelahnya. Terutama masalah izin tinggal yang tiap tahun selalu membuat kepala pusing. Di tahap ini harusnya saya menyerah saja dan pulang ke Indonesia, namun herannya tetap tak saya lakukan. 

Puncaknya ketika perusahaan mem-PHK akhir tahun lalu, saya menemukan fakta bahwa negara ini sama sekali tak memihak ke pengangguran non-EU. Meski tiap bulan selalu membayar pajak tinggi, namun tak ada yang negara ini bisa lakukan ketika seseorang seperti saya kehilangan pekerjaan. Uang pesangon pengangguran dari negara hanya diberikan ke kelompok tertentu. Pajak yang saya bayarkan nyatanya hanya hangus termakan fasilitas maju. Belum lagi saat cari pekerjaan baru, sulitnya bukan main karena kompetisi yang begitu sengit di awal 2023. Sudah dapat pekerjaan, ternyata takdir belum memihak dan kontrak ditarik lagi. Kalau dipikir, kenapa nasib saya bisa setidakhoki ini?!


Keluarga dan teman-teman di Indonesia sering kasihan mendengar cerita saya di Norwegia yang kelihatannya selalu pedih oleh perjuangan. Ada banyak panggilan dan rayuan untuk pulang. Ada banyak yang masih percaya bahwa nasib saya di Indonesia bisa lebih baik. Saya pun percaya itu. Saya juga ingin pulang. Lelah rasanya bertarung di negara orang. Mental saya sudah cukup tertekan.

Tapi... izinkan saya bertahan sedikit lagi. Masih ada banyak semangat, terutama dari mantan kolega di sini yang berulang kali meyakinkan saya untuk terus cari pekerjaan baru. Mereka selalu percaya bahwa kesempatan saya di negara ini akan selalu ada. It's all about timing, kata mereka saat itu. Dari mana lagi saya bisa bertahan selama ini kalau bukan dari kepercayaan dan sisa harapan yang ada. Bodoh, tapi inilah jalan yang saya pilih.

6. Selangkah lagi!

Spring in Norway, 2023. Belum tahu akan ada kejutan apalagi akhir tahun ini maupun tahun depan. Norway is always surprising!

Hanya saja, kalau dirunut lagi mengapa saya masih kuat bertahan setelah tiap tahun badai menyerang, mungkin karena sudah sejauh ini. Melihat lagi ke belakang bagaimana saya memulai perjalanan, lalu berhasil satu per satu melewati rintangan sendiri, rasanya sayang sekali untuk menyerah. Nyatanya, selalu ada solusi dari tiap masalah. Kalau pun memang ingin menyerah, harusnya dari 2020 masa pandemi kemarin langsung pulang saja ke Indonesia. Tanpa ijazah, tanpa cerita lelah mencari kerja, mungkin dengan mudah saya move on ke kehidupan selanjutnya.

Sekarang menjadi beda karena dari dua negara yang saya tinggali sebelumnya, Norwegia adalah negara terlama tempat saya mengadu nasib. Ada mimpi yang berhasil saya capai di tempat ini. Ada kehidupan yang saya bangun. Ada prospek karir yang terus menanti di masa depan. Memang menjalaninya penuh ketidaknyamanan. Tapi karena tantangan sebelumnya selalu berhasil dilalui, saya yakin ke depannya akan jauh lebih mudah dihadapi.


Juga, karena berhasil mempertahankan izin tinggal yang sekarang, saya selangkah lagi bisa mengukuhkan diri sebagai penduduk tetap (permanent resident atau PR) Norwegia. Yang artinya, masa tinggal saya menjadi tak terbatas di negara ini dan saya bisa mendapatkan semua benefit yang kemarin tak saya dapatkan layaknya orang lokal. Oh, I miss that security! Tak tahu apakah proses menjadi PR jalannya mulus ataukah akan ada kejutan lain selanjutnya, kita lihat saja nanti. Walau bagaimana pun, manusia hanya bisa berencana dan Tuhan yang menentukan.

Namun yang paling membanggakan jika berhasil sampai di tahap ini adalah, menjadi sebuah prestasi terbesar dalam hidup saya bisa berjuang di tanah orang dengan mandiri. Mandiri bukan berarti tak butuh bantuan. Tapi membuktikan ke banyak orang bahwa saya yang mantan au pair ini bisa mulai dari 0 dan bertahan di luar negeri tanpa mengandalkan lelaki. Adalah sebuah mitos bahwa mantan au pair hanya bisa bergantung ke sebuah hubungan untuk tinggal lama di sebuah negara. No, they could pick other 'nicer' paths. Hanya saja jalannya memang pelik. Tak semua orang mampu, mau, dan punya kesempatan.

Go, warriors!



21 Juli 2023

Stop Menyuruh Orang ke Luar Negeri!


Dari media sosial, kita jadi tahu sekarang banyak sekali orang Indonesia yang berdomisili di luar negeri. Entah karena ikut pasangan, sekolah, bekerja, ataupun program lain semisal au pair. Informasi semakin masif dan sudah banyak celah mewujudkan mimpi ke berbagai negara di dunia. Apalagi tak jarang juga para diaspora ini menceritakan pengalamannya lewat sebuah tulisan ataupun video untuk dikonsumsi banyak orang. Ada informasi cari kerja di luar negeri, cari jodoh via online dating, cara ampuh memperebutkan beasiswa bergengsi, hingga flexing enaknya hidup di tanah orang. Semua konten bisa ditemukan dengan mudah dan selalu disambut baik oleh para audience yang memiliki cita-cita serupa; hijrah ke negara orang. Kalau sudah begini, lambat laun keinginan untuk pindah ke luar negeri dan ganti kewarganegaraan berubah jadi new modern lifestyle.

Siapa yang tidak ingin pindah ke luar negeri, ganti paspor, lalu bisa jalan-jalan keliling dunia dengan mudah?! - kata si A.

Kayaknya kalau ditanya, semua orang Indonesia juga ingin pindah ke luar negeri. - kata si B.

Asik banget tinggal di luar negeri!! Bersih, aman, tenang, damai, jauh sekali dari tinggal di Konoha. - kata si C.

Betul. Dari saya kecil juga cita-citanya memang sudah membayangkan berada di negara orang dan melanjutkan studi bersama teman internasional. Saat bermain ayunan dan melihat langit, saya selalu percaya bahwa suatu hari nanti akan melihat langit di negara berbeda. Bukan karena benci Indonesia, tapi lebih ke pengaruh komik dan kartun Jepang yang selalu sukses menjual cerita empat musim yang epik. Seru sekali dalam setahun bisa merasakan 4 kali ganti musim yang diikuti oleh beragam budaya berbeda di tiap musimnya. Belum lagi disuguhi teknologi modern nan mutakhir, misalnya kereta listrik atau kereta bawah tanah, yang keren sekali untuk dicoba. Siapa yang jadi tak tertarik tinggal di luar negeri, kan?!


The decisions

Zaman kuliah di Indonesia dulu, saya kenal seorang mbak-mbak lewat sebuah MLM. Si mbak ini cerita kalau waktu kuliah, dia sempat memenangkan olimpiade Kimia yang salah satu hadiahnya adalah beasiswa lanjut S2 di Prancis. Dia juga menunjukkan fotonya saat berada di podium memegang piagam bersama dengan seorang runner-up. Namun karena sudah ada yang melamar, si mbak memutuskan tak jadi berangkat ke Prancis dan menikah dengan si pujaan hati. Bagi saya, keputusan tersebut sangat disayangkan. Why oh why melewatkan kesempatan lanjut kuliah ke luar negeri hanya demi seorang laki-laki?! Kalau memang berjodoh, si lelaki harusnya mau menunggu masa kuliah si mbak yang cuma 2 tahun. Bahkan kalau harus menikah pun, bukannya bisa saja LDR dulu, atau boyong sekalian saja suaminya?! Kenapa sampai harus melewatkan kesempatan yang tak akan datang dua kali?!

Cerita kedua datang dari teman sekelas saya saat kuliah S1. Sebut saja Z. Dari beberapa orang, saya tahu bahwa si Z sudah fasih bahasa Jepang dan selalu menang beberapa kompetisi berbahasa Jepang sejak SMA. Karena punya ketertarikan yang besar dengan bahasa dan budayanya, Z jadi punya ambisi kuat ingin lanjut kuliah di Jepang. Sayang, keinginan tersebut ditentang habis-habisan oleh sang ibu. Z ingin cari beasiswa S1 ke Jepang, sementara si ibu ngotot tak memberikan restunya jika Z masih nekad ingin ke sana. Singkat cerita, Z mengorbankan mimpinya dan lanjut kuliah di Indonesia. Itupun hampir DO karena Z tak serius sama sekali.

Karena selalu berjuang untuk apapun yang saya impikan, saya menilai si Z sebagai pribadi yang lemah. Dari saya pertama, kedua, hingga ketiga kali au pair pun, ibu saya juga sebetulnya tak pernah setuju. Tapi karena nekad dan penuh pertimbangan, akhirnya saya bisa membuktikan ke beliau kalau keputusan saya tersebut bisa dipertanggungjawabkan. Kebahagiaan dan cita-cita kita tak selamanya harus bergantung ke orang tua. Kadang orang tua itu hanya menggertak, namun sebetulnya ikut bangga kalau anaknya bisa kuliah dan bekerja di luar negeri. Harusnya teman saya tersebut lebih gigih memperjuangkan mimpinya, bukan dengan mudah melupakannya.


Cerita ketiga datang dari pacar teman dan masih ada hubungannya dengan Jepang. Sebut saja si A. Setelah perjuangan panjang dan lolos seleksi ini itu, akhirnya si A diterima bekerja di salah satu perusahaan di Jepang. Tujuannya kala itu, ingin bekerja selama beberapa tahun dulu sambil mengumpulkan biaya nikah. Namun siap sangka, dua minggu kemudian saya dengar si A membatalkan kontrak kerja tersebut. Man, are you losing your mind?! Alasannya, karena setelah dipikir-pikir lagi, gaji yang diterima nantinya tak sebanding dengan rasa ketidaknyamanan yang akan si A emban. "Jauh dari teman, keluarga, dan pacar, aduh.. bisa-bisa saya mati kesepian!", akunya saat itu ke teman saya. Mental lemah! Orang yang berpikiran maju harusnya mau berjibaku dengan rasa gelisah dan keluar dari zona nyaman. Itulah proses pembelajaran dalam hidup.

Cerita keempat lagi-lagi tentang teman sekelas S1 dulu yang sekarang sedang lanjut S3 di Korea. Sebut saja si B. Sempat beberapa kali chatting dan menanyakan kabar, saya baru tahu bahwa setidakbahagia itu si B tinggal di Korea. Baginya, keputusan untuk lanjut S3 di Korea bukan atas keinginan pribadi, namun karena disuruh atasan di kantor. Tinggal di Korea ternyata bagi B tak semenarik itu. "Di Jakarta sudah enak-enak semuanya gampang dicapai naik motor, di sini mesti jalan kaki dulu agar bisa sampai asrama. Cari odol saja susahnya minta ampun! Tak perlu di Jakarta, di kampung saya yang kecil itu saja cari odol mudahnya bukan main. Tak betah saya, Nin!" katanya saat itu. Saya yang orangnya tak mudah menyerah dan selalu cepat beradaptasi dengan lingkungan sekitar jadi geleng-geleng kepala dengan sifat manja si B. 

Cerita kelima adalah tentang para au pair yang memutuskan untuk pulang ke Indonesia. Di beberapa kesempatan, saya sering mendengar dari sesama au pair yang menyerukan 'anak rantau pantang pulang'. Sudah sampai Eropa, sayang sekali jika harus cepat-cepat pulang ke Indonesia. Harusnya jadikan au pair sebagai batu loncatan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Cobalah belajar lebih keras agar bisa ambil beasiswa dan lanjut studi di luar. Tak masalah pindah-pindah negara cari peluang terbaik. Kenapa cepat sekali menyerah dan buru-buru pulang ke Indonesia?! Di Indonesia kalian ingin jadi apa? Kerja apa? Bukannya sudah nyaman hidup di negara orang?


Cerita keenam tentang orang-orang pandai yang impiannya tak sejauh Roma. Saat kuliah S1 dulu, saya termasuk mahasiswa pas-pasan yang lebih sering fokus ke hal lain ketimbang mata kuliah utama. Banyak teman-teman sekelas yang otaknya lebih jenius bermimpi jadi PNS agar hidup tenang damai hingga tua. Untuk mewujudkannya, mereka berusaha keras belajar dan tak menyerah meski gagal berkali-kali pun. Bagi saya, lanjut kuliah ke luar negeri jauh lebih worth to fight for ketimbang berjibaku dengan pengidam PNS. Saya cukup heran mengapa teman-teman saya yang jenius itu tak berminat cari beasiswa S2 saja di luar negeri. Akan ada lebih banyak pekerjaan di bidang Fisika untuk mereka ketimbang harus mengabdi di Indonesia. Lambat laun, saya sadar bahwa mimpi anak muda luar pulau Jawa rata-rata tak besar. Mereka malas memikirkan hal-hal tak pasti. Bagi mereka, cukup masuk kampus impian dan bisa jadi PNS adalah mimpi sesungguhnya. Mainstream sekali!

Cerita terakhir, datang bertahun-tahun lalu saat saya masih jadi au pair di Denmark. Seorang teman, Michi, datang menemui saya dari Belgia dan kami sempat mengobrol tentang rencana hidup. Karena saat itu masih jadi au pair, saya belum tahu pasti apa yang akan saya lakukan selanjutnya. Mungkin pulang ke Indonesia dan memulai karir dari bawah, mungkin kembali ke bangku kuliah, atau mungkin juga jadi au pair lagi di suatu negara. Sementara Michi, yang kala itu sedang long distance relationship dengan seseorang di Indonesia, punya rencana untuk pindah dan tinggal di Indonesia kalau hubungan tersebut sampai ke tahap lebih serius. Saya heran dengan keputusannya. How on earth bule yang dari lahir sudah mencicipi kenyamanan di negara maju malah ingin mengorbankan banyak hal demi tinggal di Indonesia?! Cinta buta?

"Kamu aneh. Kamu tahu tidak kalau justru banyak orang Indonesia yang bermimpi bisa pindah ke luar negeri?! Too much chaos di negara itu. Pasti sulit bagi mu untuk beradaptasi dengan segala kerumitannya," kata saya.

Namun Michi mengatakan hal yang cukup menampar, "justru kamu yang aneh. Yes, you are so tough. Tapi sendirian di negara orang, bukannya justru ada lebih banyak hal yang kamu korbankan? Tidak semua orang Indonesia ingin lari dari negara itu, Nin. Banyak yang justru bahagia tinggal di sana. Kamu saja yang mungkin tak tahu."

But no, I didn't buy it! Kata-katanya sama sekali invalid.

The reflections

Apakah rumah selalu seburuk itu?

Tapi pikiran manusia itu dinamis, termasuk pemikiran saya sendiri. Kemarin saya pikir pernyataan Michi invalid, hari ini saya katakan hal tersebut valid! Hampir 10 tahun tinggal di benua Eropa, saya semakin terbuka melihat suatu hal dari beragam perspektif. Sering bertemu orang baru, mendengar keluh kesah mereka, merasakan bagaimana sulitnya berdiri di kaki sendiri, saya sadar bahwa hell no rumput tetangga akan selamanya hijau! Struggling orang di luar negeri itu sebetulnya juga banyak. Tapi mudah saja ditutupi dengan cerita indah.

Dulu saya masih naif dan excited dengan banyak hal, sama seperti para diaspora lainnya yang begitu bangga tinggal di negara orang. Perjuangan kami bisa sampai tahap ini tak mudah. Kami mengorbankan banyak hal hanya demi mendapatkan sesuatu yang sangat worth-it untuk diperjuangkan. Tak ada salahnya juga membagikan momen bahagia ke khalayak ramai tentang enaknya menginjak padang rumput hijau tetangga. Flexing dikelilingi teman-teman bule. Flexing bisa liburan; makan pagi di Kopenhagen, makan siang di Barcelona, makan malam di Athena. Bragging bisa hidup hedon, tapi tetap bisa menabung dan mengirim uang ke Indonesia. Flexing bisa pakai apapun yang kami mau tanpa takut dipandang negatif.

But yeahit's not always rainbows and butterflies

Dari ketujuh cerita di atas, kalian bisa melihat bahwa it's all about me, me, and me! Saya wanita kuat, wanita hebat, wanita tangguh, wanita cerdas, wanita yang selalu berjuang untuk masa depannya. Saya si paling pejuang. Sementara orang-orang yang tak mau keluar dari zona nyaman, tak kuat beradaptasi, tak menyukai luar negeri, tak mau dan sanggup bermimpi besar, adalah orang-orang lemah. Orang-orang yang tempatnya memang cuma di Indonesia, tak akan maju-maju. Pemikiran ini terlalu memaksa! Sebuah pengingat untuk diri sendiri bahwa tidak semua orang akan seperti saya dan ingin menjadi saya. Bagus untuk saya, belum tentu bagus untuk orang lain. 

1. Kehidupan luar negeri yang keras ini tidak untuk semua orang! Kamu sangat boleh pulang ke Indonesia setelah masa au pair atau sekolah mu berakhir. Dunia ini tidak akan berhenti berputar meski kamu kembali ke kampung halaman. Kadang, memulai karir yang tepat di Indonesia akan dipandang jauh lebih baik daripada bertahun-tahun mengisi masa muda jadi 'babu fleksibel' (baca: au pair) di Eropa. Pulang bukan berarti kalah atau menyerah. Justru kepulangan mu ke Indonesia siapa tahu bisa membuka jalan lain yang lebih baik. Kamu kuat, kamu hebat, sudah berhasil keluar dari zona nyaman dan setidaknya mencoba tinggal di negara orang! It's SUPER okay to say, "living abroad is not for me".


2. Hidup ini kadang tidak hanya tentang kita, kita, dan kita! Banyak orang yang mimpinya masih bergantung di kebahagiaan orang tua. Daripada menyalahkan mereka yang tidak seteguh hati mempertahankan mimpi, mungkin bisa lebih memahami apa yang entah terjadi di kehidupannya di luar sana. Bisa jadi seseorang ingin berbakti dulu untuk membuat orang tuanya bangga. Di pemikiran masyarakat Indonesia yang beragama, restu Tuhan adalah restu orang tua. Orang tua tak merestui, maka Tuhan pun tak akan mengabulkan doa kita. Prinsip ini tak membuat seseorang terlihat lemah. Justru dia kuat mempertahankan prinsipnya untuk selalu percaya dengan kuasa Tuhan lewat restu orang tuanya.

3. Tidak ada mimpi yang lebih baik! Orang bermimpi jadi PNS, ya silakan saja. Saya ingin jadi astronot NASA, misalnya, ya boleh-boleh saja. Mimpi saya memang terdengar lebih ambisius dan besar. Tapi bukan berarti saya boleh mengecilkan mimpi orang. Banyak yang berjuang mati-matian sampai mencoba belasan kali untuk jadi aparatur negara. Meski katanya jadi PNS sudah kuno karena warisan zaman penjajahan, tapi buktinya masih banyak yang menggantungkan nasibnya di sini. Saya tidak mau, ya justru bagus. Mengurangi kompetisi. Silakan pilih jalan sendiri-sendiri. 

4. Hidup di negara orang faktanya memang tak nyaman! Lalu kenapa tak boleh mengeluh?! Bukannya wajar saja jika orang membandingkan negara tempatnya tinggal sekarang dengan kampung halaman? Kalau banyak di media sosial yang sering mengagungkan luar negeri dan membandingkannya dengan Indonesia, mengapa tak boleh sebaliknya?! Apalagi posisi kita di negara orang hanyalah tamu, meski sudah tinggal lama sekali pun. Akan ada perasaan saat kita merasa 'not belong here/there' karena masih adanya perbedaan pola pikir, budaya, serta yang paling mencolok, penampilan.

Sebetulnya dari dulu saya sudah sering jujur suka duka hidup di negara orang. Kalau mengikuti cerita saya pertama kali jadi au pair, kalian bisa tahu jika saya berusaha mengimbangi kenyamanan ini dengan fakta tentang betapa durjananya hidup di luar negeri. Cerita tersebut juga sangat personal karena saya memulai langkah di benua biru ini via jalur mandiri. Artinya, sampai sekarang saya tinggal di luar negeri karena usaha sendiri, bukan ikut keluarga. Karena harus berusaha sendiri ini jugalah, hidup saya di sini jauh dari kata sempurna.


Begitu pun dengan kehidupan para diaspora lain, entah apapun jenis izin tinggalnya. Banyak cerita tentang kehidupan pribadi, pertemanan, hingga pekerjaan yang tak mereka bagikan. Mereka sebetulnya juga stres memikirkan izin tinggal dan integrasi dengan lingkungan sekitar. Bagi pelajar, akan ada perasaan was-was kala memikirkan ujian dan cari pekerjaan setelah lulus. Ada banyak jiwa-jiwa kesepian karena sulitnya membangun pertemananan yang kokoh di tempat asing. Tak terkecuali bagi para pasangan yang sudah punya anak dan membangun keluarga. Permasalahan akan jadi lebih pelik jika hubungan mereka tak berjalan mulus. Banyak juga yang akhirnya kerja gelap demi bisa tinggal lama di sebuah negara. Bahkan, ada sebuah grup pertemanan yang saling menyarankan untuk hamil di luar nikah daripada harus kembali ke Indonesia. Apapun jalan yang mereka ambil, sama saja. Demi apa? Izin tinggal! Yes, betapa beratnya mempertahankan izin tinggal itu, Kawan!

The satisfactions

Semua orang Indonesia ingin pindah ke luar negeri? Ah, tidak juga.

Beberapa waktu lalu heboh di jagad Twitter tentang tuit orang Indonesia yang merasa tak akan pernah bisa tinggal di luar negeri karena perkara makanan. Baginya, kuliner Indonesia adalah surga dunia. Tak terbayangkan jika harus tinggal di negara orang tanpa kemudahan dapat makanan tradisional. Sebetulnya tuit tersebut cukup mewakili orang Indonesia lain yang masih was-was tak bisa lagi makan enak di luar negeri. Opininya tak salah. Tapi namanya juga Twitter, apapun jadi kontroversi. Banyak diaspora Indonesia yang jelas tak sepakat. Alasannya, mudah saja mendapati bumbu serta masakan Indonesia di luar negeri. Ada banyak jalan yang bisa diakali tanpa menjadikan hal tersebut sebagai halangan. Bisa belajar masak sendiri, pesan di katering ibu-ibu Indonesia, ataupun impor langsung dari Indonesia via jasa titip luar negeri. Intinya, jangan manja dan adaptasi saja dengan rasa!


Tapi sebagai orang Palembang yang seringkali kangen cita rasa asli kampung halaman, tuit kegelisahan tersebut sangat relevan dengan apa yang saya alami di sini! Soal rasa memang subjektif, namun kebanyakan makanan Indonesia yang saya temukan di luar negeri cenderung hanya rasa alternatif. Tak khas. Meski ada, namun tak semua bumbu juga dengan mudah ditemukan di toko Asia. Pun makanan yang dijual di restoran biasanya sudah mengikuti selera lokal.

Jujur, ada kalanya juga saya ingin yang lebih spesifik, semisal Pepes Tempoyak Ikan dengan olahan fermentasi durian. Disuruh belajar dan masak sendiri, wahh repot sekali. Ingin pesan ke ibu-ibu katering, belum tentu mereka paham cara membuatnya. Ingin mengatakan saya malas? Ya, silakan. Tak selalu bisa mendapatkan apa yang saya mau? Ya, saya paham. Tapi bagi sebagian orang, persoalan makanan memang perkara serius. Makanan Indonesia adalah comfort food dan saya bisa mengerti perasaan orang-orang yang tak bisa hidup tanpanya.

Meski hanya rasa alternatif, makanan Indonesia selalu terasa mewah di negara orang

Ada juga cerita tentang orang-orang yang dulunya saya kira terlalu lebay tak bisa hidup di luar negeri karena cuaca dingin. Hampir satu dekade saya tinggal di negara 4 musim, hidup saya nyatanya aman-aman saja. Yang terpenting, pakai pakaian yang tepat dan mencoba berada di dalam ruangan sesering mungkin. Tapi meski secara pakaian sudah benar pun, tetap harus saya akui bahwa musim dingin memang menyebalkan! Sah saja jika ada orang yang mengeluh karena saya pun seringkali dibuat kesal.

Musim dingin di Nordik lebih brutal dari wilayah Eropa lain karena suasananya yang sangat gelap dan depresi. Salju memang indah dan menyenangkan. Itu kalau kita bisa ski, waktunya di akhir pekan, dan kita cuma di rumah. Tapi kalau tiap hari diguyur salju dan harus bekerja pula, malas sekali bangkit dan bersiap pergi menunggu angkutan umum. Belum lagi kalau sudah tebal, salju bisa membuat masalah. Jalanan jadi macet yang berimbas ke tertundanya jam operasional angkutan umum.


Matahari adalah sumber energi dan kebahagiaan. Walau secara sosio ekonomi negara-negara Nordik selalu jadi pemenang negara terbahagia di dunia, tapi mereka juga pengemis kehangatan di musim panas. Saya juga sempat tak percaya saat membaca sebuah artikel yang menyebutkan bahwa the real happiest countries itu justru adalah negara-negara tropis. Matahari yang bersinar setiap tahun, hangatnya budaya kolektif, alam yang selalu hijau layaknya surga dunia, serta gaya hidup santai yang tak selalu mengejar prestasi sejatinya membawa perasaan bahagia yang hakiki. Kalau tak salah, salah satu negara di Amerika Selatan yang jadi pemenangnya. Sayang, saat dicari lagi, saya tak menemukan artikel tersebut yang akan sangat menarik untuk dibagikan.

Semua orang Indonesia ingin ganti kewarganegaraan agar bisa jalan-jalan keliling dunia, memangnya tak perlu duit?

Kecuali yang bersuara adalah the real traveler atau backpacker seperti Trinity Traveler, maka ide untuk keliling dunia meski sudah ganti paspor hanyalah ambisi semata. Ada banyak orang yang saya kenal sudah ganti paspor, tapi gaya travelling mereka tak berubah. Agenda keliling dunia tak selalu ada tiap tahun. Pun rata-rata masih menghabiskan liburan di negara sekitar Eropa karena murah dan dekat. Sebaliknya, orang Indonesia sekarang malah banyak yang bisa afford jalan-jalan keliling dunia dengan segala keterbatasan yang ada. Kalau disuruh memilih jadi kaya di Indonesia atau hidup pas-pasan di negara orang, tentu saja saya akan memilih yang pertama! Haha! Beli tiket kelas bisnis dan jalan-jalan saja keliling dunia setiap tahunnya ala traveller. Saat jadi traveller justru lebih enak karena yang terpampang di depan mata hanya yang indah-indah. Jadi penduduk justru lebih capek karena urusan izin tinggal.

Akan selalu jadi pengingat untuk saya sendiri bahwa mimpi dan kebahagiaan orang itu jelas tak sama. Semuanya berhak fight for what they've dreamed of, dimana pun berada ☺



14 Juli 2023

Status Terakhir: Penutupan Program Au Pair di Norwegia

Sudah hampir dua tahun lalu saya menulis postingan tentang upaya pemerintah Norwegia menutup program au pair, tapi sampai sekarang belum ada keputusan pasti apakah rencana tersebut akan jadi kenyataan. Isunya, musim gugur tahun lalu adalah akhir program au pair. Tapi karena dari tahun kemarin isu penerapan biaya kuliah sangat masif dan menarik lebih banyak minat internasional, kabar au pair pun perlahan tenggelam.

Hingga akhirnya, thanks to Peggy Hessen Følsvik, kepala serikat pekerja Norwegia, yang awal tahun tadi mendesak pemerintah untuk kembali tegas menutup program au pair sesegera mungkin. Karena memang sudah jadi agenda awal sejak dilantiknya pemerintahan yang baru, maka dari 3 bulan lalu pengadilan secara umum membuka kolom untuk kritik, saran, serta solusi bagi siapapun yang ingin suaranya berpengaruh di persidangan. Meski tak ikut menyumbang suara, tapi saya giat mengikuti perkembangan terkini serta membaca satu per satu surat yang masuk. Tentu saja, setiap usulan akan menimbulkan pro kontra. Agensi au pair dan host family adalah yang paling terdepan tak menyetujui usulan ini. Sementara para au pair, meski ada juga yang kontra, tapi dominan dari mereka setuju jika program ini dihentikan.

Wacana dengan sejarah panjang

Satu bulan mengawali masa au pair di Norwegia

Dari dua tahun lalu, saya sebetulnya sudah menanti kabar pasti dari pemerintah. Meski tak berdampak ke saya langsung, tapi informasi teraktual akan sangat membantu bagi siapa pun yang berniat jadi au pair di Norwegia. Di kurun waktu tersebut juga, saya berkenalan dan mendengar kisah beberapa au pair Indonesia yang baru tiba. Bukannya ikut senang mereka bisa memenuhi mimpi ke luar negeri, saya malah dibuat geram dengan perlakuan host family mereka yang semena-mena.

Saya memang 'besar' di Eropa karena program ini. Karena au pair juga lah saya bisa lanjut kuliah dan bekerja di Norwegia. Tapi karena semakin ke sini yang terdengar berita buruknya saja, akan begitu lega rasanya melihat nasib host family yang finally tak memiliki kemewahan lagi punya 'babu fleksibel'. Namun walau sudah dicanangkan dua tahun lalu, pemerintah sepertinya belum melihat adanya urgensi memperbaiki nasib au pair. Apalagi pasca Korona negara kembali menata perekonomian yang baru dan ada banyak isu lain untuk diprioritaskan.

Tapi jauh sebelum itu, wacana penutupan program au pair di Norwegia sudah lama terdengar. Ada banyak pihak yang merasa program ini tak tepat sasaran. Isu tentang au pair selalu jadi kontroversi hampir setiap tahun. Setidaknya dalam kurun waktu 15 tahun terakhir, sudah 4-5 kali adanya desakan untuk menutup program au pair di Norwegia. Di tahun 2017 ketika masih berada di Denmark, saya sedikit ragu apakah Norwegia adalah tujuan selanjutnya, mengingat sudah ada ancang-ancang dihapuskannya program au pair. Tapi nyatanya tak jadi. Meski sudah masuk persidangan, tapi pengadilan memutuskan bahwa tak ada yang salah dengan sistem saat itu. Hanya ada beberapa hal yang diperbaiki misalnya, kenaikan uang saku, subsidi uang kursus, serta meningkatnya biaya aplikasi izin tinggal.


Pengadilan menilai au pair di Norwegia masih menjadi win-win solution bagi kedua belah pihak, au pair dan host family itu sendiri. Keluarga yang memiliki anak bisa terbantu untuk hidup lebih seimbang dan fokus bekerja karena ada tangan ketiga yang membantu di rumah. Sementara bagi au pair, kesempatan ini adalah peluang emas untuk datang ke negara maju, bertukar budaya, belajar bahasa, serta menabung sedikit penghasilan.

Tapi fakta di lapangan menunjukkan yang paling win justru adalah para keluarga. Dari surat pra-peradilan yang saya baca, banyak host family curhat bahwa selama ini mereka sangat terbantu dengan adanya au pair. Mereka bisa bekerja lebih tenang dan punya kesempatan me time lebih sering karena tak stres memikirkan anak. Mereka juga menilai program ini justru banyak membantu para au pair miskin dari negara ketiga memperbaiki perekonomian keluarga. Catat! Mereka melihat au pair di Norwegia tujuan utamanya adalah cari cuan. 

Kalau dinilai program au pair di negara ini adalah sebuah sistem perbudakan yang buruk, maka lihatlah negara-negara di Timur Tengah sana! Ada banyak sekali yang memang kenyataannya diperlakukan sebagai 'the real slaves'. Banyak dari mereka yang merasa bekerja sebagai au pair di Norwegia lebih baik ketimbang jadi pembantu di Timur Tengah, curhat salah satu keluarga.

Sebagai negara maju, program ini bisa bermanfaat untuk membantu menurunkan taraf kemiskinan di negara ketiga. Para au pair saya yang dari Filipina setiap bulan selalu mengirim uang untuk keluarga dan bisa membantu adiknya sekolah, curhat keluarga lain.

Tidak ada yang salah dengan program ini. Jangan melebih-lebihkan hal yang tidak perlu! Harusnya pemerintah lebih jeli mengurusi sektor lain yang lebih berguna! tulis salah seorang yang jelas tak setuju program au pair ditutup.

Para keluarga selalu menegaskan poin bahwa program ini dapat membantu au pair miskin memperbaiki ekonomi keluarga. Bahkan ada yang mengatakan bahwa program au pair adalah lapak emas karena seseorang bisa membangun rumah di kampung halaman dari uang sakunya selama 2 tahun. "Where on earth kamu kerja 2 tahun sudah bisa membangun rumah?!" tulisnya. Lucunya, embel-embel pertukaran budayanya justru tak ada. Saya tak menemukan cerita dari keluarga manapun yang mengatakan au pair mereka sukses dalam pertukaran budaya. Misal, "au pair saya satu tahun kursus bahasa sudah lancar mengobrol dengan anak-anak" atau "au pair saya sangat serius embracing Norwegian culture, sampai-sampai 2 tahun sudah pandai ski". Tak ada!

Curhatan para host family hanya menekankan ke uang, uang, dan uang. Mereka berulang kali menyatakan ditutupnya program au pair di Norwegia akan berakibat fatal bagi anak muda yang tak bisa lagi datang ke sini (dan cari cuan). Ironis, apa yang para keluarga ini katakan juga tak salah. Dengan persentase lebih dari 80% au pair di Norwegia berasal dari Filipina, tak heran bahwa yang terlihat di permukaan adalah para au pair yang tujuannya cari uang. Kepada para rekan au pair dari Filipina, kenapa oh kenapa kalian terlalu jujur menjual cerita kemiskinan sampai ending-nya banyak yang dimanfaatkan begini?!

Stop Perbudakan Ujung Barat!

Karakteristik perumahan di daerah Ujung Barat Oslo

Mari sedikit kembali ke sejarah kota Oslo. Penamaan Ujung Barat (Vestkanten) dan Ujung Timur (Østkanten) yang dipakai sampai sekarang, berawal dari abad ke-17 ketika Sungai Aker (Akerselva) membagi Oslo ke dalam dua wilayah. Di tahun 1840, wilayah barat merupakan milik perorangan dengan area belakang kastil sebagai pintu keluar, sementara wilayah timur mulai dibangun banyak pabrik untuk memperbarui industri. Dari gambaran singkat ini, adanya perbedaan gaya hidup dan pekerjaan di dua wilayah jelas ketara. Kelas pekerja yang menghuni bagian barat diisi oleh dokter atau pengacara, sementara banyak pekerja kerah biru bekerja di pabrik industri wilayah timur.

Sejak 1970, membludaknya imigrasi di Oslo juga memberikan pengaruh signifikan terhadap perbedaan wilayah barat dan timur. Imigran dari Eropa Barat dan Amerika Utara memilih tinggal di barat, sementara imigran dari Asia, Afrika, dan Eropa Timur mendiami wilayah timur. Hal ini dikarenakan harga properti, sekolah, dan gaya hidup yang jauh lebih murah dari barat. Dari segi bahasa lokal pun, orang-orang yang mendiami wilayah barat berasal dari kalangan terpelajar menggunakan posh Norwegian, alias bahasa Norwegia yang memenuhi tata bahasa. Sementara wilayah timur lebih ke casual Norwegian yang banyak terpengaruh oleh percampuran bahasa dari negara pendatang lain.

Meski sekarang wilayah timur sudah masif perkembangan dan pembangunannya, namun tetap masih ada sisa perbedaan antara yang mendiami Ujung Barat dan Ujung Timur. Perumahan di wilayah barat cenderung lebih residensial, tenang, dan hijau, sementara wilayah timur lebih terkesan hidup, internasional, dan industrial.

Jadi, apa hubungannya dengan au pair?

Para keluarga kaya Norwegia yang memiliki au pair dominan mendiami bagian barat Oslo. Ada banyak seruan dan demo dari serikat buruh di Norwegia menjuluki program au pair adalah Vestkantslaveriet atau perbudakan Ujung Barat. Dari total 1100 au pair yang sekarang masih berdomisili di Norwegia, hampir 70% dari mereka tinggal bersama keluarga Oslo. Lalu kalau ditelusuri lebih lanjut, para keluarga di Oslo yang punya au pair ini tinggal di wilayah barat. Termasuk keluarga saya dulu.


Gaya hidup para keluarga kaya Ujung Barat ini juga super mind blowing. Tak heran mengapa mereka sangat butuh au pair untuk membuat hidup seimbang, bahkan setelah punya anak pun. Di Norwegia sering ada persepsi bahwa au pair dianggap sebagai maskot bagi para keluarga kaya. Rasanya tak epik dilihat kalau punya anak dan banyak duit, tapi tak punya au pair. FOMO!

Norway is a beast!

Beauty and 'The Beast'

Setelah mengakui Denmark sebagai negara terburuk bagi au pair, saya juga menobatkan Norwegia sebagai negara terburuk selanjutnya. Entah ada apa dengan negara Skandinavia ini. Katanya si negara paling bahagia, negara yang menjunjung kesetaraan, dan negara dengan taraf hidup tinggi. Mengagetkan, ternyata diisi oleh orang-orang tak punya hati nurani. Entah apa yang membuat banyak keluarga memperlakukan manusia lain layaknya budak. Abusing their power as the first world country?

Beberapa pola dan gaya hidup keluarga kaya Norwegia:

1. Para au pair dianggap mama kedua di rumah untuk menyeimbangkan kehidupan yang nyaman bagi host mom. Semenjak punya au pair, si bapak punya banyak waktu olahraga, keluar malam, hingga liburan dengan gengnya. Si ibu bisa dengan leluasa kembali yoga, lari pagi, ngopi di kafe, berpesta ria, hingga mengadakan girls' trip ke luar negeri dengan para besties. Sungguh gambaran nyata work-life balance sebuah keluarga di Norwegia! Saking seringnya have fun dengan besties, pulang-pulang si anak malah lebih dekat dengan au pair ketimbang orang tua asli mereka.

2. Orang Norwegia sangat doyan mengadakan pesta di rumah mengundang para keluarga dan kerabat. Namun siapa yang paling repot kalau ada acara? Ya jelas, au pair! Dari pagi hingga malam au pair disuruh bebersihan, melayani tamu, hingga ada juga yang masak untuk pesta. Diajak ikut pesta dan mencicipi makanan satu meja? Boro-boro!

3. Para keluarga yang mengatakan "kita suka masakan Asia" itu sebetulnya salah satu bentuk eksploitasi. Faktanya, mereka hanya malas masak! Saya tahu ada au pair yang setiap hari jadi koki di rumah karena host family-nya suka sekali masakan Asia. Meski si au pair hepi saja masak setiap hari, sangat tak adil sudah disuruh mengerjakan pekerjaan rumah, jaga anak, sorenya harus kembali ke dapur menghidangkan makanan untuk keluarga. 


4. Yang paling mengagetkan bagi saya saat tahu ada au pair yang pernah disuruh membuat presentasi kerja host mom! Gila! Au pair ini katanya punya gelar S2 Ekonomi Bisnis dari negara asalnya dan lebih paham tentang data dan grafik. Suatu hari, si host mom merasa tak punya waktu membuat presentasi, lalu si au pair inilah yang mengerjakan tugas tersebut. Saya juga pernah dengar ada host family yang mengeksploitasi au pairnya jadi guru privat anak saat tahu si au pair ini pandai main piano dan mengajar bahasa Inggris. Please, jangan terlihat pintar-pintar amat di depan keluarga kaya arogan ini! 

5. Babu bergilir alias jasa au pair seringkali dipinjamkan ke teman dan keluarga host family yang sedang butuh tukang bersih-bersih. Para au pair ini mau-mau saja kerja gelap jadi cleaning lady karena diimingi-imingi NOK 200-250/jam. Bagi keluarga kaya Norwegia, uang tersebut tak seberapa dibandingkan mendatangkan tukang bersih-bersih asli dari agensi yang biayanya paling sedikit NOK 400/jam. Untuk au pair, berapapun uang yang diterima sangatlah lumayan untuk jajan dan tabungan. Tak hanya itu, di sebuah artikel lain yang saya baca, seorang au pair bahkan pernah disuruh jaga butik milik host family! Speechless! (Baca juga: Berapa Sebetulnya Gaji Nanny dan Cleaning Lady di Norwegia?)

6. Au pair di Norwegia itu bukan bagian dari keluarga. Sadarlah! Kalau memang para keluarga ini benar-benar menganggap kita sebagai bagian dari mereka, harusnya hidup kita di Norwegia setara. Makan bersama, party bersama, travelling bersama, mengurus anak serta bersih-bersih rumah bersama. Host family juga harusnya adalah orang pertama yang kita percaya dan bisa kita mintai tolong di negara ini. Bukan malah sebaliknya. 

It comes to an end

Menunggu matahari musim panas terbenam di Oslomarka

Meskipun terdengar sudah diambang penutupan, namun tetap ada desas-desus bahwa mengubah sistem au pair yang sudah ada tak semudah membalikan telapak tangan. Banyak yang masih percaya bahwa program ini lebih condong memberikan dampak positif ketimbang negatif. Salah satu badan sosial yang terlibat dalam proses au pair memberikan fakta mengejutkan bahwa hanya 2,3% saja au pair yang diperlakukan buruk. Data tersebut didapat dari umpan balik para au pair yang vokal menceritakan pengalamannya ke mereka. Organisasi ini yakin bahwa ada banyak au pair yang kenyataannya sangat bahagia tinggal di negara ini. Padahal kalau ingin mendata dengan adil, mereka harusnya mewawancarai semua au pair yang tinggal di Oslo.

Jujur saja, saya dibuat kesal sendiri saat membaca surat dari para organisasi ataupun agensi yang katanya sangat pro au pair itu. Saya tak pernah melihat para organisasi ini berjuang demi kemaslahatan au pair. Mereka hanya menampung keluh kesah, namun tak bisa memberikan solusi dari tiap masalah. Misal, secara tegas mem-blacklist dan melaporkan para keluarga yang jelas-jelas abusive dan eksploitatif. Ada banyak au pair yang malas berkonsultasi karena tak ingin memulai drama dengan host family. Ada banyak juga yang malas pindah keluarga karena takut tak akan mengubah nasib. Hal tersebut terjadi karena organisasi ini juga tak seratus persen membantu menyaring keluarga bermasalah. Hingga saatnya program ini akan ditutup, mereka pusing sendiri cari suara untuk mengubah hasil sidang.


Namun menyalahkan agensi dan badan terkait saja juga tak adil. Ada banyak faktor yang menyebabkan para keluarga bisa semena-mena terhadap au pair mereka. Kultur Asia yang sangat naif, tak vokal, terlalu loyal, dan seringkali mendahulukan perasaan ketimbang akal, bisa jadi boomerang untuk mengeksploitasi au pair itu sendiri. Banyak keluarga yang merasa kita bahagia dan menerima apa adanya karena kita hanya diam. Kita tak pernah jujur dengan perasaan sendiri. Kita takut. Kita merasa sendiri. Mereka juga beranggapan tujuan kita ke Norwegia memang hanya untuk cari uang, karena surat motivasi yang kita buat lebih banyak jual cerita kemiskinan. Terlebih lagi, kemampuan bahasa dan komunikasi kita yang tak terlalu baik dapat menimbulkan miskomunikasi dan mispersepsi. Sebelum minta tolong orang, kitalah yang harus menolong diri sendiri dulu. Belajar untuk lebih terbuka, lebih berani dalam bersuara, dan melihat bahwa para keluarga ini juga manusia biasa yang sebetulnya juga desperate kalau ditinggal au pair.

But well, masih libur musim panas. Sesi kolom komentar, saran, dan kritik sudah ditutup akhir Juni tadi. Sekarang tinggal menunggu akhir liburan dan mengikuti perkembangan terbaru dari kasus ini. Masih ada waktu bagi yang ingin jadi au pair di Norwegia. Sebelum ketuk palu, pengadilan masih mengulur waktu untuk menimbang dulu saran dari semua pihak. Dari yang saya baca juga, imigrasi Norwegia hanya memberi masukan ke pengadilan tentang batas permohonan izin tinggal jika program ini akan ditiadakan. Misal, permohonan terakhir untuk aplikasi perdana au pair adalah XX.XX.202X. Sementara katanya hal ini tidak akan berdampak ke para au pair yang sudah memiliki izin tinggal di Norwegia dan berniat ganti keluarga. Mari kita lihat sampai akhir tahun!

Kalian sendiri bagaimana, setuju atau tidak dengan penutupan program ini? Mengapa?



emerge © , All Rights Reserved. BLOG DESIGN BY Sadaf F K.