Awal tahun depan genap sudah saya 10 tahun tinggal di Eropa, tepatnya mondar-mandir di 3 negara. Harusnya sudah bisa ganti kewarganegaraan atau jadi penduduk tetap kalau saya fokus membangun nasib di satu tempat. Tapi karena izin tinggal juga "kontrakan" alias masih tak tentu, maka sampai sekarang nasib saya belum stabil di tanah orang. Namun siapa sangka sudah selama itu, padahal yang paling teringat baru 2 tahun lalu saya lulus kuliah . Yang terasa kalau baru lulus, masih fresh from the oven . Pengalaman masih seusia jagung. Baru lahir, baru berkembang, baru ketemu dunia sesungguhnya. Yang harusnya dari kecil asa saya cuma ingin lanjut kuliah di luar negeri, jadi punya kesempatan tinggal selama ini. Satu dekade bukan waktu yang sebentar menghabiskan usia 20-an di negara orang. Apa tak ada niat untuk pulang? Oh, jelas saja, ADA! Sering malah. Yang menyuruh saya pulang juga banyak. Tapi, kenapa masih di sini? 1. Ketagihan au pair Belgia, 2014. Membuka kembali album foto saat
Dari media sosial, kita jadi tahu sekarang banyak sekali orang Indonesia yang berdomisili di luar negeri. Entah karena ikut pasangan, sekolah, bekerja, ataupun program lain semisal au pair . Informasi semakin masif dan sudah banyak celah mewujudkan mimpi ke berbagai negara di dunia. Apalagi tak jarang juga para diaspora ini menceritakan pengalamannya lewat sebuah tulisan ataupun video untuk dikonsumsi banyak orang. Ada informasi cari kerja di luar negeri, cari jodoh via online dating , cara ampuh memperebutkan beasiswa bergengsi, hingga flexing enaknya hidup di tanah orang. Semua konten bisa ditemukan dengan mudah dan selalu disambut baik oleh para audience yang memiliki cita-cita serupa; hijrah ke negara orang. Kalau sudah begini, lambat laun keinginan untuk pindah ke luar negeri dan ganti kewarganegaraan berubah jadi new modern lifestyle . Siapa yang tidak ingin pindah ke luar negeri, ganti paspor, lalu bisa jalan-jalan keliling dunia dengan mudah?! - kata si A. Kayaknya kalau dit