28 Desember 2021

Au Pair: Dulu dan Sekarang



Belum masuk 2022 dan saya baru tahu au pair pun sekitar 9 tahun lalu. Rasanya terlalu cepat membahas apa yang terjadi di dunia peraupairan dari tahun ke tahun dan membandingkannya dengan apa yang terjadi sekarang. Namun yang menarik, sudah banyak hal yang terjadi dalam kurun waktu kurang dari satu dekade ini.

Bagi yang baru mengikuti blog ini dan belum tahu apa yang saya lakukan di Eropa, bisa mampir ke postingan saya ketika pertama kali mendarat di Belgia. Di tahun 2014, langkah besar saya ke Eropa dimulai dengan menjadi au pair. Yang belum tahu, au pair adalah program pertukaran budaya dimana kita  anak muda di bawah usia 30 tahun  bisa tinggal dengan keluarga angkat (host family) di luar negeri dan menghasilkan uang dari membantu mengurus anak serta bersih-bersih di rumah mereka. Selain dapat uang saku, kita juga difasilitasi kamar pribadi, makanan, serta dibayari kursus bahasa oleh keluarga tersebut. We definitely do NOT live for free karena kita bekerja untuk ditukar dengan semua fasilitas tersebut. Sounds like a maid?


Pekerjannya mirip, namun konsepnya tidak. Dulunya, au pair ini dipopulerkan oleh gadis-gadis muda Eropa dari kelas menengah yang tertarik menghasilkan uang dengan menjadi babysitter di luar negeri. Makna au pair yang berasal dari bahasa Prancis berarti 'on a par' atau 'setara' merujuk kepada status au pair yang lebih dianggap sebagai anggota keluarga ketimbang pembantu rumah tangga. Saat tinggal bersama keluarga ini kita berperan layaknya kakak tertua yang makan satu meja dengan keluarga dan bekerja dengan jam kerja yang terbatas. Sekarang, au pair lebih sering dimanfaatkan oleh anak muda non-Eropa sebagai kesempatan mencari pengalaman dan belajar budaya baru selagi tinggal dengan keluarga asing di luar negeri.

Di tahun 1969, 13 negara di Eropa sepakat agar hak serta kewajiban au pair tertera jelas dalam sebuah kontrak yang menekankan bahwa status au pair bukanlah pembantu rumah tangga maupun pelajar. Sejak itu pula terjadi banyak perubahan regulasi dari masa ke masa. Saya tak tahu pasti bagaimana program ini berjalan berpuluh tahun kemudian  terlebih untuk orang Indonesia, but I can speak from my experience less than a decade.


1. Informasi

Orang Indonesia yang jadi au pair di luar negeri sebetulnya tak dimulai dari 5 atau 10 tahun lalu, tapi lebih lama daripada itu. Diperkirakan awal tahun 2000-an. Tak jelas juga bagaimana mereka mendapatkan informasi tentang program ini karena blog pun baru populer di Indonesia awal 2000-an, ketika banyak orang mulai berkenalan dengan komputer dan internet. Bisa jadi lewat AuPairWorld, situs agensi au pair terbesar dan terpopuler, yang juga baru didirikan tahun 1999 bersamaan dengan awal mula blogging.

Pun begitu, beberapa tahun kemudian informasi tentang au pair masih sangat terbatas dan belum banyak orang yang menuturkan pengalamannya dalam sebuah tulisan. Generasi 90-an saat itu juga masih cilik-cilik dan belum ada pikiran terbang ke luar negeri demi jadi au pair. Baru lebih dari 10 tahun kemudian, apapun yang berbentuk luar negeri selalu menarik perhatian. Mungkin karena saat itu low-cost carrier sedang menjamur dan menggerus perspektif bahwa luar negeri hanya milik orang berduit. Bagusnya lagi, orang-orang yang sudah punya pengalaman tinggal di luar negeri bersedia menuliskan pengalaman mereka dalam bentuk buku. Salah satunya tentang au pair ini.


Di tahun 2013 ketika iseng cari buku di toko buku online, saya tak sengaja menemukan novel romantis yang ditulis dari kisah nyata seorang mantan au pair di Austria. I had no idea what au pair was sampai akhirnya Googling sendiri dan mendarat di situs AuPairWorld tadi. Tak hanya satu itu saja. Di tahun yang sama, Icha Ayu juga merilis sebuah buku tentang pengalamannya jadi au pair di Prancis. Sebagai bahan rujukan, saya juga beli dan baca bukunya Icha Ayu ini agar semakin paham konsep au pair itu seperti apa. Namun karena saat itu saya sudah menemukan host family di Belgia, baca buku saja tak cukup. Cari informasi tentang dokumen yang diperlukan ke negara ini sulitnya bukan main. Saya bingung harus mulai dari mana. Beruntung, saya menemukan satu-satunya informasi dari orang Indonesia lewat blog Alfi Yusrina.

Sekarang, yang penting modal internet dan curiosity, semuanya bisa didapatkan dengan mudah. Ada banyak sekali blog, vlog, dan kanal Youtube orang Indonesia yang secara sukarela berbagi informasi tentang cara mereka jadi au pair dari A-Z. Saya tak pernah berhenti menuliskan pengalaman dari jadi au pair 7 tahun lalu sampai sekarang masih tinggal di Norwegia. Semoga kalian yang tertarik jadi au pair juga menemukan banyak kepingan informasi dari membaca blog ini.


2. Motivasi

Delapan tahun lalu ketika saya mulai penasaran tentang au pair dan melakukan riset simpel di internet, hanya 3 negara yang paling sering disebutkan ceritanya, yaitu Belanda, Jerman, dan Prancis. Yang saya tahu, dua negara terakhir memang wajib menyertakan sertifikat bahasa sebagai syarat kelengkapan dokumen visa. Karena sertifikat bisa didapat setelah lulus tes, maka kebanyakan au pair yang memilih dua negara ini biasanya adalah para mahasiswa sastra atau yang sebelumnya memang sudah pernah belajar bahasa tersebut. Para mahasiswa sastra biasanya memanfaatkan kesempatan ini sebagai ajang praktik bahasa sekaligus belajar budaya di negaranya langsung.

Beberapa tahun lalu, banyak juga mantan au pair Jerman dan Prancis yang sekembalinya ke Indonesia menuturkan kisahnya ke para junior. Seorang kenalan pernah bercerita bahwa salah seorang seniornya di kampus sempat mendatangi satu persatu kelas untuk mempromosikan program au pair Jerman. Makanya dulu, Jerman dan Prancis paling populer dikarenakan motivasi au pair Indonesia yang ingin belajar bahasa di level lanjutan.


Sementara Belanda, biasanya dipilih oleh para petualang semacam backpackers atau vivid travellers yang tergiur jalan-jalan murah ke Eropa. Dulu ketika banyak orang mulai menjadikan travelling sebagai hobi, banyak buku-buku backpacking murah berhamburan di toko. Grup dan perkumpulan para backpacker Indonesia juga mulai dibentuk hingga tak jarang saling berbagi informasi cara murah dan mudah menuju negara ini itu. Salah satu teman saya di Belgia dulu juga tahu program au pair ke Belanda dari perkumpulan backpacker semacam ini. Motivasi mereka ke Belanda saat itu murni hanya ingin keliling Eropa murah meriah. Lagipula, Belanda nyatanya punya ikatan yang kuat dengan Indonesia hingga serasa dekat dengan rumah. So, why not?

Sekarang, tujuan orang Indonesia jadi au pair tak hanya perkara jalan-jalan. Ada yang memang sengaja jadi au pair demi mengumpulkan uang untuk keluarga. Ada juga yang tujuannya cari jodoh dan punya keturunan bule. Ada juga yang lari untuk healing karena putus cinta. Ada yang karena ingin reunian dengan keluarga atau pacar. Atau ada juga yang menjadikan au pair sebagai batu loncatan demi studi di negara orang. Jika dulu ke Jerman tujuannya ingin memoles bahasa, sekarang banyak yang ingin jadi au pair untuk menetap lebih lama menggunakan program lain seperti pelatihan magang (Ausbildung) atau pekerja sosial (Freiwilliges Soziales Jahr, FSJ). Pergeseran motivasi ini semakin menunjukkan bahwa luar negeri bukan lagi dilihat sebagai tanah petualang, tapi juga lubang aneka kesempatan.


3. Regulasi

Saya tak mengikuti perubahan regulasi tiap negara dari tahun ke tahun. Tapi saya tahu bahwa 9 tahun terakhir ini sudah banyak negara yang mengubah regulasi au pair dari mulai meningkatkan biaya visa, mempersingkat batasan umur, meniadakan sertifikat bahasa, sampai menaikkan uang saku bulanan. Yang jelas, aturan diubah mengikuti perkembangan zaman dan perbaruan laporan keimigrasian. 

Saya pernah ditegur dan diceritakan oleh mbak-mbak Indonesia di Twitter yang di awal 2000-an sudah jadi au pair di Denmark. Saat itu uang saku di Denmark masih DKK 2000-an dibandingkan sekarang DKK 4550 dan selalu naik DKK 100 tiap tahunnya. Dulu bayar pajak hanya dijadikan pilihan bagi para au pair, tak seperti sekarang yang semua au pair wajib bayar (meski kenyataannya banyak juga yang lepas 😛). Enaknya, dulu yang memilih bayar pajak selama 2 tahun bisa dapat akses meneruskan pendidikan gratis selepas au pair. Si mbak ini dan temannya memilih bayar pajak dan bisa meneruskan kuliah setelah kontrak au pair berakhir. Karena poin inilah, mereka bisa meneruskan karir hingga menetap di Denmark sampai sekarang.


Ada juga Prancis, yang semakin mengendurkan peraturan visa au pair dengan cara meniadakan sertifikat lulus CEFR minimal level A2. Lalu Belanda, yang dulunya sering jadi muara bagi para au pair akhir usia 20-an, Oktober tahun depan mulai membatasi usia maksimal 25 tahun saja. Ada Swiss yang di tahun 2015 betul-betul menutup semua pintu canton untuk au pair non-Eropa, lalu akhirnya perlahan membuka kembali beberapa wilayah bagi pemegang paspor Indonesia. Austria, yang semakin menarik minat daripada Jerman karena jam kerja yang lebih sedikit dan gaji lebih tinggi. Atau yang paling hot, soal program au pair di Norwegia yang rencananya akan dihapuskan mengingat sering terjadinya kasus buruk di negara ini selama bertahun-tahun. 

Perubahan regulasi di atas hanyalah segelintir informasi yang saya tahu belakangan ini. Ada banyak lagi peraturan lain yang sudah disahkan; baik untuk mempermudah atau justru mempersulit masuknya orang Indonesia ke negara mereka. Ada yang ingin menambahi?


4. Populasi

Meskipun 8 tahun lalu informasi tentang au pair mulai terbuka secara publik dan tak terbatas kepada anak-anak sastra saja, namun tak banyak orang Indonesia yang jadi au pair di Eropa. Seperti yang saya sebutkan di atas, 3 negara favorit yang jadi tujuan orang Indonesia hanyalah Belanda, Jerman, dan Prancis. Selain tujuan au pair, negara ini juga sangat populer di kalangan para pelajar dan penerima beasiswa. Jadi tak heran kalau lebih banyak au pair Indonesia bermukim di negara tersebut ketimbang negara lain.

Contohnya, ketika saya jadi au pair di Belgia dan kenalan dengan rekan sesama au pair Indonesia di sana, jumlah kami semua tak sampai 10 orang. Kami saling mengenal siapa-siapa saja yang tinggal dari utara sampai selatan Belgia. Dari 10 orang ini, hanya tiga di antaranya yang murni berangkat dari Indonesia, termasuk saya. Sisanya adalah para senior yang lebih dulu jadi au pair di Belanda. Kata mereka, sudah sangat normal kalau Belanda dan Belgia dijadikan switches bagi para au pair Indonesia. Lebih sering, Belanda dijadikan tujuan utama, lalu selanjutnya Belgia. Makanya, dulu orang Belgia masih awam dengan au pair dan sangat penasaran dengan muka-muka asing yang bermukim di pedesaan, saking jarangnya au pair non-Eropa tinggal di sana.


Tak hanya Belgia, setahun setelahnya ketika saya jadi au pair di Denmark pun, populasi au pair Indonesia di negara ini tak lebih dari 10 orang. Bisa saja hitungan saya missed karena banyak yang tak terdeteksi. Tapi mengingat Denmark hanyalah negara kecil yang populasi orang Indonesianya juga tak seberapa, rasanya negara ini juga bukanlah tujuan utama bagi para au pair Indonesia. Grup au pair Indonesia di Denmark yang dibuat rekan saya saat itu pun hanya berisi 4 orang. Namun satu tahun setelahnya, boom... grup yang tadinya hanya berisi 4 orang, bertambah jadi totalnya 13 orang! Setelahnya, saya sampai tak kenal lagi generasi junior di bahwa saya saat ditanya, "kenal si ini tidak? Kenal si itu tidak?"

Itu 5 tahun lalu. Sekarang, jumlah au pair Indonesia di Belgia dan Denmark tak lagi dalam hitungan jari. Karena informasi semakin meluas dan banyak orang tahu bahwa uang saku au pair di Denmark dan Belgia cukup tinggi, dua negara ini mulai dilirik banyak au pair Asia. Apalagi Denmark sering dipilih oleh mereka yang sudah mepet hampir 30 tahun, tapi masih ingin punya kesempatan tinggal di Eropa lebih lama. Sementara Belgia sering dipilih first timers yang usianya di bawah 25 tahun karena negara ini punya batasan usia yang pendek. But I do adore Belgium! Dari soal lokasi, makanan, bahasa, serta budaya, saya cenderung lebih suka Belgia ketimbang Belanda yang overpraised 😁


5. Ekspansi

Ketika populasi au pair Indonesia di Eropa mulai meningkat, itu artinya banyak orang tak lagi hanya mengenal Belanda, Jerman, dan Prancis. Para au pair yang merampungkan kontraknya di Jerman biasanya bertandang ke Austria atau Swiss yang sama-sama German-speaking countries. Selaras bagi para au pair Skandinavia yang biasanya sering pindah-pindah negara antar Eropa Utara karena sudah terbiasa dengan budayanya. Sangat mudah beradaptasi dengan budaya Swedia, jika sebelumnya kamu pernah tinggal di Denmark. Atau sebaliknya, belajar bahasa Denmark lebih gampang jika sebelumnya kamu pernah belajar dan paham Norsk.

Karena sumber informasi yang tak langka lagi serta regulasi yang mudah dipelajari inilah, membuat banyak orang Indonesia semakin fleksibel melebarkan langkahnya ke banyak negara. Misal, membuat visa au pair ke Belgia jauh lebih sulit ketika kita masih berada di Indonesia versus jika kita sudah berdomisili di Eropa. Sama halnya dengan Norwegia yang memperbolehkan pemegang KTP salah satu negara Schengen untuk langsung masuk ke negaranya dan menunggu proses izin tinggal au pair di negara tersebut. Kalau masih tinggal di Indonesia, boro-boro bisa langsung dapat visa, untuk menunggu prosesnya saja butuh waktu berbulan-bulan.


Tak hanya sampai di situ, penyebaran populasi au pair Indonesia di banyak negara ini juga didukung oleh pengaruh masif dari media sosial. Jika dulu banyak yang tergugah ingin ke luar negeri karena baca buku atau blog, sekarang imej visual membuat imajinasi terlihat lebih nyata. Ada banyak sekali au pair yang berbagi gambar atau video tentang kegiatan mereka di luar negeri. Karena melihat banyak konten menarik ini, makanya banyak yang terpengaruh ingin jadi au pair juga. Ssstt.. bahkan negara 'baru' seperti Turki yang tak masuk dalam daftar rekomendasi saya pun mulai digadang-gadang jadi the next pit orang Indonesia!

Tapi tahukah kalian kalau dulu saya pernah ditegur teman karena sering berbagi cerita dan gambar-gambar beberapa penjuru Eropa?! Konteksnya hanya bercanda ya, tapi si teman merasa bahwa masifnya orang Indonesia yang ingin jadi au pair sekarang juga salah satu penyebabnya adalah baca blog saya 😆 Cerita saya tak hanya bersifat informatif tapi juga inspiratif. Lewat blog (dan media sosial), saya terlalu detail berbagi cerita sampai akhirnya membuka mata banyak orang yang juga ingin merasakan pengalamannya langsung. "Don't forget to educate your readers, Nin!" pesan teman saya yang kelihatannya semakin was-was ada sebagian oknum au pair mulai menciptakan citra buruk di beberapa negara.


Saya tak memungkiri. Setiap bulannya, ada ribuan orang yang mampir ke blog ini karena mencari informasi tentang au pair, studi, ataupun romantisme dengan cowok bule. Pun saya harus mengakui, bahwa saya juga sering menerima pesan dari orang-orang yang mengatakan ingin mengikuti jejak saya setelah baca blog ini. Can I be proud for a second? :)

Masalah motivasi kalian jadi au pair untuk apa, sejujurnya bukan urusan saya. Yang sering saya tekankan, gunakanlah kesempatan ini untuk menikmati masa muda mu karena program ini memang se-cool itu jika dimanfaatkan dengan benar! Saya jelas tak mendukung praktik ilegal hanya demi berdomisili di satu negara. Karena sesungguhnya, beberapa regulasi au pair ada yang diperketat juga disebabkan laporan keimigrasian tentang ulah imigran dari negara-negara bermasalah. So, bawa nama Indonesia dengan baik dan jadilah tamu yang taat peraturan di negara orang! Isn’t it that hard?

Menurut kalian, apa yang akan terjadi dengan program ini sepuluh tahun ke depan? Apakah semakin banyak anak muda yang berniat meninggalkan Indonesia dan jadi au pair?



20 Desember 2021

Hobinya Imigran: Membandingkan!


Awal bulan ini saya lagi-lagi mengunjungi Bergen, kota terbesar di Norwegia Barat, untuk kesekian kalinya. Banyak yang heran mengapa kota ini lagi. Apa yang spesial? Apalagi mengingat baru bulan lalu saya mengunjungi Bergen untuk weekend gateaway

Dibandingkan Oslo, Bergen menurut saya jauh lebih indah dan menarik - meskipun sama-sama touristy. Namun kedatangan saya kali ini bukan dalam rangka menjelajah Bergen, tapi mengunjungi teman lama yang sudah saya kenal dari 5 tahun lalu di Denmark. Teman saya yang campuran Denmark-Prancis ini sedang menempuh S3-nya di Universitas Bergen (UiB). Lucunya, kami reunian tak cuma berdua. Satu teman lain yang juga dulunya sama-sama di Denmark dan sekarang tinggal di Oslo pun ikut berangkat bersama saya. Sedikit humoris mengingat bagaimana dulu kami berkenalan di Denmark, sampai akhirnya nasib mempertemukan kembali di Norwegia.

Saya sendiri sudah tinggal hampir 4 tahun di sini, lebih lama dari mereka yang sama-sama baru tiba di Norwegia tahun lalu. Yang satu berasal dari Latvia ikut pacarnya yang campuran Norwegia-Latvia, sementara yang satu lagi memang mendapatkan tawaran Ph.D. di sini. Jadi bisa dibayangkan, kami punya latar belakang yang sangat berbeda baik dari segi kultur dan pekerjaan. Sama-sama anak rantau, kami tahu bagaimana menantangnya hidup di negara orang. Meskipun, area main mereka memang baru sekitar Eropa saja. Namun yang menarik, mendengar keluhan mereka soal Norwegia. 


Berbeda dengan saya yang lebih dulu belajar tentang negara ini dari host family, pengalaman teman-teman saya ini cenderung masih terbatas. Belum genap 2 tahun di sini dan sulitnya bersosialisasi ketika masa pandemi, membuat mereka sedikit 'buta' Norwegia. Layaknya orang-orang yang baru tiba di negara baru, perspektif mereka tentang negara ini juga tak lebih baik dari negara asal mereka sendiri. Ada banyak argumen yang dikeluarkan sungguh menggelitik. Dari mulai betapa sulitnya menemukan makanan organik di sini, betapa mahalnya harga sayuran lokal, kepercayaan orang Norwegia terhadap pemerintah yang terlalu tinggi, kecintaan orang Norwegia dengan pizza merk Grandiosa, hingga mengeluh tentang tren gaya hidup sustainable yang belum 100% ramah lingkungan.

Keluhan subjektif seperti ini terdengar sangat normal memang. Penilaian para imigran terhadap negara yang baru mereka tempati umumnya murni berdasarkan pendapat sendiri atau dengar pengalaman orang lain tanpa harus selalu melakukan riset mendalam. I've been there, sama seperti mereka yang awal-awal pindah masih membandingkan Norwegia dengan dua negara terakhir yang saya huni. Tapi terburu-buru selalu melihat keburukan satu negara, semakin memperlihatkan bahwa ada banyak hal yang belum kita eksplor.

Mau di benua apapun negaranya, hidup kita pasti selalu saja ada plus minusnya. Saya juga punya kesebalan tersendiri dengan 3 negara di Eropa yang pernah saya tinggali. Tapi di sisi lain, tiap negara itu unik dan selalu memberikan pengalaman baru. Contohnya, meskipun Norwegia dan Denmark sama-sama berada di Eropa Utara, namun kedua negara ini menawarkan atmosfir dan budaya berbeda. Kopenhagen mungkin lebih modern, lively, dan cocok untuk wisata kuliner, tapi bisa sangat membosankan kalau terus-terusan harus keluar uang untuk hang out tiap akhir pekan. Oslo mungkin terlihat biasa saja sebagai ibukota, namun kita bisa mencoba hal-hal baru semisal ski atau bermain papan luncur saat musim dingin. And no, we don't have to spend any pennies to lend the equipments. Also yes, I agree! Norwegia itu super mahal, tapi bukannya seluruh dunia juga sudah tahu? 


Setiap migrasi ke tempat baru, tiap orang mengalami 4 fase hidup yang dimulai dari fase bulan madu, lalu gegar budaya, mulai memahami, sampai akhirnya bisa menerima. Transisi dari satu fase ke fase lain ini waktunya tak sama bagi tiap orang. Ibu-ibu yang diboyong suaminya ke negara baru versus para pelajar yang baru tiba untuk studi jelas punya sudut pandang dan pengalaman berbeda. Bagi pelajar yang harus studi sendirian dan mandiri di negara orang, cukup sulit rasanya berusaha memahami keadaan sekitar jika tiap hari selalu kangen rumah. Sama halnya dengan ibu-ibu yang ikut suami baru pindahan, mungkin lebih cepat beradaptasi namun masih gegar budaya karena belum masuk ke nalarnya harga tempe di luar negeri bisa 20 kali lipat dari di Indonesia.

Sama halnya dengan saya dan dua teman saya di atas. Cara kami bertransisi pun bergantung bagaimana kami tiba dan apa yang kami lakukan di negara ini. Kehidupan saya yang bermula dari jadi au pair dan tinggal dengan keluarga pribumi menurut saya cukup menguntungkan karena mereka mengajarkan saya banyak hal. Lewat mereka, saya merasakan banyak pengalaman seru layaknya masyarakat lokal. Perlahan juga saya belajar bahwa kehidupan di Norwegia berjalan lebih lambat dan intim ketimbang di Denmark. Saat anak-anak muda di Denmark dimanjakan dengan akses pesta ke bar-bar seru di tengah kota, di sini anak-anak muda cenderung menggelar private party dari sirkel terdekat. Untuk masuk ke dalam sirkel dan ikut bersenang-senang inilah yang sangat sulit diikuti oleh para imigran seperti kami. Hal ini juga yang kedua teman saya rindukan dari Denmark yang begitu open dan mudah mencari kenalan internasional. 

Teman Latvia saya sudah tinggal hampir 8 tahun di Denmark yang tentu saja membuatnya punya chemistry lebih kuat dengan negara tersebut. Dua hal yang membuat dia senang tinggal di Norwegia hanyalah perkara gaji yang tinggi dan kesempatan untuk studi gratis sekalian pinjam uang pemerintah. Sisanya, it's all just an expensive country. Punya pacar (yang sekarang mantan) campuran Norwegia pun tak membuatnya mengenal negara ini secara utuh. Setelah putus, she's no more than just a lonely lady.

Tak berbeda dengan teman Ph.D. saya yang sepanjang hidupnya sudah cukup dimanjakan oleh hingar-bingar Paris dan ke-hipster-an Kopenhagen. Pindah ke Norwegia dan meneruskan S3-nya di Universitas Bergen (UiB) sebetulnya bukan tujuan murni. Dia memutuskan pindah hanya karena tak berhasil mendapatkan tempat di Universitas Kopenhagen (KU), sampai harus rela LDR-an dengan sang pacar yang sekarang juga Ph.D. di KU. Meski bukan tempat terbaik untuk melanjutkan hidup selama 4 tahun ke depan, tapi best side-nya, gaji yang dia terima di UiB lebih besar dari gaji sang pacar.


Di Paris dan Kopenhagen, cari restoran enak (plus sesuai kantong) itu sangat mudah. Setelah pindah, dia tak berhenti mengeluh bahwa restoran yang sempat didatangi di Bergen sungguh jauh dari ekspektasi. "It's so disgusting saat tahu orang Norwegia pun tak bisa masak pasta yang benar!" keluhnya sampai memutuskan tak akan pernah lagi dining out

Saya paham. Dibandingkan Denmark yang bisa dibilang surganya kuliner Skandinavia, cari restoran enak dan affordable di Norwegia memang super tricky. Di Oslo, jumlah restoran jauh lebih banyak dan jenis makanannya lebih bervariasi. Namun kamu hampir tak akan pernah menemukan restoran otentik karena kebanyakan tempat ini menawarkan menu fusion. Restoran sushi, biasanya masih ada embel-embel Nordik atau rasa Thailandnya. Jangan tanya juga soal harga, karena makan di luar tak ada yang murah. Mau yang terjangkau, ujung-ujungnya paling lari ke kebab atau restoran Vietnam. Paling benar memang sering-sering masak sendiri di rumah atau coba datangi restoran sesekali saat mereka mengeluarkan seasonal menu

Selain perkara restoran, kemudahan mengayuh sepeda di Denmark juga membuat teman Ph.D. ini malas kalau harus keluar uang untuk tiket bus sekitar Bergen. Demi berhemat, dia rela jalan kaki dari apartemen ke tempat kerja meski hujan badai sekali pun. Salahnya, dia belum bisa memahami bahwa cuaca Bergen lebih harsh ketimbang Kopenhagen. Dia juga belum seutuhnya sadar bahwa jalanan di Bergen itu tak sedatar Kopenhagen dan bisa sangat licin saat musim dingin. Inilah pentingnya belajar memahami daerah yang baru kita tempati dan mencoba hidup like locals do.

Bayangkan dua negara fesyen seperti Prancis dan Denmark bercampur, seperti itu jugalah modisnya teman saya satu ini. You'd find her unique and stylish layaknya cewek-cewek Paris-Skandinavia, tapi sayangnya dia belum sadar bahwa di Norwegia yang utama itu kenyamanan bukan gaya. Her shoes and coats are fabolous, tapi tak cocok untuk lingkungan Bergen yang kadang memaksa kita untuk bergaya layaknya anak pecinta alam setiap hari. 


But hey, they're not alone! Ada banyak rekan au pair (termasuk saya) yang sudah beberapa kali pindah-pindah negara afdolnya juga masih sering membandingkan negara ini itu. Seperti yang saya katakan sebetulnya, hal ini super normal dan bisa saja dijadikan bahan rujukan. Hanya saja, saya malas kalau apa-apa selalu (selalu ya!) bawa-bawa mata uang. "Di Belanda hanya €8, di sini €15 masa?!" atau membandingkan kejauhan sampai Indonesia, "Di Norwegia belanja ke pasar bisa 2 juta, sementara di Indonesia cuma 20 ribu kenyang". Ini saya bingung sebetulnya, mau pamer ke khalayak ramai bisa belanja berjuta-juta, atau real mengeluh karena hidup irit? Kalau kata Pakde saya dulu, selagi duit yang kamu hasilkan di negara orang pakai mata uang lokal, kenapa harus membandingkan sampai Indonesia? Menghemat boleh. Tapi bisa tak makan kalau apa-apa harus dikonversi ke Rupiah. Jadi rujukan boleh, tapi harus diingat bahwa biaya hidup dan UMR di tiap negara nyatanya tak sama.

Sebelum berlarut-larut dalam kesepian dan selalu mencari keburukan di negara yang sedang kita tempati, coba diingat kembali apa yang membuat kita datang ke tempat tersebut? Pekerjaan, studi, hubungan? Apa yang sebetulnya membuat kita terus-terusan mengeluh? Karena tak punya sahabat kah? Tak punya pacar kah? Rindu rumah dan keluarga kah? Benci sistem negara tersebut kah?

Tapi percayalah, no one forces you to stay! Banyak negara malah sangat bersyukur jika tak banyak imigran memenuhi populasi negara tersebut. Jika tinggal di sana membuat kita tak nyaman dan lebih sering sedih, then leave! Pernah terbaca oleh saya ketika ada imigran yang mengeluh tentang satu negara di sebuah postingan, lalu tanpa babibu, beberapa orang lokal langsung berkomentar, "if you don't like our country, then leave! Why are you still here but keep complaining?!"

Sedikit flashback. Sewaktu di Denmark, saya sempat tertekan dan kesepian berat yang membuat saya seringkali bertanya dalam hati, "what am I doing here?". Mudahnya bersosialisasi dengan foreigners tak selalu membuat saya being wanted and loved. Keseringan, saya menyemangati diri sendiri dengan membaca blog atau mendengar pengalaman orang yang pernah tinggal di Denmark dan belajar bagaimana mereka mengarungi hidup di negara yang sebetulnya tak ramah imigran ini. Au pair di Denmark itu streotipenya selalu buruk. Imej negatif yang terbentuk oleh orang lokal membuat saya cukup malu menyandang status au pair. Semasa saya di sana, kasus buruk yang menimpa au pair selalu naik ke publik dan viral di grup Facebook. Belum lagi saat itu tak banyak au pair Indonesia di Denmark dan sirkel saya pun cenderung kecil. Beberapa kali terpikir untuk pulang, namun tak saya lakukan. Prinsip saya saat itu, I will finish what I have started.

Saran saya, jika masih ingin tinggal dan bertahan, upayakan untuk tak terus-terusan sibuk dengan diri sendiri. Mengapa saat itu saya masih kuat untuk terus tinggal di Denmark, karena saya berusaha mencoba hidup jauh di luar zona nyaman. Out for socializing, kencan sana-sini, travelling hampir tiap bulan, coba restoran kanan kiri, maraton museum, ikut kelas desain, sampai nonton bioskop sendiri jam 9 pagi pun pernah saya lakoni! Tujuannya, agar saya benar-benar menikmati Denmark to the fullest dan tak selalu berpikir bahwa kehidupan au pair itu buruk.

Contoh lainnya, salah seorang teman saya pernah mengeluh bahwa makanan di Norwegia tak ada yang enak. Tapi sekalinya disuguhi Sup Ikan, she was wowing! Ada lagi rekan au pair yang misuh-misuh cowok Skandinavia itu dingin dan tak romantis. Tapi sekalinya dapat cowok lokal, bucin berat sampai tak ingin berjodoh dengan cowok di luar Skandinavia. Atau, seorang kenalan lain yang dulunya sangat ‘membenci’ Denmark dan tak melihat masa depannya ada di sana, malah jatuh cinta. Ketika dapat pacar lokal dan makin kenal budayanya, dia mengubah perspektifnya dan menganggap Denmark adalah rumah kedua yang juga the perfect place to live in.


Tak kenal, maka tak sayang. Mungkin selama ini kita sering mengeluh dan melihat banyak sisi buruk dari tempat baru bukan karena negaranya yang salah, tapi karena kitanya sendiri yang hidup di dalam tempurung dan kurang mengenal lingkungan tinggal. Kenalan itu tidak cuma perkara bahasa dan makanan tradisionalnya, tapi juga sedikit melihat sejarah dan mencoba mengikuti what locals do. Teman Ph.D. saya harus tahu bahwa makan kentang rebus di Norwegia itu adalah hal biasa karena memang dulunya Norwegia ini negara miskin. Kentang rebus itu salah satu bahan pokok saat mereka susah, namun sudah terlanjur jadi pelengkap makanan hingga mereka kaya seperti sekarang pun. Teman Latvia saya juga harus memahami bahwa meski negara ini terlalu mahal untuk dijadikan tempat liburan, tapi sungguh worth-it jika memilih tempat yang tepat 😀

There are always pros and cons to everything, so it’s just a matter of matching preference to what all have to offer. Semoga saja setelah belajar berintegrasi, lambat laun kita lebih mudah bertransisi dari yang tadinya baru memahami, lalu akhirnya bisa menerima bahwa negara yang sedang kita huni sejatinya selalu punya hal baik untuk dijelajah. Karena sejujurnya, meski sudah lumayan lama tinggal di sini, saya pun merasa masih buta terhadap banyak hal. 

Bagaimana dengan kalian sendiri, apa yang sering kali dikeluhkan saat travelling atau pindah ke tempat baru?



07 Desember 2021

7 Pelajaran Fesyen dari Gadis-gadis Eropa

Dari sejak saya masuk SMP, ibu saya sudah mulai mengenalkan ke banyak majalah remaja seperti Gadis atau Kawanku yang isinya sebagian membahas tren fesyen. Sungguh menyenangkan melihat gaya-gaya para model majalah yang menggunakan pakaian remaja khas tren anak muda zaman dulu, karena super inspiratif dan membuat saya belajar menemukan gaya saya sendiri. Dulu saya suka sekali memakai pakaian vintage atau model asimetris yang terkesan unik dan beda.

Setelah 10 tahun membaca majalah remaja Indonesia, saya sadar ternyata gaya-gaya yang ada di majalah kita lebih banyak dipengaruhi fesyen Amerika. Dari yang tabrak motif sana sini, berani pakai warna terang, hingga make up bold. Belum lagi saat K-Pop mulai booming di Indonesia, banyak remaja ikut-ikutan fesyen Korea yang lebih cute dan manis. 


Hijrah ke Eropa dua tahun lalu, saya mulai meninggalkan kebiasaan membaca majalah fesyen Amerika dan berhenti memperhatikan K-Pop. Saya begitu kagum ketika tahu orang-orang Eropa memiliki selera fesyen yang berbeda dengan orang Amerika dan Asia. Bepergian ke banyak negara di Eropa juga membuka mata saya untuk melihat dan membandingkan gaya berpakaian gadis-gadis di Eropa Barat, Utara, Selatan, dan Timur. Bagi saya, gaya orang Eropa itu, simple yet elegant. Kalau pun ada yang nyeleneh, tetap terkesan edgy tanpa terlihat berlebihan.

Secara umum, orang-orang Eropa memiliki gaya fesyen yang lebih elegan dan berkelas ketimbang Amerika. Saya sendiri lebih suka gaya orang Prancis dan Swedia dalam berpakaian karena mereka suka uniform dressing dan tetap bisa terlihat santai. Berikut pelajaran berbusana dari orang-orang Eropa yang membuat mereka menjadi bangsa paling well-dressed sedunia.

1. Cutting yang simpel dan pas

Inspirasi dari Isabella Thordsen, Denmark - @isabellath

Untuk menampilkan kesan feminin, orang Eropa lebih suka memakai pakaian yang potongannya pas dengan tubuh. Tidak terlalu ketat hingga terkesan cheap, tapi tidak juga terlalu besar hingga membuat badan tenggelam. Kalau sedang jalan-jalan ke benua biru ini, coba saja masuk ke banyak toko baju yang memang berlabel asli Eropa. Baju-baju yang dijual terkesan simpel, namun tetap terlihat mahal dan elegan.

Tidak seperti gaya fesyen Amerika yang cenderung ketat dan terlalu memamerkan keseksian tubuh, gadis-gadis Eropa justru sedikit konservatif soal pakaian. Bahkan saat musim panas pun, ketimbang memakai pakaian yang terlalu mini dan ketat, mereka memilih summer dress atau setelan dengan bahan yang nyaman. Saat musim dingin, tidak seperti kebanyakan orang Amerika yang terobsesi dengan oversized-thing, orang Eropa justru memilih sweater atau coat yang potongannya sesuai dengan ukuran tubuh mereka.

Sewaktu di Indonesia, saya tidak terlalu suka memakai pakaian terlalu simpel karena terkesan super sederhana dan biasa saja. Makanya kebanyakan pakaian saya dulu sedikit unik dengan potongan asimetris atau rumbai-rumbai. Padahal, di Eropa justru semakin simpel potongan pakaian, harganya juga semakin mahal. Quality matters.

2. Jika ragu, selalu pilih warna-warna natural

Inspirasi dari Tine Andrea, Swedia - @tineandreaa

Soal pemilihan warna, orang Eropa termasuk yang cukup membosankan hingga terlihat ambil aman. Berbeda dengan gaya-gaya orang Asia yang lebih menyukai warna terang dan pastel, orang Eropa sedikit berhati-hati terhadap warna pakaian mereka. 

Orang-orang utara Eropa terkenal menyukai warna netral semisal hitam, putih, navy, atau beige. Di Italia atau Yunani, gadis-gadisnya cenderung lebih berani dengan pemilihan warna merah atau kuning. Sementara Republik Ceko atau Hungaria, terlihat lebih kasual yang tidak terlalu suka warna-warna terlalu terang. 


Pemilihan warna sendiri sebenarnya juga tergantung dengan tempat dan musim. Di Indonesia, warna-warna gelap disimbolkan sebagai rasa duka. Sementara di Asia Timur, justru warna putih yang digunakan saat prosesi kematian. Warna-warna gelap juga tidak pas digunakan di negara tropis karena menyerap panas. Namun kebalikannya di utara Eropa, warna hitam adalah warna favorit hampir semua orang saat musim dingin.

Kalau suatu hari berkesempatan liburan atau tinggal di Eropa, bawalah pakaian atau aksesoris dari Indonesia dengan warna-warna netral. Orang Eropa suka motif, tapi itu pun mesti bernuansa monokrom dan tidak terlalu bold. Mereka tidak suka memakai pakaian yang tabrak warna atau motif dari atas sampai bawah karena terlalu menarik perhatian.

3. Skinny jeans are a must!

Inspirasi dari Cami Hawke, Italia - @camihawke

Meskipun tren celana harem sempat booming di Indonesia dan Amerika, tapi tidak di Eropa. Saya tidak pernah melihat gadis-gadis Eropa berjalan-jalan memakai celana ala Aladin. Ketimbang memakai mom jeans atau jogger, orang Eropa lebih nyaman menunjukkan kaki langsing dan jenjang mereka dengan skinny jeans. 

Saat bosan memakai jeans, biasanya para gadis-gadis ini lebih memilih rok ataupun memakai stocking di musim dingin. Beberapa orang yang bosan memakai skinny jeans biasanya memilih celana panjang katun yang sedikit formal dengan potongan slim atau kulot di atas pergelangan kaki. Menurut pengakuan seorang kenalan, di Amerika boro-boro memakai skinny jeans setiap waktu, orang-orang sana malah tidak segan memakai piyama ataupun celana olahraga saat keluar rumah.

4. Tetap modis di rumah

Inspirasi dari Monica Anoz, Spanyol - @monicanoz

Berkesempatan tinggal dengan keluarga Eropa, membuat saya terkagum-kagum dengan gaya pakaian mereka di rumah. Saat akhir pekan dan tidak ada kegiatan apapun, keluarga asuh saya di Belgia tetap terlihat modis. Nele, host mom saya, selalu memakai jeans potongan cut bray lengkap dengan sepatu boot-nya di rumah. Sementara host dad saya, Koenrad, terlihat edgy dengan jeans marun atau hijaunya.

Di Denmark, saya tidak pernah melihat Louise memakai kaos walaupun di rumah. Louise selalu memakai blus feminin meskipun sedang mengasuh si kembar. Walaupun tidak berencana pergi kemanapun, Louise selalu mendandani anak-anaknya dengan pakaian kasual seperti jeans ataupun summer dress. Mereka tidak pernah berkeliaran rumah hanya dengan piyama ataupun daster ala kadarnya. Mereka selalu terlihat fresh, trendi, dan seperti siap pergi kemana pun tanpa harus mengganti baju.

Di Indonesia, saya bisa saja tidak mandi seharian sambil tetap memakai piyama. Tapi sejak tinggal di Eropa, meskipun hanya di rumah, saya jadi terbiasa memakai jeans, blus, dan ballerina, lengkap dengan make up tipis dan parfum. Padahal di Indonesia, kalau saya berdandan seperti itu pasti akan ditanya ingin pergi kemana.

5. Selalu pakai yang terbaik

Inspirasi dari Jeanne Damas, Prancis - @jeannedamas 

Pernahkah kalian membeli pakaian, disimpan di lemari, lalu berharap pakaian tersebut bisa digunakan saat acara tertentu? Sampai acara tersebut tiba, pakaian baru biasanya hanya disimpan lalu kadang lupa digunakan.

Orang-orang Eropa selalu membeli pakaian yang cocok untuk acara apapun. Saya selalu memperhatikan Louise tampil modis ke kantor dari hanya memakai blus dan jeans, hingga elegan dengan dress hitamnya. Suatu kali, pernah juga saya berkunjung ke rumah seorang teman yang memang seorang Parisian dan tetap terlihat modis saat menyambut kami. Dia membalut t-shirt putihnya dengan kimono bermotif lucu ataupun tetap oke dengan setelan kemeja jeans dan rok mininya. Teman saya yang lain, Ieva, tidak hanya memakai dress mini saat pergi ke bar ataupun klub malam, tapi juga saat café date.

Orang-orang Eropa tidak pernah menyimpan pakaian terbaiknya hanya karena merasa belum pas digunakan di satu acara. Ketimbang menyimpan pakaian dan harus menunggu acara tertentu, mereka selalu mencari momen lain agar pakaian tersebut bisa dipakai. Mereka tidak ragu menggunakan dress berpotongan mini di siang hari, lalu dipadukan dengan cardigan dan stocking agar terlihat lebih "manis" dan kalem.

Saya yang tadinya hanya membeli dress karena ingin dipakai saat pesta saja, sekarang tidak terlalu peduli lagi soal kapan pesta tersebut tiba. Saya tetap memakai si dress meskipun hanya nongkrong di kafe. Saya juga tidak harus memakai kebaya saat kondangan, tapi tetap bisa modis memakainya sebagai pengganti cardigan.

6. Kualitas vs kuantitas

Inspirasi capsule wardrobe dari Lian Galliard, Belanda - @liangalliard

Saya kagum dengan ukuran lemari orang-orang Eropa yang tidak terlihat berlebihan. Berbeda dengan orang Amerika yang harus menyimpan sepatu mereka hingga 3 lemari, jumlah sepatu orang-orang Eropa bisa dihitung jumlahnya dan muat hanya dalam satu lemari.

Saya jadi ingat isi pakaian ibu saya di rumah yang disimpan hingga 5 lemari! Belum lagi lemari tas dan sepatunya yang sukses memenuhi kamar dan ruangan setrika. Awalnya saya tidak begitu peduli soal jumlah lemari dan koleksinya. Namun setelah tinggal di Eropa dan kembali ke Indonesia, saya sadar kalau kebiasaan menyimpan pakaian seperti ini sama saja buang-buang waktu dan uang. Belum lagi soal banyaknya barang yang harus dibenahi hingga membuat rumah sesak.

Bayangkan berapa lama waktu yang kita butuhkan tiap pagi hanya karena sibuk memilih-milih pakaian dan pernak-perniknya. Belum lagi saat kondangan, bongkar koleksi tas dan sepatu hanya untuk dipadu-padankan. Kalau sudah kebingungan begini, ujung-ujungnya tetap pakaian yang itu-itu saja yang digunakan.

Brian, host dad saya di Denmark, hanya membeli pakaian dengan kualitas terbaik dari merk ternama. Brian tidak pernah membeli dan menumpuk banyak pakaian hanya karena sedang diskon. Kalau kemejanya sudah kebanyakan, sebelum membeli yang baru, Brian selalu menyumbangkan pakaiannya terlebih dahulu.

Baca juga: Skincare Favorit di Segala Musim

Sama seperti istrinya, saya tidak mendapati Louise membeli banyak sepatu hanya sebagai koleksi. Jumlah sepatu Louise di lemari pun bisa dihitung dengan jari. Bukan karena tidak punya uang membeli banyak barang, justru sepatu-sepatu mereka dibeli dengan harga yang mahal demi mendapatkan kualitas terbaik.

Soal pakaian pun, Louise sama seperti suaminya. Sebelum membeli pakaian baru, Louise selalu membenahi isi lemarinya terlebih dahulu. Pakaian yang sudah tidak muat, sedikit longgar, ataupun tidak disukainya lagi, biasanya akan diberikan ke orang terdekat ataupun disumbangkan ke Red Cross.

Louise juga bukan tipe ibu-ibu rempong yang suka kredit tas kesana kemari dengan beragam warna. Daripada membeli banyak tas untuk dipadukan dengan banyak pakaian, Louise lebih suka menggunakan clutch mini berwarna hitam untuk acara kasual. Sementara saat kerja, dia membawa tas berukuran lebih besar berbahan kulit.

Bagi orang Asia dan Amerika, memakai pakaian yang sama terus-menerus bisa dianggap tidak modis, kurang pakaian, hingga seperti tidak punya uang membeli yang baru. Padahal bagi orang Eropa, tidak masalah memakai pakaian, tas, ataupun sepatu yang sama terus-menerus asalkan barang tersebut dibeli dengan kualitas terbaik (baca: no KW-KWan).

Cobalah tonton film-film Eropa asal Prancis seperti Amélie atau Call Me by Your Name yang mengambil setting-nya di Italia. Pakaian dan gaya yang digunakan pemerannya itu-itu saja setiap scene. Tidak seperti orang Amerika yang terkenal konsumtif dan membeli pakaian sesuai tren. Tonton saja kebanyakan film Hollywood yang para pemainnya selalu berganti gaya setiap adegan. Kesimpulannya, orang Eropa memiliki pakaian sedikit namun berkualitas tinggi, sementara orang Amerika kebalikannya.

7. Mini namun elegan

Inspirasi dari Barbora Ondrackova, Republik Ceko - @fashioninmysoul

Saya tidak pernah bosan mengatakan kalau selera orang Eropa dalam berpakaian memang cenderung simpel dan elegan. Saat memilih pakaian yang mini, gadis-gadis Eropa tidak pernah memakai pakaian ketat dan seksi di jalan hanya untuk mendapatkan perhatian lawan jenis. Gaun-gaun mini berpotongan seksi biasanya hanya digunakan di klub malam dengan penerangan yang temaram dan membuat mereka lebih percaya diri.

Mereka juga tidak ingin dicap murahan hanya karena buka-bukaan dari atas sampai bawah. Kalaupun ingin menampilkan kesan seksi, mereka hanya menampilkannya di satu sisi. Kalau bagian atas sudah terlalu terbuka, mereka tetap terlihat seksi tanpa harus memamerkan kaki yang jenjang. Begitupun sebaliknya, saat ingin memamerkan kaki yang jenjang dan seksi, mereka lebih memilih atasan tertutup. Contohnya di klub malam, saya sering melihat gadis-gadis yang memilih pakaian dengan potongan dada rendah, namun membalut kaki mereka dengan stocking ataupun celana panjang. 



emerge © , All Rights Reserved. BLOG DESIGN BY Sadaf F K.