Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2018

Belajar Bahasa Asing dengan Anak-anak

Dari awal sebelum datang ke Belgia, saya memang sudah berasumsi bahwa au pair adalah pertukaran budaya antara kita dan keluarga angkat . Dalam ajang pertukaran budaya ini juga, au pair diberikan kesempatan belajar bahasa lokal untuk memudahkan komunikasi sehari-hari dengan host kids dan lingkungan sekitar. Apalagi di Prancis yang kebanyakan penduduknya tidak bisa bahasa Inggris. Sadar akan tinggal dengan keluarga multibahasa, saya rela beli buku pelajaran bahasa Belanda dan Prancis dari Kesaint Blanc sebagai modal awal 6 bulan sebelum keberangkatan. Meskipun banyak orang Belgia Utara paham bahasa Inggris, tapi saya tidak ingin terperangkap di zona nyaman hanya karena bisa bahasa tersebut. Kalau bisa, saya ingin meminimalisir penggunaan bahasa Inggris di rumah, terutama dengan anak-anak. Setiap hari saya pelajari buku-buku tersebut secara otodidak dan memutar CD materinya. Sangat menyenangkan, apalagi sebenarnya saya memang suka belajar bahasa asing . Enam bulan belajar tentu

Cari Kerja di Eropa

Sudah 3,5 tahun saya bekerja sebagai au pair dan tinggal di 3 negara berbeda di Eropa. Menyenangkan? Iya. Saya bisa hijrah ke luar negeri, dapat uang saku, jalan-jalan, bertemu teman internasional , dan mempelajari budaya lokal. Tapi au pair bukanlah pekerjaan menjanjikan. Kontraknya pun hanya berkisar 12-24 bulan saja. Setelahnya, kita harus pulang ke Indonesia atau lanjut ke negara lain jika masih berniat mengasuh anak orang. Selain sifatnya antara paruh pekerja dan paruh pelajar, umur pun jadi kendala. Ya wajar, karena au pair sebetulnya bukan ajang cari uang dan jenjang karir, tapi pengalaman. Batas maksimum umum au pair hanya 30 tahun — di beberapa negara bahkan hanya sampai 26 tahun, karena memang pekerjaan ini diperuntukkan untuk anak muda. Meskipun setelah selesai kontrak di Norwegia usia saya masih di bawah 30 tahun, namun saya enggan jadi au pair lagi di negara lain.  That's enough!  Lima tahun sudah,  please!  Kalau pun masih ingin tinggal di Eropa lebih lama, saya

The Norwegian Host Family

This is the aim of being an au pair, cultural exchanging. Dari tinggal bersama keluarga lokal, kita banyak tahu bagaimana kebiasaan si keluarga tersebut mewakili stereotipe masyarakat di negaranya. Orang Norwegia terkenal  outdoorsy alias pecinta alam. Tidak peduli hujan, mendung, panas, atau bersalju, mereka tetap tahu bagaimana menikmati aktifitas luar ruangan. Sama halnya seperti keluarga angkat saya yang sekarang, super aktif. Kalau ingin tahu bagaimana the real Norwegians , lihatlah keluarga saya! Mulai dari olahraga ski, renang, mountain biking, jogging, sampai hiking , mereka jagonya. Saya kadang tidak habis pikir bagaimana nenek moyang orang Norwegia mengajarkan keturunan mereka untuk terus aktif. Mungkin karena beruntung tinggal di negara kaya dan cantik, makanya orang Norwegia tidak melewatkan kesempatan menikmati alam fantastis saat musim apapun.

Bunny, Bukan Cowok Impresif

Jumat malam, ceritanya saya sedang ngidam makan Kebab. Entah apa alasannya, saya terbayang-bayang daging domba empuk dan enak dibungkus dengan roti dan salad. Tahu Bunny hampir selalu available , saya menghubungi doi yang unsurprisingly memang sedang free . Friday night , jauh-jauh ke Kopenhagen cuma cari Kebab. Karena rumahnya Bunny tak jauh dari Nørrebro, kami sepakat mencari kedai Kebab yang masih buka hingga tengah malam di sekitar situ. Banyak sebetulnya. Apalagi distrik ini termasuk daerah ghetto yang paling banyak imigran Muslim. Kedai Kebab dan supermarket halal dimana-mana. Tapi sekali ini saya minta tolong Bunny menemukan tempat terenak, bukan kedai 'abal-abal'. Entah kalian ya, tapi menurut saya Kebab di Denmark paling enak. Apalagi kedai yang ada di Lyngby, legendaris sekali! Kenapa saya katakan enak, karena saya pernah mencoba yang 'asli' di Turki tapi hambar. Di Jerman, hanya menang besar tapi biasa aja. Di Oslo, apalagi! Mahal tapi mengecewakan.

Review Penerbangan Turkish Airlines Kelas Ekonomi Oslo-Istanbul

Akhirnya saya bisa menginjakkan kaki di Turki, negara yang sejak dua tahun lalu selalu ada di top wishing list . Tidak hanya Cappadocia yang selalu membuat saya penasaran, tapi juga mencoba maskapai kebanggaan mereka, Turkish Airlines. Cukup sering saya dengar reputasi baik Turkish Airlines, mengingat maskapai ini sering dijadikan pilihan saat mengunjungi Eropa atau Amerika via Istanbul. Tahun 2016, Turkish Airlines juga dinobatkan sebagai maskapai dengan in-flight catering terbaik. Wah, semakin membuat saya ingin terbang secepatnya dari Eropa ke Istanbul. Sewaktu masih di Denmark, travelling ke Istanbul dari Kopenhagen sebetulnya tidak harus menggunakan Turkish Airlines. Ada beberapa maskapai low cost lain yang bisa dijadikan pilihan, seperti Pegasus Airlines atau Aegean Airlines (via Athena). Tiket PP paling murah yang pernah saya dapat dari Kopenhagen sekitar 900 DKK (1,8 jutaan Rupiah) saat low season menggunakan Turkish Airlines.

Mengapa Saya Menulis Blog

Ini blog header  tahun 2014 saat masih di Belgia. Belum ada rencana lanjut ke Denmark saat itu, tapi saya merasa sudah sangat suka dengan Eropa Utara. Sebenarnya saya sudah mengenal blogging sejak tahun 2005. Namun blog pertama baru dibuat 5 tahun kemudian karena kewajiban tugas mata kuliah IT. Dulu yang saya tahu, blog hanya dijadikan tempat curhat menumpahkan isi hati dan pikiran. Tapi karena saya anaknya tidak terlalu suka curhat, miskin ide, dan tidak tahu apa yang harus ditulis, postingan blog pertama hanyalah berisi gambar-gambar artis Korea. Itu pun setelahnya terbengkalai karena mata kuliah IT kelar. Beberapa tahun berikutnya, saya termotivasi menulis lagi dengan tema dan domain yang berbeda. Saat itu saya sedang giat-giatnya belajar bahasa asing dan bermimpi untuk keliling dunia. Makanya kalau kalian liat postingan awal blog ini, isinya sedikit random. Mulai dari tips belajar bahasa asing sampai sesuatu berbau luar negeri. Pertama membuat nama pun harus berpikir pa