25 Oktober 2020

Jadi Au Pair Tidak Gratis: Siap-siap Modal!


Beragam postingan dan artikel yang saya baca di luar sana, selalu memotivasi anak muda Indonesia untuk jadi au pair dengan embel-embel bisa jalan-jalan dan kuliah gratis di luar negeri. Dipadu dengan gaya tulisan yang meyakinkan di depan, ujung tulisan tersebut sebetulnya tidak menunjukkan fakta bahwa kamu memang langsung bisa kuliah gratis hanya karena jadi au pair. Banyak yang memotivasi, namun lupa bahwa sesungguhnya tidak ada yang gratis di dunia ini. Termasuk jadi au pair yang selalu dideskripsikan sebagai program pertukaran budaya ke luar negeri dengan berbagai fasilitas gratisan.

First of all, jadi au pair itu tidak gratis ya! Ada biaya dan waktu yang harus kamu keluarkan sebelum bisa pindah ke negara tujuan dan menikmati hidup di negara orang. Biaya dan waktu ini juga tidak sama untuk semua orang. It sounds so stupid kalau kamu hanya percaya satu orang yang mengatakan au pair itu gratis, padahal kenyatannya tidak demikian.

Sebelum memutuskan jadi au pair, cek dulu biaya apa saja yang harus kamu persiapkan! 

1. Biaya kursus dan tes bahasa

Ingin jadi au pair dimana? Pertanyaan ini adalah hal paling utama yang harus kamu tahu sebelum mengorek informasi soal biaya lebih lanjut. Contohnya, biaya au pair ke Jerman dan Austria tentu saja berbeda dengan biaya au pair ke Swedia. Mengapa, karena salah satu syarat jadi au pair ke Jerman dan Austria itu adalah kamu wajib melampirkan sertifikat bahasa Jerman minimal level A. Untuk mendapatkan sertifikat tersebut, tentu saja kamu harus ikut tes dulu di institusi resmi seperti Goethe-Institut.

Cara belajar orang juga tidak sama. Ada yang mungkin belajar otodidak saja sudah cukup, namun ada juga yang mungkin harus ikut kursus dulu agar lebih produktif. Tempat kursus ini pun tidak ada di setiap kota di Indonesia, sampai memungkinkan mu harus terbang atau travelling dulu ke kota lain. Namun dari sini saja, kita sudah harus memikirkan biaya kursus, biaya tes, dan biaya travelling jika tempat kursus jauh dari kediaman.


Saya belum pernah belajar bahasa Jerman di Indonesia dan kurang familiar dengan biaya kursusnya di tiap tempat. Namun karena Jerman adalah negara paling populer bagi au pair Indonesia, saya dengar sudah banyak sekali tempat kursus yang membuka kelas on-campus ataupun online dengan tambahan akan dicarikan host family langsung. Bundle package ini pun harganya bermacam-macam dari yang 1 jutaan sampai belasan juta Rupiah. Sayangnya, karena demand yang tinggi serta kekurangtahuan orang-orang tentang memilih tempat yang kredibel, banyak calon au pair sampai kena tipu karena tempat kursus tersebut tidak bertanggung jawab. 

Saya sendiri tidak pernah menghakimi orang-orang yang berniat ke Jerman sampai harus membayar kursus jutaan rupiah hanya demi uang saku €280 per bulan. Kalau kamu punya uang, ya sah-sah saja membayar jasa orang untuk belajar bahasa hingga dijanjikan mendapatkan host family. Yang paling penting, jangan sampai hanya karena ingin sekali ke Jerman (dan Austria), kamu jadi tak teliti memilih agensi atau tempat kursus yang tepat hingga akhirnya merugikan diri sendiri. Be aware!


2. Biaya menemukan keluarga

Karena semakin banyak yang tahu tentang au pair, semakin banyak pula yang tertarik dan gencar mencari keluarga dari sekarang. Para anak muda ini biasanya memanfaatkan koneksi kanan kiri, grup au pair di Facebook, mendaftar ke beberapa situs pencarian keluarga, ataupun melirik banyak agensi au pair demi menemukan satu keluarga yang mau mengundang mereka ke host country. Salah satu situs paling terkenal, AuPairWorld, merupakan platform tak berbayar yang paling banyak direkomendasikan oleh para au pair di luar sana. Tapi apakah daftar ke AuPairWorld saja cukup? Bagi saya, tidak.

Dari dulu saya tidak pernah beruntung menemukan satu keluarga pun lewat situs tersebut, tapi agensi. Dikarenakan dana yang terbatas, sebisa mungkin juga saya memilih agensi gratis agar tak banyak keluar modal. Namun tak semua au pair punya kisah yang sama. Ada juga yang mau mendaftar ke agensi berbayar dengan kisaran biaya 3-15 jutaan Rupiah karena ingin mudah dan cepat menemukan keluarga yang diinginkan.


Kalau berniat cari keluarga secara mandiri via intenet, kamu juga harus tahu bahwa semua situs tak gratis. Beberapa situs lain seperti Care.com atau Aufini menerapkan biaya langganan jika ingin menikmati fitur berlebih. Kamu juga boleh melirik agensi baik di Indonesia maupun negara tujuan sebagai peluang dijodohkan dengan calon keluarga. Tapi cobalah lebih hati-hati memilih agensi yang sudah berpengalaman di bidangnya, tahu seluk-beluk au pair, dan tidak serta merta 'menjual' mu ke keluarga yang punya catatan buruk hanya karena ingin mengeruk profit.


3. Biaya melengkapi dokumen

Selain biaya untuk mendapatkan sertifikat bahasa asing (jika diperlukan), kamu juga harus menghitung hal paling krusial: biaya memenuhi kelengkapan dokumen sebagai syarat administrasi imigrasi! Contohnya Belgia, yang dokumennya super banyak dan ribet di awal! Tujuh tahun lalu saat mengurus dokumen jadi au pair ke Belgia, biaya yang harus saya keluarkan mencakup tes kesehatan yang dokternya harus terdaftar dalam list kedutaan, biaya menerjemahkan akte kelahiran & ijazah, biaya membuat SKCK, biaya melegalisir SKCK di Jakarta, serta biaya pos internasional untuk mengirim semua dokumen ke Belgia. Kalau ini adalah pengalaman pertama mu menginjakkan kaki ke luar negeri, kamu juga harus membuat paspor yang biayanya harus ditambahkan ke dalam daftar!


Tiap negara punya syarat dokumen yang berbeda-beda dan kamu harus jeli melihat semua detailnya! Contohnya, kamu berniat mendaftar Working Holiday Visa (WHV) ke Australia karena ingin bekerja jadi nanny-au pair di sana. Salah satu syarat dokumennya adalah kamu wajib menyertakan sertifikat bahasa Inggris IELTS/TOEFL level General yang tentunya butuh biaya tambahan lagi saat mendaftar tes.


4. Biaya transportasi dalam kota/negara

Tidak semua orang Indonesia yang jadi au pair itu tinggalnya di Jabodetabek atau Pulau Jawa. Pun meskipun tinggal di ibukota, mereka tetap harus mengeluarkan biaya bensin atau ojek kesana kemari demi mengurus dokumen. Pernah memang saya mendengar ada satu au pair yang semua biaya transportasi dari dia keluar rumah sampai tiba di negara tujuan ditanggung sepenuhnya oleh host family. Namun keberuntungan seperti ini tentu saja tidak milik kita semua.

Saya sudah 3 kali mengurus visa au pair di Indonesia dan harus siap terbang PP Palembang-Jakarta demi berangkat ke Eropa. Apalagi ketika mengurus visa ke Belgia, saya harus dua kali bolak-balik Palembang-Jakarta dan terpaksa menginap di kosan teman selama 1 mingguan. Padahal di Jakarta sendiri tak lebih dari 2 hari, namun karena waktu tunggu serta lain hal, saya harus mengeluarkan biaya tambahan untuk makan dan transportasi.

Tiket terbang PP Palembang-Jakarta itu sekitar 900 ribu-2 jutaan Rupiah tergantung jam terbang dan maskapai. Saya memilih naik pesawat karena memang ingin cepat sampai dan malas berlama-lama naik bus, naik kapal ke Tanjung Periok, lalu ganti bus lagi menuju pusat ibukota. Biaya ini tentu saja berbeda untuk setiap orang karena bisa jadi ada yang tinggal di Makassar, Medan, ataupun Papua.


5. Biaya visa

Sekali lagi, tiap negara punya peraturan yang berbeda soal biaya aplikasi visa dan ini tugas kamu untuk mengecek langsung ke situs terkait! Tahu berapa biayanya dari mana? Dari situs VFS, TLS Contact (untuk Prancis) di Jakarta, atau langsung saja kunjungi situs imigrasi negara bersangkutan. Contohnya di Denmark, ada 2 biaya yang sedikit berbeda. Satu, biaya aplikasi pendaftaran ke imigrasi Denmark yang sebaiknya dibayar oleh host family. Kedua, adalah biaya visa jangka panjang di kedutaan besar Denmark di Indonesia yang jadi kewajiban calon au pair. 

Sementara Norwegia, mereka hanya punya satu biaya yaitu biaya aplikasi pendaftaran. Kamu tidak perlu lagi mengeluarkan biaya ketika mendatangi VFS di Jakarta dan cukup menyerahkan dokumen saja. Biaya aplikasi ini sudah harus dibayar ketika kamu mengisi formulir pendaftaran online dan jumlahnya NOK 8400 atau sekitar 13 jutaan Rupiah. Tapi tenang saja, di Norwegia biaya tersebut boleh bagi dua dengan host family, bahkan banyak host family berbaik hati mau menanggung semuanya!


Pastikan lagi dengan calon keluarga ketika sudah deal, apakah biaya aplikasi dan visa akan ditanggung atau harus bagi dua. Kalau tidak, tentu saja jangan manyun karena sebetulnya host family tidak punya kewajiban menanggung sepenuhnya. Tiga kali jadi au pair, saya juga belum pernah sampai dibayari host family biaya visa secara penuh. Tanpa berekspektasi tinggi, kamu juga tetap harus menghitung biaya visa yang mungkin akan dikeluarkan jika memang keluarga tidak menanggung semuanya. 


7. Biaya tiket pesawat

Denmark adalah satu-satunya negara yang mewajibkan host family membayari semua tiket pesawat au pair dari/ke negara tujuan kalau akhirnya au pair tersebut memutuskan pulang ke Indonesia. Bersyukur, tiga kali jadi au pair dan tiga kali mengurus visa di Indonesia, semua keluarga saya mau menanggung biaya tiket pesawat dari Indonesia ke negara tujuan. Meskipun saat pulang ke Indonesia dari Belgia, host family hanya menanggung setengahnya.

Bagi saya, biaya tiket pesawat menuju Eropa adalah hal paling mahal dari semua persiapan jadi au pair jika kamu tidak harus kursus dan tes bahasa dulu. Banyak keluarga sebetulnya dianjurkan hanya membiayai tiket pesawat pulang saja setelah au pair menyelesaikan kontraknya. Namun ada juga au pair yang menawar untuk dibayari dulu tiket pergi, lalu akan diganti dengan gaji yang diterima setibanya di negara tujuan. Intinya, soal tiket pesawat ini sebisa kalian menawar dan berdiskusi dengan host family saja. Jangan kecewa juga ketika host family memutuskan untuk tak membayari tiket dari Indonesia ke negara tujuan, karena hal tersebut sebetulnya cukup riskan bagi keluarga tersebut. Host family pastinya juga tak mau rugi, sudah membayari ini itu, namun ternyata baru 1-3 bulan tinggal sudah tak cocok.


Kalau tertarik mengecek berapa kisaran biaya menuju ke negara tujuan, boleh cek lewat online travel agent semisal Skyscanner atau Momondo. Saya dari dulu selalu berusaha mencari keluarga yang mau membayari tiket pesawat menuju Eropa. Mengapa, karena saya tidak punya banyak uang dan tak mau juga merepotkan orang tua. Walaupun selama ini sebetulnya semua keluarga hanya memesan tiket keberangkatan dari kota terbesar, yaitu Jakarta, dan saya tetap harus membeli tiket penerbangan dari Palembang ke Jakarta.


8. Biaya di awal keberangkatan

Sebelum berangkat, bear in mind bahwa kamu harus punya uang simpanan di minggu-minggu awal kedatangan sebelum menerima gaji pertama. Setibanya di negara tujuan, kita setidaknya perlu beli tiket transportasi sendiri dulu jikalau ingin jalan-jalan keluar sebentar ke tengah kota. Di Denmark, saya beruntung dua hari datang langsung dibekali host family uang saku pertama. Namun tidak saat di Belgia. Host family sampai harus menahan dulu uang saku di bulan pertama hanya karena saya belum punya akun bank. 


Banyak yang menanyakan ke saya kira-kira berapa uang yang harus dibawa dari Indonesia ke negara tujuan. Jawabannya, tergantung dengan kondisi finansial masing-masing. Berangkat ke Belgia untuk pertama kali, saya dibekali ibu US$100 yang jumlahnya kala itu mungkin hanya 1 jutaan Rupiah atau kurang dari €80. Teringat sekali ketika ibu harus mendatangi bank tempatnya menabung valuta asing lalu menarik tabungan yang jumlahnya juga tak seberapa. It was mine.

Kalau kalian lebih beruntung bisa membawa bekal dana yang lebih besar untuk 1 bulan awal, justru lebih baik! Mungkin di awal kedatangan sudah harus beli boot salju baru atau mantel yang lebih hangat? You never know.


9. (TAMBAHAN) Karena waktu adalah uang

Cari keluarga itu hampir sama dengan cari kerja, kadang lucky langsung diwawancara, kadang apes sering penerima penolakan. Ada yang cepat dapat keluarga, ada juga yang harus menunggu berbulan-bulan sebelum bisa bertemu dengan keluarga pertamanya. It seriously takes time!

Teman saya bisa saja mendapatkan keluarga hanya 3 minggu dari saat dia mendaftarkan diri di agensi, namun saya harus menunggu 5 bulan sebelum bertemu dengan keluarga pertama. Dulu yang saya ingat, setiap hari harus mengecek Blackberry milik ibu hanya untuk melihat respon dari keluarga di AuPairWorld. Belum lagi cari keluarga tidak hanya cukup dari satu situs, tapi mesti siap-siap daftar juga ke beberapa situs lain agar kesempatan kita menemukan keluarga lebih besar. Menulis profil yang baik juga butuh waktu karena kadang kita bingung apa yang harus ditulis dan harus dikoreksi berkali-kali.


Setelah berhasil diwawancara, kita juga mesti menunggu keputusan apakah kita adalah au pair yang keluarga cari. Belum lagi masa tunggu tak jelas, ketika teks terbaca namun tak dibalas, hingga membuat bingung apakah keluarga tersebut sebetulnya menolak kita? Kadang karena sudah menunggu terlalu lama, kita harus follow up yang mungkin saja ternyata dibalas dengan penolakan. Ketika ini terjadi, lagi-lagi kita harus memulai perburuan keluarga dari awal.

Proses menunggu pun tak hanya sampai di situ. Saat sudah happy diterima jadi au pair dan siap-siap ingin berangkat ke negara tujuan, kita tetap harus dihadapkan dengan tumpukan dokumen aplikasi visa yang harus diserahkan ke kedutaan besar atau visa application center. Selain butuh biaya, proses pengurusan dokumen yang mungkin harus legalisasi kesana kemari, terjemah ijazah sana-sini, menunggu hasil tes kesehatan, hingga menunggu keputusan dari imigrasi juga bisa memakan waktu sampai berbulan-bulan!

⚘ ⚘ ⚘

So, jadi au pair itu tidak gratis dan cukup melelahkan, kan? Semuanya butuh modal dan kamu harus aware dari awal kalau menggapai impian itu memang perlu pengorbanan. Bagi saya, au pair itu tidak murah, namun bisa jadi batu loncatan termudah demi menggapai mimpi yang lain; contohnya lanjut kuliah. Meskipun saya tahu bahwa biaya yang dikeluarkan untuk jadi au pair tak sedikit, tapi kamu tetap bisa cerdik mengakali pengeluaran! It's okay to spend some bucks, tapi jangan sampai lebih dari batas keuangan. Caranya?

  • Sebisa mungkin pilih negara tanpa syarat keperluan bahasa
  • Pilih agensi gratisan
  • Cari keluarga yang mau membayari tiket pesawat menuju negara tujuan
  • Berdiskusi dengan keluarga soal biaya visa, dibayari setengah pun sudah lumayan
  • Memilih negara yang syarat dokumennya tak ribet dan mahal
  • Kalaupun harus melampirkan syarat bahasa, setidaknya belajarlah otodidak atau belajar dari individu yang harganya tak semahal tempat kursus
  • Menabung dari sekarang! Because there's no such a free lunch!

Good luck menemukan jalan mu jadi au pair! ❤
 
 
 

18 Oktober 2020

Stop Susah, Ada Beasiswa!


Awal tahun lalu saat pulang ke Palembang, saya bertemu dengan om ipar yang dulu sempat menyelesaikan S2 dan S3-nya dengan beasiswa DAAD dari pemerintah Jerman. Si om ini memang tipikal orang yang mengedepankan pendidikan tinggi sampai anaknya pun didorong mati-matian agar nanti dewasanya bisa jadi 'orang'. Dari sebelum lulus skripsi sampai sekarang, saya akui, beliau punya perhatian yang cukup tulus dengan perkembangan pendidikan saya. He cares more than my mom! Sebetulnya kadang segan (baca: malas) kalau sudah bertemu beliau, karena orangnya cenderung idealis dan pushy.

Dari sebelum lulus kuliah S1, saya terus dirayu untuk mendaftar beasiswa LPDP. Tapi apa daya, saat itu saya belum cukup mental dan uang untuk tes IELTS/TOEFL. Pilihan jadi au pair ke Belgia pun saya pilih karena ingin istirahat dulu selepas lulus S1. Tak berhenti sampai di situ, si om yang tahu saya akan ke Belgia lagi-lagi menyarankan mencari beasiswa Master dari pemerintah setempat, semisal VLIR-UOS. Untungnya saya masih punya alasan untuk tak ingin lanjut S2 dulu, karena program dari beasiswa tersebut juga tak ada yang cocok dengan minat saya.

Mendengar saya akhirnya lanjut S2 di Norwegia dengan biaya sendiri sekarang, beliau menyayangkan keputusan tersebut. Beliau kembali menyarankan untuk mengecek program dari LPDP yang mungkin saja tersedia untuk mahasiswa yang sudah on-going kuliah. Yang tentu saja, tidak ada.


"Aduh, Nin, sayang sekali. Kalau ada beasiswa, setidaknya bisa fokus sepenuhnya kuliah tanpa capek-capek kerja part-time di luar," kata beliau saat itu.

Awalnya saya tak mengindahkan ucapan tersebut. Apa salahnya dengan kerja paruh waktu? Bukankah lebih baik punya kesempatan kerja di luar sekalian bisa bersosialisasi? Tempat kerja juga bisa jadi ajang memperluas networking dan melatih bahasa asing, kan? Apa tidak bosan hanya punya circle pertemanan satu kelas (atau mungkin justru, hanya tahu komunitas orang Indonesia) saja?

Hingga akhirnya, saya paham mengapa bagi mahasiswa berkantong pas-pasan seperti saya ini memang sebaiknya kuliah pakai beasiswa! Bukan berarti kuliah di luar negeri hanya milik orang kaya dan orang pintar saja. Namun sesungguhnya, perjuangan hidup di negara orang itu memang tidak mudah, apalagi di negara mahal seperti Norwegia. Dengan dana beasiswa, setidaknya kita sedikit terbantu dalam menopang biaya studi ataupun biaya hidup.

Baca juga: Berburu Student Job Tanpa Lelah (Bagian 1)

Sejak pandemi ini, saya merasakan sendiri bahwa hidup mahasiswa asing yang harus kuliah di luar negeri dengan biaya sendiri jadi berkali-kali lipat sulitnya. Biaya sendiri ini maksud saya bukan biaya orang tua atau bantuan sponsor, ya. Tapi murni biaya kuliah dan biaya hidup yang kamu topang hanya dari hasil kerja paruh waktu, tanpa bantuan keluarga sedikit pun. Contohnya di Oslo, kebanyakan mahasiswa asing yang kuliah dengan biaya sendiri biasanya mencari nafkah dengan kerja paruh waktu jadi pelayan, loper koran, atau tukang bersih-bersih. Di bulan Maret, pemerintah serentak menutup pintu perbatasan dan memberi himbauan untuk menutup banyak restoran dining-in sebagai aksi mengurangi infeksi virus. Hal ini jelas saja membuat banyak mahasiswa asing depresi karena terpaksa harus dirumahkan tanpa mendapat uang sepeser pun. Beruntung bagi yang dirumahkan, lalu masih bisa kembali bekerja. Tak sedikit mahasiswa asing yang kehilangan pekerjaan hingga harus 'mengemis' makan di Fattighuset (poor house).

Sebuah postingan di grup Facebook mahasiswa internasional di Oslo memuat cerita seorang mahasiswa yang sampai sekarang masih struggling menafkahi diri sendiri dari mahalnya biaya hidup. Beragam komentar yang memberi semangat, saran, dan rekomendasi tentunya menjadi penguat batin tersendiri bagi si penulis. Meskipun tak sampai harus cari makan ke Fattighuset, namun hingga sekarang, saya juga sebetulnya masih berusaha keras menutupi biaya hidup sehari-hari karena tabiat on-off dari employer. Gaji saya bekerja yang jumlahnya tak seberapa pun sudah 3 bulan belum dibayar. It adds up another stress to me karena mesti bolak-balik konfirmasi dan mengemis hak!

Dari semua peristiwa tak terduga dan tak mengenakkan ini, saya merasa kalian harusnya pantas kuliah dengan bantuan dana beasiswa! Oslo memang tak memungut biaya kuliah di kampus publik, tapi biaya hidupnya yang tinggi tentu saja mencekik jika tak punya gaji yang layak. Sayangnya, karena biaya kuliah yang gratis, tak ada lagi dana beasiswa tersedia bagi mahasiswa Indonesia sejak 2017. Yang artinya, kamu hanya bisa kuliah di Norwegia dengan 3 cara; lewat bantuan beasiswa pemerintah Indonesia, dana pribadi, atau mengambil Lånekassen (hibah & hutang) dari pemerintah Norwegia kalau kamu memiliki residence permit dari pernikahan atau tinggal bersama pasangan.

Baca juga: Visa dan Izin Tinggal (Residence Permit), Apa Bedanya?

Sebagai au pair yang berniat lanjut kuliah di Eropa, kamu juga tak harus selalu melirik Norwegia hanya karena kampusnya bebas biaya kuliah. Ada banyak sekali universitas top di Eropa (bahkan luar Eropa!) yang memberikan beasiswa bagi mahasiswa asing, khususnya Indonesia. Kamu juga tak harus selalu berkompetisi memenangkan dana beasiswa pemerintah Indonesia lewat LPDP, karena sesungguhnya beasiswa dari pemerintah lokal itu banyaaaak dan patut diperjuangkan!

Tapi kan harus pintar dulu baru dapat beasiswa?

No, kata siapa?! Beasiswa itu banyak jenisnya dan tidak semuanya hanya terfokus untuk orang-orang pintar dengan deretan huruf A di transkrip nilai. Banyak juga beasiswa yang khusus diberikan ke anak-anak muda yang punya pengalaman leadership, berorganisasi, olahraga, atau volunteering di bidang tertentu. Tidak perlu juga harus mencari beasiswa full yang mencakup semua hal dari mulai uang saku sampai tiket pesawat. Beasiswa parsial dari 30-70% pun sudah sangat lumayan meringankan beban hidup mu di negara tersebut.

Cari beasiswanya dimana?


Search engine semisal Google, Bing, atau DuckDuckGo. Zaman sekarang jangan cuma mahir photo editing di Instagram atau joget TikTok, tapi juga Googling! Ada banyak sekali jenis beasiswa yang bisa kamu cari, pelajari, dan daftar. It takes time and a lot of effort memang. Tapi kalau belajar di luar negeri adalah cita-cita mu sejak kecil, tak ada salahnya mengganti waktu scrolling media sosial dengan scrolling informasi seputar beasiswa dan kampus idaman.

Berikut informasi mini seputar beasiswa dari pemerintah atau organisasi di Eropa yang bisa kamu pertimbangkan selepas au pair:

Danish Government Scholarships

Meskipun Denmark saya cap sebagai negara terburuk bagi para au pair, tapi kualitas pendidikannya selalu masuk top tier seantero Nordik, bahkan Eropa! Ada banyak sekali mantan au pair yang merasa nyaman tinggal di Denmark, namun tak berani bermimpi lanjut kuliah karena biaya pendidikannya yang mahal. Kabar baiknya, beasiswa dari pemerintah Denmark ini bisa kamu pertimbangkan karena mencakup banyak sekali kampus top semisal University of Copenhagen (KU), Technical University of Denmark (DTU), atau Copenhagen Business School (CBS).

Beasiswa ke Belanda

Selain punya ikatan sejarah yang kuat dengan Indonesia, jumlah au pair Indonesia di Belanda pun cukup signifikan dibandingkan negara lainnya. Kamu tak perlu pusing memikirkan biaya kuliah yang tinggi, karena beasiswa semisal Orange Tulip Scholarship memberikan potongan 30-70%. Tambahan lainnya, kamu bisa juga mendaftar Holland Scholarship dengan dana hibah maksimal €5000 di tahun pertama studi dan STUNED bagi kamu yang tertarik belajar agro-pangan, ekonomi sirkular, dan pengelolaan air.

Beasiswa ke Prancis

Sebagai salah satu negara favorit studi dan juga au pair, kamu yang belum ingin pulang selepas masa kontrak bisa langsung mencari kampus tujuan untuk melanjutkan pendidikan. Beasiswa Eiffel adalah beasiswa paling terkenal bagi anak-anak muda di bawah 26 tahun yang ingin melanjutkan pendidikan Master di bidang Hukum, Ekonomi Manajemen, Teknik, dan Ilmu Politik. 


Meskipun berada jauh di utara Eropa dan tak terlalu ngetop seperti negara tetangganya di Nordik, Swedia dan Denmark, namun kualitas pendidikan di negara Nokia ini juga tak kalah, lho! Dua kampus terbaiknya, Aalto University dan University of Helsinki selalu masuk ranking 150 kampus terbaik di dunia. Kultur unik masyarakat Finlandia yang cukup berbeda dari negara Eropa kebanyakan juga bisa jadi daya tarik tersendiri bagi kamu yang suka winter wonderland dan bertujuan tinggal di tempat yang masih jarang orang Indonesianya!

Erasmus Mundus

Tak ada salahnya melirik beasiswa bergengsi ini jika kamu tertarik kuliah dan tinggal di lebih dari satu negara selama studi. Erasmus Mundus Joint Master Degrees (EMJMD) memberikan kesempatan belajar di lebih dari satu negara selama 6-24 bulan lamanya di kampus yang termasuk dari partner Erasmus. Karena memberikan beasiswa penuh beserta tambahan tiket pesawat, tak heran bahwa beasiswa ini paling banyak pelamarnya yang tertarik kuliah di Eropa.


Sebagai mantan au pair yang langsung lanjut kuliah, saya juga menyarankan para au pair lain untuk terus menabungTrust me, pundi-pundi kecil tabungan ketika au pair itu akan sangat membantu ketika kamu memutuskan lanjut kuliah dengan biaya sendiri nantinya — meskipun masih terbantu dana beasiswa atau dana sokongan sponsor!! 

Kuliah saja sudah lelah, ditambah lagi harus mengorbankan waktu bekerja demi menutupi biaya hidup. Percayalah, saya sendiri kadang merasa kuliah di Eropa dengan hanya mengandalkan gaji bulanan di restoran adalah hal paling nekad dan gila yang pernah saya lakukan. Ditambah lagi beban semakin bertambah di masa pandemi ini ketika job market di Norwegia semakin kecil bagi pelajar asing. Sure, kuliah dengan biaya sendiri itu jelas saja memungkinkan dan effort-nya punya value tersendiri di hidup. Struggling-nya luar biasa, membuat kita tak manja, dan tentunya memupuk mental setebal baja. Tapi kuliah dengan bantuan dana beasiswa tentunya adalah hal prestisius yang bisa kamu kejar jika tak mau susah di negara orang! 



05 Oktober 2020

Program Au Pair Selama Pandemi


Tidak hanya satu dua orang pembaca blog yang tiba-tiba DM dan mengeluh betapa susahnya kesempatan mereka jadi au pair di kala pandemi ini. Ada juga yang bertanya apakah karena Korona, program au pair dihilangkan untuk sementara waktu. Satu orang calon au pair yang harusnya berangkat ke Eropa tahun ini, saya dengar aplikasi visanya masih tertahan di Indonesia karena kantor penyedia servis belum buka.

First of all, I feel sorry for them. Karena pandemi global yang sampai detik ini belum menemukan titik terang, kita harus dihadapkan dengan new normal yang sebetulnya juga tak normal. Kegiatan di luar rumah dibatasi, perbatasan imigrasi tertutup untuk orang Indonesia, serta banyaknya penundaan aktifitas fisik di sana-sini demi mengurangi penyebaran infeksi. Tentunya karena perubahan peraturan di semua wilayah di dunia, imbas paling besar terjadi di pintu perbatasan antara negara. Kita tidak bisa seenaknya jalan-jalan ke luar negeri seperti dulu apalagi ke negara bervisa seperti Eropa.

Lalu apa yang terjadi dengan program au pair?

Bagi kalian anak-anak muda di Indonesia yang punya mimpi besar jadi au pair tahun ini, 2020 seems a lost! It sounds bitter, tapi kamu memang harus menunda dulu impian tersebut sampai keadaan dunia memulih. Karena adanya perubahan peraturan imigrasi, host family juga berpikir dua kali untuk menerima au pair yang sekarang masih berada di Indonesia. Contohnya di Norwegia, dari yang tadinya waktu tunggu aplikasi bisa 4 bulan, sekarang semakin panjang menjadi 6 bulan. Belum lagi kamu harus mendatangi kantor pelayanan visa atau kedutaan besar, yang nyatanya sampai sekarang masih tertutup untuk umum. Karena waktu tunggu aplikasi yang panjang inilah, host family enggan menunggu dan lebih memilih para au pair yang sudah berada di Eropa dikarenakan lebih mudah pindah-pindah negara Schengen.

Baca juga: Visa dan Izin Tinggal (Residence Permit), Apa Bedanya?

Program au pair sendiri sebetulnya bersifat sangat independen dan membuka aplikasi sepanjang tahun. Tidak usah takut hanya karena Korona, program ini jadinya dihentikan. Kamu tetap bisa berusaha cari-cari keluarga untuk tahun depan dan berharap keadaan memulih secepat mungkin. So, what I would suggest:


1. Be realistic

Saya tahu mungkin kamu punya resolusi besar untuk secepatnya melangkahkan kaki ke Eropa. Tapi kita juga harus realistis bahwa pandemi sudah mengubah banyak hal sejak awal tahun ini. Semua orang di dunia mengalami masalah serupa; kelas diadakan digital, ruang kantor harus berpindah ke rumah, banyak yang kehilangan pekerjaan, sampai depresi harus beradaptasi dengan rutinitas baru. Bersabar saja, karena masalah ini memang bukan masalah kita seorang. Menunda, bukan berarti harus mengubur mimpi.

Banyak au pair di Eropa yang harusnya tahun ini pulang menjenguk keluarga juga tiketnya terpaksa dibatalkan maskapai, kok, and the sadness level is the same. 


2. Pelajari semua tentang au pair

Banyak anak-anak muda Indonesia yang ingin jadi au pair sebetulnya hanya modal informasi karbitan. Baru baca cerita satu orang au pair di Jerman, lalu langsung ingin mengikuti jejak ke Jerman. Baru mengikuti akun Instagram seorang au pair di Denmark, secepatnya ingin juga ke Denmark. Padahal ada banyak hal yang harus kamu tahu sebelum memutuskan jadi au pair.

Selagi menunggu di Indonesia, ini kesempatan paling bagus untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya dari semua sumber. Pelajari semua hal tentang pengurusan visa, jam kerja, hari libur, uang saku, serta pajak; karena sebelum tanda tangan kontrak, penting sekali untuk tahu hak dan kewajiban mu selama jadi au pair di negara tersebut! Kamu juga bisa dengar atau baca cerita baik dan buruk menjadi au pair, sebagai bekal persiapan mental agar tak selalu menganggap hidup di luar negeri itu indah. Kedengarannya mudah hanya Googling sana-sini, namun nyatanya, saya masih sering sekali dapat pertanyaan masalah aplikasi visa yang informasinya sudah tertulis sangat jelas di situs imigrasi negara tersebut!

Sebagai orang Indonesia yang masih naif dan sering merasa tak enakan setibanya di luar negeri, kamu juga harus melatih diri untuk berani speak up mengatakan tidak dan tegas menuntut hak. Tinggal bersama keluarga baru yang totally strangers, masih sering membuat kita terbawa budaya Asia yang justru bisa jadi bumerang kalau tak berani keluar dari zona nyaman.

3. Berlatih mencari host family

Meskipun tak tahu kapan bisa berangkat, kamu bisa saja berusaha mencari keluarga dari sekarang. Ada banyak sekali situs pencarian dari agensi dan platform gratisan yang bisa jadi modal awal berinteraksi dengan keluarga internasional. Kamu bisa mencoba menulis surat motivasi, membuat profil sebagus mungkin, serta menyertakan foto apik yang cepat menarik perhatian. 

Baca juga: 7 Tips Agar Host Family Melirik Profil Mu

Banyak keluarga yang mungkin saja akan langsung menolak saat tahu keberadaan kita masih berada di Indonesia. Namun jangan patah semangat! Kembali ke poin pertama, kita mesti realistis melihat keadaan! Jadikan hal ini sebagai training dan teruslah mencoba sampai bosan. Bisa saja, tiba-tiba ada satu keluarga berbaik hati yang mau menunggu mu untuk jadi au pair mereka tahun depan!

Walau belum bisa mengurus semua kelengkapan dokumen sekarang, tapi keep in touch saja dengan keluarga tersebut. Bisa saja mereka berubah pikiran untuk tak jadi menerima mu, tapi setidaknya kamu sudah berhasil memenangkan perhatian mereka hingga sampai di tahap ini! Namun, tetap harus waspada karena keluarga penipu di Amerika dan Inggris selalu berkeliaran dimana-mana.


4. Lebih dekat dengan 'luar negeri'

Sebelum bisa tinggal di luar negeri seperti sekarang ini, saya dulu memenuhi rak buku dengan banyak tulisan berbau kehidupan luar negeri. Buku-buku bertemakan travelling murah, novel yang berlokasi di Eropa, serta majalah-majalah bertema kebudayaan asing, adalah beberapa koleksi yang selalu menghibur saat saya bosan. Dengan membaca tulisan tersebutmeski berkali-kali pun, saya selalu diajak berimajinasi merasakan suka duka hidup di negara orang dengan segala keterbatasan yang ada. Padahal saya juga tak tahu kapan bisa menginjakkan kaki ke negara orang seperti para penulis tersebut. Tapi semakin membaca tulisan mereka, semakin membuat saya termotivasi mengobarkan mimpi ke luar negeri!

Sekarang, kamu tak perlu repot-repot berimajinasi lagi karena ada banyak hal digital yang bisa membuat mu lebih dekat dengan negara impian. Contohnya, kamu bisa ikut virtual tour gratisan sampai berbayar, yang diadakan orang Indonesia di luar negeri. Bisa juga ikut webinar eksklusif tentang kuliah di luar negeri, suka duka kehidupan diaspora, cari-cari beasiswa, ataupun informasi kerja setelah jadi au pair di Eropa! 

Baca juga: 7 Alasan Mengapa Sebaiknya Kamu Jadi Au Pair di Kawasan Eropa

Lima tahun lalu, saat memutuskan ingin langsung pindah ke Denmark dari Belgia tanpa pulang dulu ke Indonesia, keputusan saya dihentikan oleh seorang teman. "Nin, pulang saja dulu ke Indonesia. Ketemu keluarga, ketemu teman lama, makan bakso yang banyak, jadikan semuanya seperti terapi sebelum kembali jadi au pair. Eropa itu begini-begini saja. Mau kamu ke Eropa lima tahun kemudian pun, tetap akan sama," katanya bijak saat itu.

She was right! Eropa setelah lima tahun kemudian ya masih begini-begini saja. Menara Pisa masih miring di Roma, tulip masih jadi ikon Belanda, Nyhavn di Kopenhagen belum ganti warna, Aurora Borealis masih menari-nari di langit utara, dan cowok-cowok Swedia gennya masih tetap unggul 😍!  Yang artinya, jadi au pair tahun ini atau tahun depan juga tak masalah karena semua negara masih membuka kesempatan seluas mungkin untuk kita! Tak akan ada perubahan mendadak di Eropa hanya karena kamu telat au pair satu tahun pun. 

Last words, be patient and be safe in Indonesia!



emerge © , All Rights Reserved. BLOG DESIGN BY Sadaf F K.