30 April 2020

7 Alasan Mengapa Sebaiknya Kamu Jadi Au Pair di Kawasan Eropa


Sekitar 6 atau 7 tahun lalu saat saya pertama kali tahu au pair, negara paling populer bagi au pair Indonesia masih ditempati oleh Jerman, Belanda, dan Prancis. Negara terakhir biasanya dipilih karena banyak mahasiswa Sastra Prancis yang berniat mengasah bahasa asing mereka di negaranya langsung. Sementara Jerman populer hingga sekarang karena menawarkan kesempatan tinggal lebih luas dari negara lainnya  meskipun uang sakunya kecil. Lalu Belanda, karena mungkin punya sejarah panjang dengan Indonesia dan populasi orang Indonesianya juga lebih banyak ketimbang kawasan lain di Eropa, makanya dipilih karena ingin tetap "feel at home".

Saat ini dengan semakin mudahnya informasi didapat, perlahan au pair juga tertarik ke negara lainnya selain 3 daftar negara mainstream di atas. Yang saya dengar, sekarang Denmark dan Belgia malah jadi negara favorit menggantikan Prancis! Bahkan saya juga banyak menerima pesan dari blog readers yang tertarik ke Jepang, Turki, atau Inggris untuk jadi au pair. Kalau kamu baru pertama kali au pair, coba buka postingan saya di sini sebagai referensi negara mana yang saya rekomendasikan bagi first timer.

Namun dari semua negara yang memungkinkan, saya tetap merekomendasikan kawasan Eropa sebagai tempat terbaik bagi program au pair ini. Mengapa?

1. Regulasinya jelas

Au pair berasal dari bahasa Prancis "at par" atau "setara (equal to)", yang berarti adanya kesetaraan relasi bagi au pair untuk dianggap sebagai bagian dari keluarga, ketimbang pembantu. Di Eropa konsep au pair ini berbeda dengan Amerika Utara, apalagi Asia. Au pair di Amerika Utara dan Australia lebih condong sebagai pengasuh anak purna waktu, sementara di Eropa lebih sebagai pekerjaan paruh waktu yang memungkinkan au pair bisa sekolah bahasa sebagai bagian program pertukaran budaya.

Karena memang berasal dari Eropa, aturan untuk au pair ini pun sangat jelas di negara-negara kawasan Schengen seperti Swedia, Belanda, Prancis, Jerman, atau Austria. Meskipun tiap negara punya aturan yang berbeda soal jam kerja dan uang saku, namun adanya kejelasan aturan ini di keimigrasian membuat proses dokumentasi dan izin tinggal pun tak memusingkan. Kita bisa langsung buka situs imigrasi bersangkutan dan informasi soal au pair sudah tersedia dengan lengkap. Beberapa negara juga sudah menyediakan formulir khusus, kontrak kerja, dan tes tersendiri bagi host family yang berminat mengundang au pair ke rumah mereka.

2. Status mu dilindungi badan ketenagakerjaan

Karena status yang jelas ini, au pair pun masuk ke dalam skema tenaga kerja yang dilindungi oleh negara. Artinya, kalau ada masalah besar yang menimpa mu dan host family, kamu bisa melaporkan keluarga tersebut ke polisi atau badan ketenagakerjaan lokal. Status host family ini bisa sangat tidak menguntungkan dan kalau kasusnya memang dirasa berat, mereka bisa di-blacklist negara untuk tak boleh punya au pair 2 sampai 5 tahun berikutnya.

Setelah saya meninggalkan Belgia beberapa tahun lalu, kabar soal betapa banyaknya kasus bermasalah terhadap au pair semakin sering terdengar. Untuk mengantisipasi host family yang abusive, polisi sering kali menyamar sebagai orang asing dan melakukan razia ke rumah-rumah yang terlihat memiliki wajah-wajah gadis asing. Seorang teman saya bahkan pernah terazia hanya membantu host family-nya buang sampah ke luar, meskipun saat itu belum mengantungi izin kerja. Hal ini memang sangat dilarang karena ditakutkan host family hanya memanfaatkan tenaga kita sebelum keluarnya izin yang valid dari pemerintah. Ada banyak juga polisi yang siap membantu au pair jika memang dirasa perlu, karena sejatinya di Eropa juga banyak host family mean!

3. Less scammers

Sampai sekarang, saya belum pernah mendengar cerita ada keluarga palsu dari Eropa yang ending-nya minta uang. Kebanyakan keluarga palsu (scammers) berasal dari negara-negara berbahasa Inggris seperti Amerika Utara dan Britania Raya. Tujuannya simpel, pura-pura menjadi keluarga yang mencari au pair, bertukar kontak, lalu ujung-ujungnya minta uang untuk pengurusan dokumen di agensi ini itu. Masalah profil bisa dibuat-buat karena foto bisa dicomot dari internet, alamat bisa Googling sendiri pakai alamat orang, dan masalah agensi yang terlihat real itu hanyalah topeng palsu agar terlihat meyakinkan. Bahkan saya sempat menerima email dari orang tua calon au pair yang sampai menanyakan ke saya soal keabsahan kontrak kerja dari "host family" Inggris, yang jelas-jelas adalah scammer!

Di Eropa, keberadaan host family fiktif PASTI ada! Hanya saja, akan sangat mudah melacaknya karena tipe-tipe keluarga ini biasanya hanya akan menghubungi via Facebook. Seorang teman pernah dihubungi bapak-bapak di Facebook yang alasan awalnya cari au pair, namun ternyata malah cari istri baru.

Kembali ke para penipu bermodus uang tadi, selain harus bisa bahasa asing (yang mana para scammers hanya bisa bahasa Inggris), menyertakan dokumen berbahasa lokal akan sangat menyulitkan mereka karena sistem imigrasi di Eropa bagi au pair sudah sangat solid. Tak perlu was-was juga kalau ketemu host family dari situs pencarian au pair atau agensi terpercaya, karena hampir semua profil yang kamu temukan di situs tersebut memang betul-betul sedang mencari au pair. (Baca juga postingan saya di sini agar kamu lebih waspada terhadap penipuan!)

4. Agensi lebih mengerti ‘what to do

Karena status dan jenis visa yang sesuai regulasi, serta status kita dilindungi negara, agensi lokal yang berperan aktif dalam pengurusan dokumen pun tahu apa yang harus dilakukan. Tidak sama seperti agensi yang hanya butuh uang, banyak juga agensi gratis di kawasan Eropa mau menjadi mediator saat kita punya masalah dengan host family. Agensi ini juga sudah diberikan pengetahuan bagaimana mendamaikan konflik, informasi soal hari libur dan uang saku, serta seluk-beluk pertanyaan lain yang mungkin ada di benak kita.

Sudah berdedikasi mengurusi persoalan au pair, kamu juga bisa langsung minta tolong carikan host family baru lewat mereka karena banyak keluarga biasanya mendaftar lewat agensi yang sama. Di Belanda, peran agensi begitu penting karena merekalah yang akan mewawancara kita terlebih dahulu untuk tahu apakah motivasi kita jadi au pair sejalan dengan tujuan program tersebut. Bahkan banyak agensi yang juga bekerja sama dengan badan ketenagakerjaan lokal mengadakan workshop, aktifitas luar ruangan, dan merayakan Natal bersama au pair lainnya untuk menangkis kesepian saat di tanah rantau.

5. Tak perlu visa lagi keliling kawasan Schengen/Uni Eropa

Sebagai benua eksotis yang memikat banyak orang Asia dan Amerika untuk berkunjung, kepemilikan izin tinggal sementara yang sakti memungkinkan kita jalan-jalan keliling Eropa tanpa perlu daftar visa baru. Ketika mendapat kesempatan tinggal di Inggris atau Australia, kamu tetap harus daftar visa Schengen lebih dulu untuk berkunjung ke Eropa. Bahkan Turki yang 3 persennya masih masuk kawasan Eropa, tetap harus daftar visa baru karena bukan bagian kawasan Schengen atau Uni Eropa.

Keuntungan lainnya, pemegang izin tinggal Eropa juga punya kesempatan mengunjungi negara lain tanpa harus repot apply visa; contohnya Taiwan. Bahkan kalau kamu punya izin tinggal Denmark, mengunjungi Greenland juga tak mustahil tanpa perlu apply visa lagi! Tahu sendiri kan betapa repotnya apply visa Schengen dengan menyertakan bukti tabungan ini itu, sebelum akhirnya diperbolehkan masuk ke salah satu negara mereka.

6. Bahasa asingnya berlaku di banyak negara

Kalau tertarik belajar bahasa Inggris di level advanced, tentu saja negara terbaik yang bisa kamu pilih untuk homestay adalah negara-negara yang bahasa ibunya adalah bahasa Inggris. Meskipun, untuk jadi au pair di negara ini sendiri pun ada syarat minimum bahasa Inggris yang mesti kamu penuhi. Di Australia contohnya, karena au pair bukanlah sebuah program khusus, lebih seperti pekerjaan alternatif dibalik WHV (Working Holiday Visa), maka kamu setidaknya harus mengantongi minimum skor bahasa Inggris untuk level General lebih dulu. Jadinya, tak harus kursus bahasa Inggris di Australia pun tak masalah.

Di Eropa, banyak bahasa berasal dari akar yang sama dan keuntungannya, kamu bisa tetap memakai bahasa tersebut di negara lain. Contohnya, bahasa Prancis yang kamu pelajari di Prancis tetap bisa dipakai di Belgia, Luxembourg, dan Swiss. Sama halnya jika kamu fasih berbahasa Jerman, jangan takut untuk tak terpakai saat travelling ke Austria, Swiss, dan sisi selatan Belgia yang berdekatan langsung dengan Jerman. Bahkan untuk bahasa seaneh Finlandia pun, kamu tetap bisa gunakan sedikit-sedikit di Estonia, atau pelajari bahasa Swedia yang juga bahasa resmi kedua di negara tersebut. Yang pasti, ada skill baru yang mempercantik CV mu jika mampu menguasai salah satu bahasa asing lain selain Inggris.

7. Pindah negara lebih mudah

Hampir semua au pair Indonesia yang saya kenal merasa ketagihan jadi au pair dan punya keinginan untuk mencoba negara lain di tahun-tahun berikutnya. Saya juga yakin bahwa kenyamanan dan kebebasan di negara orang punya magnet tersendiri yang membuat banyak au pair malas kembali kempung halaman. Salah satu perk-nya tinggal di Eropa, kamu punya banyak kesempatan lompat-lompat negara tanpa perlu repot-repot lagi apply visa baru dari Indonesia. Banyak negara juga memungkinkan calon au pair untuk datang langsung ke negara tersebut sambil menunggu selesainya izin tinggal. Yang pasti, cara ini dinilai lebih mudah dan murah. (Cek disini bagi yang belum tahu apa beda 'visa' dan 'izin tinggal!')

Tambahan lainnya, karena punya au pair butuh biaya yang mahal, banyak sekali host family mencari au pair yang sudah berada di wilayah Eropa saja. Mengapa, biasanya mereka malas menunggu proses visa dan izin tinggal yang cukup lama dari Asia. Kedua, mereka enggan membayar uang tiket pesawat mu yang mahal itu (meskipun jatuhnya fifty:fifty). Yang ketiga, host family ini ada niat ketemu langsung terlebih dahulu sebelum tertarik mengundang mu jadi au pair di rumah mereka.

⚘ ⚘ ⚘

Satu hal lagi yang tak saya bahas di atas adalah program pertukaran budaya akan begitu terasa karena tiap negara di Eropa punya budaya dan tradisi yang berbeda. Meskipun Belgia dan Belanda adalah negara identik dengan bahasa yang sama, namun mereka punya kultur dan pola pikir yang cukup berbeda satu sama lain.

Tentu saja Inggris, Irlandia, Italia, dan Spanyol itu bagian kawasan Eropa (dan Schengen) yang juga memiliki kualifikasi au pair. Sayangnya, regulasinya untuk orang Indonesia tidak ada dan kita tak memungkinkan apply visa au pair ke sana, kecuali pakai visa pelajar. Di sini, tujuan kita utamanya adalah belajar, sementara au pair sendiri hanyalah pekerjaan sampingan. Bayangkan kalau kita tiba-tiba punya masalah dan ditendang dari rumah host family, kepada siapa kita harus laporan dan berapa banyak keluarga yang saat itu betul-betul butuh au pair sebagai pengganti?

Saya juga tidak melarang kalian ke Turki, Jepang, atau dimana pun negara Asianya. Hanya saja sama halnya dengan Inggris atau Italia, saya melihat tidak ada regulasi khusus soal au pair ini. Bahkan di Jepang, au pair ini sama halnya seperti Australia, hanya dibalut visa liburan dan bekerja yang jatuhnya seperti pekerjaan sampingan sekalian tinggal bersama host family. Tak sampai di situ, saya juga merasa bahwa kebanyakan orang Asia masih berpikir bahwa keberadaan au pair itu sama saja dengan pembantu rumah tangga. Jangankan di benua Asia, banyak imigran yang sudah tinggal dan besar lama di Eropa pun pikirannya kadang masih kolot dan manja sejak adanya au pair. (Baca postingan saya di sini tentang keluarga imigran yang harus kamu pertimbangkan kembali!)

Saran saya, kalau kalian tidak ada tujuan khusus untuk jadi au pair, maka carilah host family dari negara-negara di Eropa yang peraturan dan visanya jelas bagi pemegang paspor Indonesia. Kecuali memang ada niat spesifik untuk tinggal lama dan cari kesempatan kerja lebih realistis, mungkin bisa coba ke Amerika atau Australia yang job market-nya lebih luas. Yang ingin lebih dekat dengan Eropa, namun tetap ingin merasakan suasana Muslim, cobalah Turki yang memiliki masjid dan makanan halal dimana-mana. Lalu jika kamu memang nekad ingin ke Inggris, siapkan bukti tabungan finansial dan cobalah untuk berhati-hati karena banyak sekali penipu di internet. Minusnya memilih negara-negara ini, kamu tetap mesti siap-siap apply visa Schengen kalau berniat liburan ke Eropa ;)

Rekomendasi bacaan untuk kamu lainnya: Rangkuman jadi au pair from A-Z

I wish you a stroke of good luck for your preference!



23 April 2020

8 Cara Menikmati Masa Au Pair Mu


More than what you see on social media, jadi au pair itu berat! Bahkan Dilan pun tak sanggup, saya rasa :)

Selain jauh dari keluarga dan teman terdekat, kamu harus menggadaikan semua privasi dan kenyamanan demi merealisasikan salah satu mimpi; tinggal di luar negeri. Tidak sendirian, namun di satu atap dengan keluarga angkat yang juga merangkap sebagai employer a.k.a bos.

I have been on your feet; merasa kesepian, stres berat, hingga akhirnya berkali-kali bertanya ke diri sendiri, what am I doing here?! Ditambah lagi tak mudah percaya dengan orang, saya juga memilah-milih teman karena tidak semua yang kita kenal bisa cocok. Karena merasa berjuang sendiri di tanah orang, saya kadang lupa bagaimana caranya menikmati hidup. Tapi daripada merenungi nasib dan menyesal sudah mengambil langkah sejauh ini, lebih baik mengimbangi rasa kesendirian tersebut agar masa au pair kita yang hanya 12-24 bulan ini berlalu dengan penuh memori — bukan penyesalan dan sakit hati.

1. Go grab all you want (for free) at the grocery store

Lima tahun jadi au pair di empat keluarga berbeda, salah satu kewajiban mingguan saya adalah belanja ke supermarket. Tak usah tanya bagaimana capeknya naik sepeda (bahkan jalan kaki!) sambil menenteng kantong plastik kanan kiri plus backpack penuh bahan makanan. Kadang kalau banyak stok barang habis, saya mesti bolak-balik dua kali hanya demi belanja dan memenuhi kewajiban.

Sisi baiknya, saya gunakan kesempatan ini membeli toiletries pribadi atau bahan makanan yang saya suka di supermarket. Tapi tentu saja saya tahu diri dengan tidak terlalu membeli sesuatu berlebihan, karena takutnya jadi drawback di kemudian hari. Namun coba bayangkan berapa uang yang harus dikeluarkan membeli fresh salmon, raw honey, atau ciki-cikian secara berkala jika tak sekalian dengan belanjaan host family?!

Bagian yang paling saya suka saat belanja ini, kamu tak perlu bandingkan harga dan ambil saja semua barang yang dibutuhkan tanpa harus lihat harganya dulu. Trust me, saat kamu jadi mahasiswa kere seperti saya sekarang dan harus belanja memakai uang pribadi, memilih barang paling murah dan membandingkan harga dengan toko sebelah adalah bahan pertimbangan paling utama. Jadi mumpung bisa belanja gratisan dan memilih makanan yang kamu suka, enjoy this small perk!

2. Just be in your room on your days off

Berbeda dengan para mahasiswa atau pekerja Indonesia yang harus membayar cukup mahal demi menempati satu kamar atau apartemen, sebagai au pair, kita bisa tinggal secara cuma-cuma! Tidak hanya kamar yang berisi ranjang lengkap, beberapa au pair beruntung lainnya bahkan diberikan satu ruangan penuh dengan kamar mandi dan dapur pribadi.

Satu dua au pair yang pernah saya kenal, bahkan diberikan fasilitas kamar layaknya hotel bintang 5 yang super luas dengan pemandangan superb hijaunya pedesaan ditambah kamar mandi pribadi. Ada lagi yang disediakan satu apartemen (memisah dengan host family) yang tentu saja bisa kamu gunakan layaknya milik pribadi. Oke, tak sampai situ, host family yang kelebihan rumah juga pernah menyediakan satu rumah khusus (dua lantai!!!) hanya untuk au pair mereka.

Itu cerita baiknya, namun bagaimana kalau kamar yang disediakan hanya sepetak kecil? Just be happy karena setidaknya kamu tak perlu membayar hanya untuk menempati kamar tersebut! Saat malas keluar, manfaatkan space gratis yang diberikan host family  entah besar atau kecil  untuk lazy days, joget TikTok, nge-vlog, maraton nonton drama, make over diri sendiri, atau hanya tidur seharian. It’s yours now!

3. Take those weekends by inviting friends 

Merasa kesepian dan malas keluar? Coba hosting pesta kecil-kecilan dengan teman terdekat! Sulap kamar menjadi lebih spacious dan bersih agar tamu yang diundang juga betah berlama-lama. Tak perlu pesta mabuk-mabukan sok gaya, cukup sediakan snack dan soda, serta ngerumpi soal cowok Tinder atau curhat soal gilanya host kids sampai pagi pun bisa jadi terapi tersendiri.

Kalau diberikan izin yang luas dari host family untuk mengundang banyak orang, kamu juga bisa hosting dinner girls’ date untuk acara potluck sekalian karaoke, movie night, atau pajamas party. It’s full of fun!! Apalagi kalau kamar mu juga tersedia dapur yang bisa digunakan untuk masak-masak, maraton menu masakan Indonesia biasanya sudah jadi tradisi au pair rantauan.

Salah satu au pair yang saya kenal, memang sudah betul-betul dianggap sebagai keluarga oleh host family-nya dan diperbolehkan menggunakan semua fasilitas yang ada di rumah. Selain boleh mengundang banyak teman setiap minggu, kenalan saya ini juga diizinkan menggunakan kolam renang saat pesta ulang tahunnya! Open your door to more people kalau kebetulan ketemu host family super baik seperti ini! The more the merrier.

4. Bars are not the only doors opened

Kebanyakan au pair Indonesia yang baru datang ke Eropa merasa bar dan diskotek adalah tempat keramat yang wajib coba. Saking sukanya dengan atmosfir tempat ini, tak jarang mereka kerap datang dan tak takut menghabiskan uang hanya untuk party ala anak muda Eropa. But you know what?! Bar tentu saja bukanlah satu-satunya tempat yang bisa kamu datangi hanya untuk having fun.

Jangan takut untuk tak jadi anak gaul hanya karena kamu menghindari alkohol. Ada banyak sekali tempat yang bisa didatangi tanpa harus merasa jenuh di dalam bar.  Cobalah telusuri area-area cantik penuh sejarah di sekitar tempat tinggal mu, datangi museum, bioskop, art center, atau kafe-kafe lucu yang seru untuk nongkrong.

Bahkan kalau sedang tak punya uang sekalipun, berjalan-jalan di taman, hutan, pantai, atau baca buku di perpustakaan bisa jadi aktifitas lain yang bisa kamu coba. Tempat lainnya adalah pasar tradisional yang banyak dikunjungi orang lokal, kawasan pemakaman, atau bangunan-bangunan cantik adalah tiga dari banyak hal menarik yang bisa dimasukkan ke dalam list saat akhir pekan.

5. Go to school with no expense

Di kebanyakan negara Eropa, host family berkewajiban membayar uang kursus bahasa serta material sekolah (bahkan ongkos angkot!) hingga jumlah maksimum yang ditentukan. Saat kamu bisa sekolah dengan gratis, jangan terlalu berpikir bahwa kamu harus datang karena merasa tak enak sudah dibayari. Tapi manfaatkan kesempatan ini untuk jalan-jalan, mendapatkan teman, plus menambah skill baru. Kapan lagi bisa tinggal mandiri di negara orang, sekalian dibayari sekolah bahasa pula?!

I knooooww... banyak au pair yang merasa sekolah bahasa serasa buang-buang waktu karena tak akan tinggal lama di negara tersebut. Beberapa au pair juga menilai bahwa untuk mengjangkau sekolah bahasa, mereka juga harus membayar ongkos transportasi yang tak murah. Tapi kalau kamu ingat lagi apa itu au pair, might be you’d remember bahwa program ini memang bertujuan sebagai pertukaran budaya; makanya kamu disarankan datang ke sekolah bahasa untuk belajar budaya dan bahasa setempat (for free!).

Lagipula, datang ke sekolah bahasa itu sebetulnya cukup seru, kok. Kamu bisa lari sebentar dari rutinitas, punya teman mengobrol di kelas, dan kalau memang serius, ada tambahan skill baru yang kamu kuasai selepas masa au pair. Saran saya, sebisa mungkin mendaftar ke sekolah bahasa bukan untuk au pair, agar teman sekelas mu berasal dari latar belakang yang berbeda-beda.

6. Buy what you want with the money you have earned

The laptop you really want, shoes you think are too expensive, a bunch of cheap H&M tees, a high-end camera for your next shots, a black dress you always fancy at the store, fine dining at a Michelin restaurant, or a classic Chanel perfume, just GO for it! Remember, you’re far from home, lonely, tough, work hard for the past few months, so why not buy yourself presents?!

Perhaps you don’t believe it, tapi saat kuliah, uang saku yang diberikan orang tua saya setiap hari hanya 20 ribu Rupiah. Ongkos bolak-balik kampus ke rumah 10 ribu, lalu sisanya 10 ribu saya tabung sebagai modal travelling ke Asia Tenggara. Karena minimnya uang saku ini, saya coba kerja freelance jadi guru privat Bahasa Inggris atau berjualan pakaian bekas dan pernak-pernik buatan sendiri. Pakaian saya kebanyakan dibeli dari secondhand market dan sepatu pun dibeli di toko harga 50 ribuan.

....but here I am now; earning money in Euro or Kroner! Ingat saat susah dulu, ada perasaan balas dendam untuk belanja barang-barang berkualitas karena saya enggan pelit dengan diri sendiri. Saya sudah lelah mengasuh anak orang setiap hari dan tentu saja layak menghadiahi diri sendiri dengan apapun yang saya mau. Jadi saat sedih di tanah rantau, coba cek lagi barang-barang yang ingin kamu beli, dan wujudkan saat gajian bulan depan!

Anyway, gaya belanja saya jadi cukup impulsif semenjak punya gaji Kroner. Tapi sekembalinya ke Indonesia, percayalah bahwa gaya belanja saya tak jauh-jauh dari melihat promo di Shopee :p

7. List the countries and hunt the (cheap) tickets

Selama jadi au pair, kamu berhak mendapatkan libur per tahun yang lamanya 2-4 minggu dan bisa digunakan  untuk jalan-jalan. Di Eropa, travelling bukanlah hal yang mewah lagi karena memang ada banyak cara menuju Roma. Be realistic juga bahwa mungkin ide mengelilingi Eropa selama masa au pair hampir mustahil. Namun, mengingat banyaknya transportasi yang dapat mengantarkan mu menuju banyak negara hanya dengan modal €10-an, jadi seasonal traveller adalah salah satu privilege au pair di Eropa.

Kamu akan menyesal jika tak berbaik hati menghadiahi diri sendiri tiket berpetualang ke tempat lain. Tempat-tempat ini pun tidak harus berada di luar negara, tapi bisa jadi di satu negara tempat kamu tinggal. Bagi yang tinggal di utara Belgia, mungkin bisa mencoba kayaking di Dinant, daerah berbahasa Prancis di selatan Belgia. Yang cuma tau Paris, bisa road trip atau mengunjungi daerah selatan Prancis yang orang-orangnya lebih hangat di kawasan Mediterania karena berdekatan dengan Italia. Yang dulunya cuma tahu Berlin, mungkin bisa memasukkan Regensburg di dalam wishlist.

Jadi daripada bosan dan kesepian, mungkin kamu bisa buka peta dan tunjuk satu tempat dengan mata tertutup. Setelahnya, cari informasi tempat tersebut, lalu kalau menarik, rencanakan datang ke sana saat liburan atau akhir pekan. I know might be you are in a financial crisis harus memilih antara menabung atau travelling, tapi kapan lagi bisa jalan-jalan murah karena kamunya sendiri sudah sangat dekat dari tempat impian.

8. Date 'the real' Caucasian guy(s)

Berkencan saat berada di luar negeri memang bukan tujuan semua orang. Tidak semua au pair Indonesia juga mengidam-idamkan pasangan bule. Tapi kalau kamu tertarik mengenal lebih jauh budaya kencan di host country, coba saja berkenalan dengan beberapa cowok lokal. Saya banyak mendapat testimonial dan pesan soal banyaknya cewek-cewek di Indonesia yang berkenalan dengan bule via online, tapi selalu zonk. Biasanya cowok-cowok ini otaknya mesum, banyak yang tidak serius, dan suka obral janji menikah. Saya paham juga bahwa tidak semua cowok bule yang kamu temui via online itu serius.

Namun kalau ketemu si bule langsung di negaranya, banyak sekali mitos yang bisa dipatahkan. Kamu akan tahu bahwa tidak semua cowok bule itu otaknya cuma selangkangan. Tidak semua bule juga kaya raya dan mapan. Tidak semua bule ganteng dan tidak semua dari mereka juga modal-modal pangeran berkuda putih yang sering kamu lihat di televisi!

Dengan cara dating dengan cowok ini di negaranya langsung, kamu punya lebih banyak 'pilihan' untuk menilai. Kamu mungkin bisa menilai juga bahwa banyak cowok-cowok Skandinavia dan Italia itu pada dasarnya lebih rajin dan tahu seluk-beluk dapur ketimbang kita. Kamu juga akan tahu bahwa banyak bule desperate yang akan bertekuk lutut di hadapan mu hanya karena they fancy you a lot! Atau mungkin, kamu juga lambat laun memahami bahwa pernikahan dan punya anak itu bukanlah satu-satunya gol dari sebuah hubungan. In the end, this dating scene would teach you not to be carried away just because he's hot like a melting pot!


Ketika mimpi dan kerja keras itu sudah membuahkan hasil, yakinlah bahwa di belakangnya ada banyak hal yang harus dikorbankan. Merasa bosan sendiri dan kesepian memang selalu dialami banyak perantau, entah sebanyak apapun teman mu di negara tujuan. Bahkan karena merasa tak betah, beberapa au pair juga sampai mengalami depresi lalu memutuskan untuk pulang for good.

Saya tahu bahwa tak semua teman baru juga bisa mengerti perasaan kita layaknya teman terdekat di Indonesia. Tapi daripada harus menyesali keadaan dan terus mempertanyakan mengapa kita mengambil keputusan ini, just train yourself to be tougher dan cobalah selalu melihat sisi baik dengan selalu menyukuri hal-hal kecil yang bisa kita dapatkan selama menjadi au pair.


16 April 2020

Pendidikan di Negara Nordik: Jangan Kuliah Karena Gratis!


Well, siapa yang tak ingin mendapatkan pendidikan gratis?! Apalagi kalau bisa belajar hingga ke luar negeri, tanpa perlu mengeluarkan kocek berlebih untuk menikmati fasilitas pendidikan kelas dunia. Tapi jangan sampai terlalu jujur kalau niat kamu kuliah hanya karena privilege 'gratisan' dari negara tertentu, setidaknya di Norwegia.

I am gonna tell you the truth; most local students are quite fed up listening to foreign students coming to their country just for free education! Bukan, saya bukan bicara tentang para mahasiswa internasional yang beruntung bisa kuliah di Norwegia karena dana hibah atau beasiswa. Tapi soal betapa jujurnya para mahasiswa asing yang hanya sekolah di Norwegia untuk menikmati fasilitas 'bebas uang kuliah' yang masih diberikan oleh pemerintah setempat.

Di negara Nordik, sampai sekarang hanya Norwegia yang masih membebaskan uang kuliah di kampus negeri bagi mahasiswa lokal dan internasional. Denmark (2006) dan Swedia (2011) sudah menutup peluang free tuition fee bagi mahasiswa internasional, selain warga Uni Eropa. Sementara Finlandia yang dulunya masih royal membebaskan uang kuliah bagi semua mahasiswa di penjuru dunia, di semester musim gugur 2017 ikut menutup kesempatan ini juga bagi semua warga di luar Uni Eropa & Swiss.

09 April 2020

7 Alasan Mengapa Kamu Harus Digital Detox di Hutan Norwegia


Setelah 3 minggu harus duduk manis di depan layar demi mengikuti kuliah dan meeting daring, liburan Paskah tahun ini rasanya hanya ingin meliburkan diri juga dari laptop dan ponsel. Apa daya, tak memungkinkan. Di krisis Corona seperti sekarang, tak banyak yang bisa dilakukan kecuali patuh pada peraturan pemerintah setempat untuk berdiam di rumah. Hiburan pun ujung-ujungnya serba digital, dari membaca berita online, menonton film favorit via online channel, ataupun berkomunikasi lewat media sosial.

Ketika Norwegia sedang dalam masa lockdown, orang-orang dipaksa harus meliburkan diri juga dari hyttetur (tur ke kabin)  dan menjauhi sementara waktu tempat yang ramai. I think, Easter this year is quiet odd. Look at the sun outside! Air is getting warmer and icy water is cracking lately. Yet, we are trapped (mostly) at home.

Meskipun harus menjaga jarak dan membatasi interaksi fisik dengan banyak orang, tapi keluar sebentar demi menghirup udara segar itu tetap a must! Staying at home for 3 weeks makes my brain frozen! Lari sebentar ke alam liar dekat rumah adalah salah satu privilege di Norwegia yang lebih dari 60% wilayahnya adalah pegunungan dan hutan pinus. Kabar baiknya, hutan di Norwegia ini bisa jadi terapi di kala stres. Inilah 4 alasan mengapa digital detox di hutan Norwegia bisa memperbaiki mood jelek mu!

1. It's free


Dengan hanya 5 juta penduduk jiwa, alam Norwegia masih sangat virgin dengan 37% total wilayahnya adalah hutan pinus yang rindang. Ingin tinggal di ibukota ataupun pedesaan, kita bisa langsung menjajakkan kaki dengan mudah ke beberapa spot terbaik untuk menikmati alam. Kamu tak perlu baju bagus dan makeup tebal hanya untuk berpetualang di hutan, karena yang dibutuhkan hanya pakaian yang nyaman dan sepatu olahraga yang tepat untuk perjalanan panjang. Baiknya lagi, kamu tak perlu keluar uang dan jadi konsumtif hanya untuk menghirup udara segar di hutan!

2. Bring back the memories


Menapakki hutan di Norwegia membuat saya teringat dengan masa kecil ketika kampung saya masih banyak pepohonan. Hidup rasanya masih sangat menantang ketika bersentuhan langsung dengan alam liar. Kaki becek karena lumpur rawa, hide and seek di balik pepohonan, ngebolang mencari 'harta karun' di balik pohon tumbang, hingga mencicipi banyak buah liar yang manis. The landscape always brings back the good memory of my childhood in Indonesia.

Terakhir kali jalan-jalan dengan Mumu di hutan, doi terlihat sangat bersemangat dan being childish dengan menyapa setiap gundukan rumah semut yang kami temui sepanjang jalan. Kadang doi meniup-niup beberapa kawanan semut tersebut sambil berkata, "time to wake up and go to work, Guys!" Sounds so silly karena saat itu sudah jam 6 sore.

3. Soothe our mind and body


Foto di atas diambil minggu lalu, ketika perairan Viken (daerah sisi timur dari Oslo) masih tertutupi oleh es. Yang saya suka dari hutan di Norwegia, kita bisa menikmati pemandangan lain seperti danau atau sungai dangkal dari bukit di pinggiran hutan. Everything is so calm because all you hear is just the birds chipping or pine leaves dancing through the wind. Duduklah di sisi pinggir bukit sambil merasakan hangatnya sinar mentari menyentuh kulit, tutup mata sebentar, lalu rasakan suara alam sekitar. Ohh, it is so good than wandering your favourite shopping center!

Menurut penelitian, hanya dengan memandang hamparan hijaunya hutan selama 20 menit, kita bisa mengurangi kadar kortisol saliva sampai 13,4%. Kortisol adalah hormon stres yang dalam waktu lama dapat menekan sistem kekebalan tubuh, bersama dengan efek negatif lainnya. Bahkan terkadang, saya sampai terpikir untuk bawa tikar, goleran tidur siang, dan melupakan penatnya dunia digital di tengah krisis Corona.

4. Recreational spot


Dibandingkan negara kaya lainnya di Eropa, jumlah pusat perbelanjaan di Norwegia termasuk yang paling sedikit. Masyarakat lokal memang tak terbiasa refreshing ke mol setiap minggu atau jadi hedonis hanya untuk menghilangkan penat. Bahkan di banyak pusat perbelanjaan di Oslo, muka-muka imigran adalah yang paling sering ditemui saat akhir pekan dan liburan.

No wonder, karena orang lokalnya sendiri sering lari ke kabin sedari Jumat sore atau lebih banyak menghabiskan waktu di luar ruangan sekalian olahraga. Dari berski di hutan, hiking, trekking, camping, atau hanya mencari spot terbaik untuk barbeque sekalian berkumpul bersama orang-orang terdekat, adalah beberapa kegiatan yang akan kamu sering dengar dari orang lokal. Sounds demanding memang, karena kadang trek yang tersedia di hutan sangat panjang dan menyulitkan. 

5. Safe and sound


Oke, saya tahu tak semua orang Indonesia mau berpetualang di hutan dikarenakan imajinasi liar soal bahayanya hewan buas serta adanya sisi mistis dan kriminal pelengkap horornya hutan di Indonesia. Tapi jangan terlalu paranoid, Teman-teman! Sebagian besar hutan yang ada di Norwegia dilindungi pemerintah dan sudah dikelola oleh DNT dan organisasi alam liar lainnya. Contohnya DNT ini, mereka adalah organisasi yang bertanggungjawab terhadap aktifitas luar ruangan di daerah Oslo dan sekitarnya. DNT ini juga yang bertugas membuat trek, memberikan papan rekomendasi arahan agar kita tak tersasar, serta mereka juga yang mengelola banyak kabin di hutan untuk disewa.

Karena hutan adalah tempat rekreasi terfavorit warga lokal, tak jarang kita akan berpapasan dengan orang lain di tengah perjalanan. Artinya, jikalau pun kamu tersesat, jatuh terpeleset, atau butuh pertolongan, shout out loud dan segera hubungi polisi via ponsel. Sebagian besar hutan di Norwegia bukanlah jenis hutan belantara tanpa sinyal yang harus membuat mu takut berpetualang.

6. Less danger


I am not gonna lie but bears, wolves, and snakes exist in Norway! Namun tidak seperti di Asia, keberadaan hewan liar ini justru tidak tersebar di semua tempat dan kesempatan untuk melihat mereka pun sangat langka. Kebanyakan populasi beruang dan serigala hidup di daerah utara, sementara populasi ular lebih banyak hidup di daerah perhutanan Norwegia Selatan.

Di sini, hanya ada 3 jenis ular dan hanya 1 diantaranya yang berbisa. Ular yang ada di gambar adalah jenis ular berbisa yang saya dan Mumu jumpai saat kami jalan-jalan di hutan. Ukurannya tidak besar, mungkin seukuran ular remaja yang sedang menikmati sunbathing time. Jenis ular ini juga sangat pasif dan hanya akan menggigit ketika sedang terancam. So, it's really important to wear good shoes and watch your steps! Moreover, no tigers or boars!

7. Sink the extravagance


Bagi yang belum tahu, sebelum Norwegia kaya seperti sekarang ini, mereka hanyalah bangsa jajahan yang berganti-ganti kepemimpinan oleh Kerajaan Denmark dan Swedia. Banyak perak dari negara ini dicuri dan dibawa lari ke Denmark dengan menelantarkan Norwegia dengan populasi pekerja yang kebanyakan petani dan pelaut. Hingga di tahun 1970, mereka menemukan sumber daya alam minyak bumi yang membuat bangsa ini kaya raya seperti sekarang.

Tapi sebelum menjadi bangsa modern, mereka hanyalah masyarakat lokal yang sering menghabiskan waktu di luar ruangan dengan menjadikan ski sebagai alat transportasi berpindah tempat di kala musim dingin. Tempat tinggal mereka juga hanya rumah kayu sederhana dengan keterbatasan toilet dan air. Makanya tak heran, hingga saat ini beberapa kabin yang dibangun di daerah hutan masih minim air dan toilet letaknya di luar. Kebiasaan ini pun lahir dari nenek moyang mereka sejak dulu dan masih menjadi budaya unik yang membuat Norwegia berbeda dari 2 negara Skandinavia lainnya. Jadi kalau kamu berencana ke Norwegia, jangan bayangkan nightlife di Stockholm atau Kopenhagen, karena yang kamu harus nikmati adalah sisi modest dan menyepi di kabin saat akhir pekan.


I enjoy every step in Norway since the enchanting and modest landscape always brings a good memory of my childhood! But what do you think about forest therapy in Norwegian woods? Where do you go for digital detox if friending with nature is not your option? 



07 April 2020

5 Tanda Kamu Ketagihan Au Pair


Tinggal di luar negeri, bebas berbikini, serunya berkencan dengan cowok Kaukasian, hingga tak lagi pusing memikirkan betapa idiotnya tingkah beberapa oknum di kampung halaman, membuat kebanyakan au pair Indonesia merasa betah hidup di Eropa. Walaupun ujungnya mereka akan menambahi fakta bahwa hidup di luar negeri itu tidak seindah yang semua orang pikirkan, tapi tetap saja mereka memilih untuk stay.

Meninggalkan zona nyaman lalu hijrah ke negara orang demi jadi au pair itu adalah salah satu langkah terbesar yang ada dalam hidup mu. Banyak hal yang akan kamu pelajari dengan tinggal di negara baru, dengan mulai memahami diri sendiri hingga berusaha beradaptasi dengan budaya yang tak selalu membuat nyaman. But that's an amazing life story and you should be grateful to have it! Bersyukur karena tak semua orang Indonesia punya kesempatan tinggal di luar negeri - dengan kategori permit sebagai au pair.

Meskipun awalnya au pair hanya dikenal oleh para mahasiswa sastra yang tertarik belajar bahasa di Prancis dan Jerman, semakin ke sini, au pair lebih dikenal sebagai batu loncatan. Bukan hanya untuk mengasah bahasa asing, tapi untuk mendekatkan mimpi mu agar lebih nyata. Mulai dari kuliah dan bekerja di luar negeri, sampai menikahi cowok Kaukasian yang selama ini menjadi idaman.

No matter what your purpose is, jangan sampai keasikan jadi au pair hingga lupa memikirkan rencana ke depannya! Kenapa, karena kehidupan au pair yang nyaman dengan tempat tinggal gratisan, bisa membuat mu ketagihan! Berikut 5 tanda kamu mulai ketagihan jadi au pair!


1. Malas pulang ke Indonesia setelah au pair pertama

Sebagai au pair junior yang memulai kisah au pair pertama di tahun 2014, bisa dikatakan saya cukup membuka telinga terhadap semua masukan para teman-au pair senior. Ketika memutuskan untuk langsung lanjut au pair di negara lain tanpa pulang dulu ke Indonesia, seorang teman-senior malah menasehati saya sebaliknya. Baginya, pulang ke Indonesia setelah 1 tahun jadi au pair itu bisa jadi terapi sebelum memulai petualangan selanjutnya.

"Trust me, you are gonna be so happy ketemu abang bakso lagi, makan sate pinggir jalan, hingga merasakan unlimited sunlight setiap harinya! Eropa begini-begini saja, Nin. Kamu ke sini 5 tahun dari sekarang pun masih akan seperti ini saja. Take your chance to go home and say hi to your relatives!" katanya saat itu.

Saya memang malas pulang ke Indonesia. Malas membuat visa dari awal, malas packing, lalu malas juga kalau harus terbang lagi PP Indonesia-Eropa. Tapi karena pulang ke Indonesia saat itu dibayari host family setengahnya, saran teman tersebut pun saya dengarkan. Memang benar, pulang sebentar ke Indonesia demi memanjakan lidah dan berkumpul bersama keluarga tanpa harus mendengar teriakan anak balita di rumah bisa jadi terapi tersendiri.

2. Tak ada tujuan di Indonesia

Kamu sudah jadi au pair, lalu pulang ke Indonesia for good, namun sempat terpikir untuk jadi au pair lagi karena merasa muak atau tak ada tujuan di Indonesia. Yang seperti ini, banyak! Ada perasaan rindu suasana Eropa, rindu minum-minum di bar, rindu pulang malam tanpa ancaman begal, rindu swiping dengan para bule-bule kece, hingga rindu suasana Natal yang syahdu di Benua Biru.

Di saat seperti ini, memang hanya au pair yang bisa dengan mudah menerbangkan mu kembali ke Eropa dan menikmati kebebasan yang terbatasi di Indonesia. Tapi apa kamu yakin ingin kembali jadi au pair hanya merasa tak ada tujuan di Indonesia, bukan karena kemarin belum puas menikmati kehidupan di negara orang?

3. Travelling 'murah' masih ada dalam wishlist mu


It was me when I started my journey back to Denmark! Pengalaman au pair saya di Belgia betul-betul up and down and I swore to myself to be an au pair again! Di Belgia, saya hanya punya 10 hari libur untuk jalan-jalan yang saat itu ending-nya pergi ke Italia dan Yunani. Masih ada banyak sekali daftar negara yang ada dalam wishlist dan saya sadar bahwa sekembalinya ke Indonesia, melihat Eropa dari peta saja sudah sangat jauh. Belum lagi masalah ongkos dan visanya! Manusia kere macam saya ini rasanya harus kembali bermimpi.

Saya tahu bahwa dengan jadi au pair lagi, resolusi saya travelling ke banyak tempat jauh dari kata impossible. Kenyataannya benar, uang saku saya selama 2 tahun di Denmark memang hanya habis untuk jalan-jalan. Hampir setiap bulan saya bisa travelling dengan (lebih) murah dan mudah ke banyak negara Eropa, dari Islandia sampai Turki, hingga kesampaian mengunjungi adik saya di Cina.

I know it is not only me since most au pairs who love traveling also would do the same; niat jadi au pair lagi demi keliling dunia!

4. Post-au pair crisis

Pertanyaan "setelah ini ingin kemana?" adalah momok yang real bagi para au pair. Sudah malas pulang ke Indonesia, tak niat lanjut kuliah, si pacar belum ingin menikahi, ya ujung-ujungnya lanjut au pair lagi! Mau bagaimana lagi, iya kan?

Hidup jadi au pair di Eropa itu cukup nyaman. Dapat kamar gratisan, makan tinggal buka kulkas, jalan-jalan murah, belum lagi banyaknya fasilitas mewah lainnya yang host family berikan. Sebelum menyentuh usia 30, berkelana ke banyak tempat untuk jadi au pair pun rasanya tak masalah. Tapi semakin kamu bingung ingin kemana selepas au pair, semakin kamu akan menyadari bahwa ternyata 1 tahun di negara orang itu bisa berlalu dengan sangat cepat! Hayo, ingin kemana lagi selepas ini?

5. Belum selesai satu, sudah berniat ke negara selanjutnya

Kamu baru beberapa bulan di satu negara, tapi karena menyadari enaknya jadi pair, sudah memiliki rencana untuk langsung mencari host family sebelum permit habis. Hal ini dilakukan agar tak harus pulang dulu ke Indonesia dan apply visa lagi. Now you understand, how 'easy' it is handling the papers in Europe than in Indonesia!

Tapi sebelum memutuskan ingin jadi au pair lagi, kamu harus berencana lebih jelas apa tujuan au pair kesekian ini. Kehidupan au pair yang nyaman akan berakhir ketika menyentuh usia 29 atau 30 tahun. Jadi sebelum buang-buang waktu dan menua karena bingung "setelah ini ingin kemana?", perhaps you might challenge yourself to stop living comfortably (as an au pair)?

⚘ ⚘ ⚘

Being an au pair is so addictive, Teman-teman! Sesampainya di sini, ada kemungkinan kamu akan menyetir ulang jalan untuk pulang dan berpikir untuk menetap. Seperti yang saya katakan di atas, au pair bisa menjadi batu loncatan menggapai mimpi dengan mencari ilmu, karir, atau jodoh di luar negeri. Tapi sebelum ketagihan dan terlalu lama menjadi au pair, membuat rencana yang matang sebagai jawaban dari "setelah ini ingin kemana?" itu harus, karena kehidupan au pair di satu tempat itu tidak lama, hanya 12 sampai 24 bulan saja.

Saya jadi au pair sampai 5 tahun lamanya juga bukan karena kebetulan. Bahkan kalau harus mengulang dari awal, saya mungkin akan mencoret Denmark dan langsung ke Norwegia untuk menjadi au pair dan meneruskan hidup sebagai mahasiswa. I would save 2 years of precious time in my life! Atau kemungkinan saya akan menyudahi petualangan di Denmark, mencoret Norwegia, lalu stay di Indonesia untuk bekerja di perusahaan multinasional.

Jangan takut untuk pulang dan meneruskan hidup di Indonesia jika Eropa memang bukan jalan yang tepat untuk meraih mimpi mu! In the end, hanya Indonesia yang masih mau menerima kembali jika Eropa tak lagi mengizinkan mu tinggal selama-lamanya (kuncinya, well-planned kalau memang ingin stay longer di negara impian since your "jalani saja" would bring you nowhere!).



01 April 2020

I Don't Need Friends, But Money! (COVID-19 Status)


I left my blog outdated for more than 2 weeks!

Sebetulnya saya kurang berminat membahas status Corona di Norwegia karena berita soal pandemik ini sudah tersiar dimana-mana. Tapi karena memang belakangan ini sedang gelisah, mungkin tak salah menulis apa yang saya alami di sini lewat cerita lebih panjang. Beberapa kali saya berusaha bercerita via Instagram Story hanya demi menyalurkan kegelisahan dan berharap ada yang mengerti. Tapi dari sana saya sadar, bahwa yang paling banyak memberi support bukanlah teman-teman terdekat (yang sempat membaca Story tersebut), melainkan para blog readers yang saya tak kenal!

Hiks, terima kasih untuk kalian semua yang bersedia membaca cerita kegalauan saya hidup di Norwegia di tengah wabah Corona ini! Saya tahu ini memang bukan hanya masalah Norwegia, tapi seluruh dunia. Tapi karena ada beberapa orang yang merasa saya hanya pamer cerita sedih di Instagram, saya terusik untuk menguraikan mengapa kegalauan ini sampai terjadi!

emerge © , All Rights Reserved. BLOG DESIGN BY Sadaf F K.