Langsung ke konten utama

Obrolan Para Diaspora Tentang Izin Tinggal


Suatu hari, lima orang imigran yang punya latar belakang berbeda berkumpul di satu meja membahas politik Norwegia. Empat dari mereka sebut saja Ana, Bao, Choi, dan Dee. Percakapan ini diawali dari sebuah pertanyaan tentang "apa fungsi ganti WN Norwegia?" ketika jawaban yang selalu dilontarkan hanyalah "ohh, kamu bisa dapat hak suara saat pemilu" atau "ohh, kamu bisa jalan-jalan ke banyak negara tanpa mengajukan visa"  visa ke Amerika maksudnya. Lama-kelamaan topik tak menarik lagi, obrolan berganti tentang status izin tinggal masing-masing.

Ana sedang proses memperbarui izin tinggal keluarga (reunification family) karena menikah dengan warga lokal. Bao sedang riset tentang job seeker permit karena masa studinya akan segera berakhir. Choi sedang berbahagia akan segera mengajukan izin tinggal permanen. Dee sudah cukup secured di Norwegia namun masih pusing akan mendaftarkan anak ke penitipan yang mana, mengingat antrian selalu panjang. Lalu yang kelima, saya sendiri, masih memegang izin tinggal bekerja yang berlaku sampai tahun depan.


"You know what, if you want to know the real struggle of finding your way to live in Norway, ask her," kata Ana sambil menunjuk Bao yang sekarang masih studi di Norwegia. "Or if you want to know the real pain of waiting (for the decision), ask me!" lanjut Ana sambil tertawa.

Ana baru 1,5 tahun tinggal di Norwegia karena menikah dengan warga lokal. Status izin tinggal pertamanya hanya berlaku setahun dan sekarang sedang proses memperbarui. Yang saya tahu, Ana sudah menunggu lebih dari 8 bulan namun belum juga dapat jawaban dari imigrasi. Norwegia terkenal punya waktu tunggu imigrasi yang lamban, apalagi untuk jenis izin tinggal keluarga yang bisa memakan waktu berbulan hingga bertahun-tahun. Beberapa orang bahkan pernah menunggu hingga 2,5 tahun lamanya sebelum izin tinggalnya keluar dan bisa berkumpul dengan pasangan di Norwegia. Ada juga yang cukup beruntung, misalnya Dee yang 3 bulan saja sudah dapat persetujuan. Kami berasumsi, kemungkinan dapat lebih cepat karena bukan menikah dengan orang lokal. Such a long wait, apalagi kalau butuh wawancara dan penelitian lebih lanjut! Maklum, pihak imigrasi ingin memastikan bahwa tak adanya intensi tertentu, seperti kawin kontrak karena hanya ingin dapat green card.

Cerita lainnya, Bao, seorang mahasiswi yang datang ke Norwegia untuk melanjutkan studi Master di salah satu kampus di Oslo. Melihat Norwegia punya potensi membangun kehidupan baru, Bao memutuskan untuk mencari kerja selulus kuliah. Karena masa studi akan berakhir musim panas ini, selain menyelesaikan tesis dan kerja paruh waktu, Bao juga sibuk cari kerja penuh waktu dan riset tentang izin tinggal pencari kerja (job seeker permit). Mengikuti pengalaman hidup Bao, saya jadi ingat kisah hidup sendiri yang sama-sama mandiri datang ke Norwegia lewat jalur non pasangan. The struggle is real, Kawan!


Masing-masing izin tinggal tentu punya struggle berbeda, namun ada yang punya banyak kelebihan. Contohnya izin tinggal keluarga karena ikut pasangan atau anak. Meski izin tinggal ini dinilai ribet diawal karena butuh banyak dokumen dan proses menunggu yang lama, namun statusnya paling kuat di Norwegia, apalagi jika punya pasangan orang lokal. Ada banyak benefit yang tak semua pemegang izin tinggal lain bisa dapatkan. Misalnya, bantuan cari kerja dan subsidi dari badan ketenagakerjaan, kesempatan kursus bahasa gratis, bisa kuliah gratis, ambil pinjaman dari pemerintah, dan juga fleksibilitas kerja apa saja tanpa harus merujuk ke latar belakang pendidikan. Tak sampai di situ, pemegang izin tinggal keluarga karena menikah atau punya anak dengan warga lokal juga sudah bisa mengajukan permanent residence (PR) dalam waktu 3 tahun saja. 

Berbeda halnya dengan pemegang izin tinggal belajar (study permit) dan bekerja (work permit) yang punya lika-liku lebih berat. Mengapa saya katakan lebih berat, karena pemegang izin tinggal ini punya persyaratan yang lebih ketat dan tak punya benefit yang sama dengan pemegang izin tinggal keluarga. Yang berat, kedua izin tinggal tersebut wajib mengandalkan diri sendiri untuk bertahan hidup di Norwegia karena tak punya penjamin. Misalnya, izin tinggal belajar hanya dikeluarkan untuk para pelajar yang belajar penuh waktu di beberapa kampus yang diakui  bukan karena ikut kursus bahasa di lembaga bahasa. Waktu berlakunya pun hanya satu tahun dan harus diperbarui tiap tahunnya jika masih ingin lanjut sekolah sampai lulus. Selain biaya aplikasi yang tak murah, pelajar selalu dibuat pusing dengan syarat duit jaminan yang selalu naik setiap tahun. Masalahnya, para pelajar yang tak disokong dana orang tua atau beasiswa wajib punya penghasilan tambahan untuk bisa menyokong finansial pribadi. Triple pusing, karena selain harus sekolah dan kerja, mereka juga harus memperbarui izin tinggal tiap tahun. Di akhir masa studi pun, mereka harus memutar otak lagi untuk cari kerja secepatnya jika ingin tinggal di Norwegia lebih lama.

Lalu tibalah saat pergantian izin tinggal selulus kuliah ke job seeker permit atau work permit yang persyaratannya tambah ketat. Meski tak perlu sponsor dari perusahaan, namun dapat posisi untuk pekerjaan ahli juga tak mudah. Pekerjaan yang diwajibkan harus punya minimum gaji serta tugas yang sesuai dengan kompetensi dan latar belakang pendidikan. Pelayan, penjaga toko, atau guru TK tak masuk dalam daftar pekerjaan ahli ini. Banyak juga yang setelah satu tahun cari kerja tetap kurang beruntung hingga harus meninggalkan negara ini selamanya.


Pemegang izin tinggal bekerja sebetulnya selalu was-was karena status mereka di Norwegia sangat bergantung dengan pekerjaan. Rasa khawatir semakin memuncak ketika Norwegia semakin gencar mem-PHK pekerja asing. Sekalinya kehilangan pekerjaan, mereka hanya diberikan waktu 6 bulan cari pekerjaan baru dan sama sekali tak dapat benefit apapun dari negara  layaknya pemegang izin tinggal keluarga yang bisa dapat subsidi bulanan dari pemerintah. Saya pernah membaca cerita seorang imigran India yang hoki dapat pekerjaan bagus dan membawa keluarganya ikut serta, namun sangat tidak beruntung saat Norwegia krisis minyak beberapa tahun lalu. Keluarga yang merasa kehidupan mereka akan baik-baik saja, nekad membeli rumah dan mobil untuk menyongsong masa depan yang lebih cerah. Sayang, baru dua tahun bekerja, si bapak di-PHK dan tak mampu menemukan pekerjaan baru dalam waktu 6 bulan. Nasib baik akhirnya tak memihak dan sekeluarga harus pulang ke kampung halaman.

"No wonder banyak yang menyarankan cari orang lokal dan ganti izin tinggal, kan?!" goda Choi.

Benar, tak sekali dua kali saya mendengar saran menjadikan pasangan sebagai tambatan untuk tinggal lebih lama di Norwegia. Bahkan sebelum lulus kuliah, saya sudah disarankan untuk menikah dan hidup bahagia saja tanpa perlu pusing memikirkan izin tinggal. It's an easy way out karena yang pusing memenuhi persyaratan adalah si pasangan, bukan kita!

"Mungkin orang-orang harus lebih cerdas mengamati banyak konten di media sosial luaran sana. Seringkali ada yang mempromosikan tentang nyamannya slow living di luar negeri, tapi faktanya mereka sudah bisa hidup tenang karena punya pasangan sebagai penjamin. Beda halnya dengan Bao yang hidupnya setiap hari sekolah dan memikirkan visa, sampai tak bisa lagi hidup slow," kata Ana yang sadar tentang privilese dirinya sejak menikah dengan orang lokal.

"Saking capeknya memikirkan bagaimana bisa membangun karir dan tinggal lama di Norwegia, saya tak punya waktu membuat konten seperti banyak orang," aku Bao.

Jadi ingat pernah membaca salah satu cuitan seorang imigran yang katanya sudah enggan hidup neko-neko dan nir ambisi menjalani hari-hari. Saat itu banyak yang merasa terinspirasi dan ingin mengikuti jejaknya pindah ke luar negeri mengembala domba di perbukitan hijau Eropa. Setelah tahu latar belakang si imigran, saya jadi paham mengapa dia bisa hidup senyaman itu tanpa perlu ambisi mengejar karir lagi. Saya setuju dengan Ana yang tak asal ngiler dengan kehidupan para influencer di luar negeri sebelum tahu latar belakang mereka dulu. 

"Saya dan Ana adalah dua dari banyak imigran yang punya privilese di negara ini. Kami memang tak kaya, tapi setidaknya bisa hidup nyaman. Saking banyaknya benefit yang didapat, saya kadang lupa bahwa tak semua imigran punya hak yang sama. Pernah satu hari teman sebangsa yang baru lulus kuliah curhat ke saya tentang hidupnya yang kelabu. Tanpa pernah riset dan asal bunyi, saya hanya menyarankan dia kerja di restoran atau minta kerja dari NAV (badan ketenagakerjaan di Norwegia). I know nothing about this study and all," tambah Choi.

Sebagai observer, tak banyak diaspora seperti Ana dan Choi yang sadar dengan privilese yang mereka punya. Ibaratnya, perjalanan mereka di Norwegia sudah dimulai di angka 5, sementara kami para pemegang izin tinggal lain harus memulai di angka yang lebih rendah. Bahkan saya merasa para au pair yang baru mau mengubah nasib harus berada di angka 0 atau -2 dulu.

"Tak mudah jika jalannya harus berliku. Misalnya dari au pair, kuliah, lalu baru cari kerja. Ada banyak orang Filipina yang saya kenal tadinya au pair lalu sekolah bertahun-tahun, tapi masih sulit juga dapat kerja permanen. Ada juga karena sudah punya kompetensi mumpuni dari negara asal, beruntung bisa cepat dapat kerja kantoran atau jadi perawat. Sisanya, harus memulai perjalanan panjang dulu sebelum akhirnya lega bisa tinggal lama," kata saya menambahkan.

"...dan menyarankan orang untuk cari pasangan karena hanya ingin stay longer sounds annoying. Sorry to say," kata Bao yang cukup idealis. "As if I couldn't stand on my own," tambahnya lagi.

"No, there's nothing wrong punya pasangan orang lokal, dapat banyak benefit, dan memulai langkah dari angka 6. Ada banyak yang setelah menikah, semakin termotivasi untuk lanjut sekolah dan punya pekerjaan lebih baik. That's so okay to lean on your partners, Ladies! Sangat oke juga memulai langkah dari 0 dan tak mau bergantung dengan siapapun. Faktanya, ada banyak kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, hingga hal-hal tak terduga dengan pasangan yang membuat kita tak bisa bergantung selamanya ke mereka," jawab Choi.

Idealisme Bao dan realisme Choi sebetulnya tak perlu diperdebatkan, namun bisa jadi sebuah topik menarik untuk didiskusikan. Sebuah jurnal yang saya baca tentang proses integrasi, mengatakan bahwa posisi imigran perempuan di luar negeri memang kurang dapat perhatian karena selalu berada di bayangan pasangan. Perempuan yang bisa tinggal di luar negeri karena dilatarbelakangi pekerjaan ahli memang masih jarang, sehingga memberikan anggapan bahwa mereka sulit berdiri sendiri. Pun, anggapan ini lebih sering memposisikan perempuan yang bekerja di luar negeri sebagai pekerja kerah biru. 

Misalnya, saya pernah membaca cerita seorang perempuan Indonesia yang sedang S3 di Eropa dan membawa keluarganya ikut serta. Saat ditanya orang, banyak yang berasumsi bahwa beliaulah yang ikut suami bekerja dan hanya sibuk mengasuh anak di rumah. Padahal yang terjadi sebaliknya, si istri yang cari uang dan suami jadi bapak rumah tangga. "Yang kerja sebetulnya istri, saya ke sini ikut saja," jawab si suami saat seringkali ditanya orang sedang bekerja atau kuliah dimana.

Sebuah cerita perempuan mandiri lain datang dari seorang mantan au pair Filipina yang sekarang jadi lektor di salah satu kampus Norwegia. Perjalanannya yang panjang dimulai dari jadi au pair hingga bisa lanjut S2, S3, lalu Postdoctoral. Tak sama seperti gambar yang terbangun di media sosial, tak ada realita yang sempurna. Perjuangan orang Filipina ini untuk sekolah tinggi juga beragam, mulai dari kekurangan uang saat ingin lanjut S2, hingga selalu tak dapat tawaran saat ingin lanjut S3. Membaca kisahnya memang sungguh inspiratif, apalagi kami sama-sama memulai cerita dari au pair. Dalam sebuah wawancara, dia membeberkan bahwa seringkali imej wanita sukses di luar negeri dikaitkan dengan keberadaan pasangan yang mendorong karirnya melesat. Padahal, ada banyak perempuan di luar negeri yang gigih, well-educated, dan punya karir bagus karena kompetensinya sendiri.

Imej orang Filipina di Norwegia juga seringkali buruk, sehingga tak sedikit para au pair mencoba memutus stereotipe tersebut. Contohnya, lebih baik sekolah lama ketimbang selepas au pair langsung menikah dan dianggap benalu. 


"Saya rasa, mau apapun jenis izin tinggalnya, selalu ada orang-orang yang beruntung dan kurang beruntung. Saya tahu ada yang rela tak bercerai dengan pasangannya walau sudah dipukuli berkali-kali, hanya karena tak ingin lari dari negara ini. Juga, ada yang mesti memulai semuanya dari 0 tanpa punya sponsor namun punya kisah hidup lebih inspiratif. Semuanya the real fighters, menurut saya. Tapi memang tak semua punya kesempatan untuk kuliah atau bekerja dulu. Kadang seperti saya yang dibawa suami ke sini, sekolahnya baru bisa belakangan," kata Dee.

"Setuju! Jangan salah, kami yang sudah menikah dan punya anak ini juga sering kesepian dan punya persoalan rumah tangga sendiri-sendiri, lho! Dulu kadang merasa minder dengan para pekerja dan pelajar yang sibuk dengan hal-hal profesional dan akademis, sementara saya hanya di rumah belum bisa bekerja. Kesepian, lelah batin, kangen pulang," tambah Choi.

Saya setuju bahwa setiap imigran punya masalahnya masing-masing, terutama masalah generik seperti kesepian dan kangen rumah. Namun memang ada rasa gelisah berlebihan yang cuma para pelajar dan pekerja rasakan, tapi tidak bagi yang ikut pasangan. Juga, saya setuju bahwa cerita para istri atau suami yang ikut pasangannya di luar negeri bisa memberi sudut pandang lain yang kadang lebih relevan untuk orang banyak. In the end, pemerintah Norwegia sebetulnya juga cukup ketat mewajibkan para pemegang izin tinggal keluarga bisa cari nafkah sendiri dan tak menjadikan anak sebagai alasan untuk leha-leha di rumah.



Komentar

  1. Hei. Salam kenal ya. Ga sengaja ketemu blog ini gara2 search tentang bunad! Tulisanmu bagus2 banget 👍

    Sharing dikit, tentang pemegang temporary visa ga dapat dagpenger, itu memang unfair. Sebelom oljekrise 2015an semua berhak dapet dagpenger. Waktu itu memang ngeri banget, di Stavanger mungkin lewat dari setengah diantara kami yg kerja di oil industry kena PHK. Makanya terus NAV nerjemahin "pasal karet" :mau ambil kerjaan apapun demi dagpenger; jadi: ngga boleh sekedar punya temporary work visa karena terikat ke employer. Ini saking banyaknya orang Lena PHK. Domino efek jg kan ke industri lain.

    Cerita lain lagi. Aku sempat pegang visa reunification dulu selama bbrp tahun awal peralihan dari visa student ke PR. Anehnya justru aku dapat PR duluan daripada suamiku 😅 Dia malas norskkurs. Dulu gampang banget dapat PR. Cuman perlu stay 3 tahun + A2. Lebih dulu lagi (sebelom 2005) bahkan nggak perlu syarat bahasa sama sekali.

    Kesimpulannya, over the time memang kayaknya gov. makin enggak "immigrants friendly".

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tengkyu banget udah mampir dan ninggalin jejak!!

      Makasih juga udah sharing pengalamannya di Norwegia bahkan jauh sebelum itu. Karena akunya juga pernah di-PHK namun gak bisa dapet apa2, makanya aku merasa gak adil bangeeettt!! Padahal sama2 bayar pajak, tapi gak bisa dapet apapun - bahkan gak boleh kerja low-skilled dan hanya dikasih waktu 6 bulan buat cari kerjaan baru.

      Memang makin ke sini, makin pengen ngurangin jumlah imigran kayaknya. Persyaratan makin diperketat, biaya aplikasi makin mahal, dan waktu tunggunya lama banget.

      Hapus
  2. Ah.. tentang itu ada cerita lain lagi. Jadi bertahun2 setelah aku dapet PR, suamiku tetap stay dg working visa. Dan ajaibnya pertama2 dikasi agak panjang kan, sekitar 2 apa 3 tahun, terakhir2 dikasi 1 tahun doang! Engep banget kan kalo may planning2 liburan, mana makin mahal fee-nya. Pas dia komplain knp cuman dapat 1 tahun petugasnya justru nanya balik: Kamu sendiri kenapa enggak apply PR aja, tanpa ngasi jawaban lain.

    At the end memang secara tidak langsung, lepas dari masalah dagpenger, kita dipaksa jadi PR (atau bahan citizen) 😆

    Kata teman, orang2 yg kerja bust UDI itu rata2 orang yg kepepet, ngga boss dapat kerjaan lain. Dan mereka emang sebisnya ngga lama2 di UDI. Makanya kali kamu kesal dg kinerja mereka, percayalah kamu nggak sendirian.

    Nah masalahnya, yg kesal sama UDI ini cuman para imigran, yg notabene ga punya hak suara. Setelah mereka jd citizen n punya hak suara, udah lupa2 dia sama UDI. Makanya agak mustahil UDI bs lebih bagus 😂

    BalasHapus
    Balasan
    1. Menarik banget ceritanya! Makasih udah sharing :)

      Tapi yang soal PR itu menurut ku make sense banget sih. Kan memang syarat utk jadi PR cuma butuh 3th dari WP ya. Kenapa dikasih cuma 1th setelahnya, karena sebetulnya imigrasi juga kayak ngasih opsi biar kita bisa cepet2 PR aja gak sih? Secara benefit pun, lebih enakan pegang PR ketimbang masih WP. Tapi jadinya lucu juga ya, malah dianjurkan utk ambil PR aja ketimbang perbaruan WP lagi. Jatuhnya kayak "pemaksaan" xD

      Kalo aku sebetulnya biasa aja sama kinerja UDI karena selama ini emang gak pernah punya masalah aneh2. Ya, paling nunggu doang tanpa kepastian. Cuma emang sering denger dari yg lagi ngajuin reunification family itu, mereka sering was2. Mana lama pulak nunggunya.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bule Ketemu Online, Bisakah Serius?

( PERHATIAN!!! SAYA BANYAK SEKALI MENERIMA TESTIMONIALS SOAL COWOK-COWOK DARI INGGRIS YANG MEMINTA ALAMAT SI CEWEK YANG DIKENAL VIA ONLINE. FYI , HAMPIR SEMUA MODUS PENIPUAN SEPERTI INI BERASAL DARI INGGRIS DAN AMERIKA! JANGAN PERNAH TERTIPU KEMASAN KULIT PUTIHNYA, KARENA BISA JADI YANG KALIAN AJAK CHATTING -AN ATAU VIDEO CALL -AN ITU ADALAH PENIPU !! JANGAN PERNAH BERI DATA DIRI SEPERTI NAMA LENGKAP, ALAMAT, SERTA NOMOR IDENTITAS ATAU KARTU KREDIT KE ORANG-ORANG ASING LEWAT DUNIA DIGITAL! BE SMART, BE AWARE, AND PLEASE JANGAN DULU BAPERAN KALO ADA YANG MENGAJAK NIKAH PADAHAL BARU SEMINGGU KENAL!!!) Selain berniat jadi au pair, ternyata blog saya banyak dikunjungi oleh cewek-cewek Indonesia yang ingin pacaran atau sedang dekat dengan bule. Gara-gara tulisan tentang cowok Eropa dan cowok Skandinavia , banyak pembaca blog yang mengirim surel ke saya dan curhat masalah cintanya dengan si bule. Aduh, padahal saya jauh dari kata "ahli" masalah cinta-cintaan. Saya sebetu

Mempelajari Karakter Para Cowok di Tiap Bagian Eropa

*I talk a lot about European boys in this blog, but seriously, this is always the hottest topic for girls! ;) Oke, salahkan pengalaman saya yang jadi serial dater  selama tinggal di Eropa. Tapi gara-gara pengalaman ini, saya juga bisa bertemu banyak orang baru sekalian mempelajari karakter mereka. Cowok-cowok yang saya temui ini juga tidak semuanya saya kencani. Beberapa dari mereka saya kenal saat workshop, festival, ataupun dari teman. Beruntung sekali, banyak juga teman-teman cewek yang mau menceritakan pengalamannya saat berkencan dari cowok ini, cowok itu, and all of them have wrapped up neatly in my head! Secara umum, tulisan yang saya ceritakan disini murni hasil pengalaman pribadi, pengalaman teman, ataupun si cowok yang menilai bangsanya secara langsung. Letak geografis Eropanya mungkin sedikit rancu, tapi saya mengelompokkan mereka berdasarkan jarak negara dan karakter yang saling berdekatan. Kita semua benci stereotipe, tapi walau bagaimana pun kita tetaplah bagi

7 Kebiasaan Makan Keluarga Eropa

Tiga tahun tinggal di Eropa dengan keluarga angkat, saya jadi paham bagaimana elegan dan intimnya cara makan mereka. Bagi para keluarga ini, meja makan tidak hanya tempat untuk menyantap makanan, tapi juga ajang bertukar informasi para anggota keluarga dan pembelajaran bagi anak-anak mereka. Selain table manner , orang Eropa juga sangat perhatian terhadap nilai gizi yang terkandung di suatu makanan hingga hanya makan makanan berkualitas tinggi. Berbeda dengan orang Indonesia yang menjadikan meja makan hanya sebagai tempat menaruh makanan, membuka tudung saji saat akan disantap, lalu pergi ke ruang nonton sambil makan. Selama tinggal dengan banyak macam keluarga angkat, tidak hanya nilai gizi yang saya pelajari dari mereka, tapi juga kebiasaan makan orang Eropa yang sebenarnya sangat sederhana dan tidak berlebihan. Dari kebiasaan makan mereka ini juga, saya bisa menyimpulkan mengapa orang-orang di benua ini awet tua alias tetap sehat menginjak usia di atas 70-an. Kuncinya, pola

First Time Au Pair, Ke Negara Mana?

Saya ingat betul ketika pertama kali membuat profil di Aupair World, saya begitu excited memilih banyak negara yang dituju tanpa pikir panjang. Tujuan utama saya saat itu adalah Selandia Baru, salah satu negara impian untuk bisa tinggal. Beberapa pesan pun saya kirimkan ke host family di Selandia Baru karena siapa tahu mimpi saya untuk bisa tinggal disana sebentar lagi terwujud. Sangat sedikit  host family dari sana saat itu, jadi saya kirimkan saja aplikasi ke semua profil keluarga yang ada. Sayangnya, semua menolak tanpa alasan. Hingga suatu hari, saya menerima penolakan dari salah satu keluarga yang mengatakan kalau orang Indonesia tidak bisa jadi au pair ke Selandia Baru. Duhh! Dari sana akhirnya saya lebih teliti lagi membaca satu per satu regulasi negara yang memungkinkan bagi pemegang paspor Indonesia. Sebelum memutuskan memilih negara tujuan, berikut adalah daftar negara yang menerima au pair dari Indonesia; Australia (lewat Working Holiday Visa ) Austria Amerika

Guide Untuk Para Calon Au Pair

Kepada para pembaca blog saya yang tertarik menjadi au pair, terima kasih! Karena banyaknya surel dan pertanyaan tentang au pair, saya merasa perlu membuat satu postingan lain demi menjawab rasa penasaran pembaca. Mungkin juga kalian tertarik untuk membaca hal-hal yang harus diketahui sebelum memutuskan jadi au pair  ataupun tips seputar au pair ? Atau mungkin juga merasa tertantang untuk jadi au pair di usia 20an, baca juga cerita saya disini . Saya tidak akan membahas apa itu au pair ataupun tugas-tugasnya, karena yang membaca postingan ini saya percaya sudah berminat menjadi au pair dan minimal tahu sedikit. Meskipun sudah ada minat keluar negeri dan menjadi au pair, banyak juga yang masih bingung harus mulai dari mana. Ada juga pertanyaan apakah mesti pakai agen atau tidak, hingga pertanyaan soal negara mana saja yang memungkinkan peluang kerja atau kuliah setelah masa au pair selesai. Oke, tenang! Saya mencoba menjabarkan lagi hal yang saya tahu demi menjawab rasa penasar