Langsung ke konten utama

Stop Susah, Ada Beasiswa!


Awal tahun lalu saat pulang ke Palembang, saya bertemu dengan om ipar yang dulu sempat menyelesaikan S2 dan S3-nya dengan beasiswa DAAD dari pemerintah Jerman. Si om ini memang tipikal orang yang mengedepankan pendidikan tinggi sampai anaknya pun didorong mati-matian agar nanti dewasanya bisa jadi 'orang'. Dari sebelum lulus skripsi sampai sekarang, saya akui, beliau punya perhatian yang cukup tulus dengan perkembangan pendidikan saya. He cares more than my mom! Sebetulnya kadang segan (baca: malas) kalau sudah bertemu beliau, karena orangnya cenderung idealis dan pushy.

Dari sebelum lulus kuliah S1, saya terus dirayu untuk mendaftar beasiswa LPDP. Tapi apa daya, saat itu saya belum cukup mental dan uang untuk tes IELTS/TOEFL. Pilihan jadi au pair ke Belgia pun saya pilih karena ingin istirahat dulu selepas lulus S1. Tak berhenti sampai di situ, si om yang tahu saya akan ke Belgia lagi-lagi menyarankan mencari beasiswa Master dari pemerintah setempat, semisal VLIR-UOS. Untungnya saya masih punya alasan untuk tak ingin lanjut S2 dulu, karena program dari beasiswa tersebut juga tak ada yang cocok dengan minat saya.

Mendengar saya akhirnya lanjut S2 di Norwegia dengan biaya sendiri sekarang, beliau menyayangkan keputusan tersebut. Beliau kembali menyarankan untuk mengecek program dari LPDP yang mungkin saja tersedia untuk mahasiswa yang sudah on-going kuliah. Yang tentu saja, tidak ada.


"Aduh, Nin, sayang sekali. Kalau ada beasiswa, setidaknya bisa fokus sepenuhnya kuliah tanpa capek-capek kerja part-time di luar," kata beliau saat itu.

Awalnya saya tak mengindahkan ucapan tersebut. Apa salahnya dengan kerja paruh waktu? Bukankah lebih baik punya kesempatan kerja di luar sekalian bisa bersosialisasi? Tempat kerja juga bisa jadi ajang memperluas networking dan melatih bahasa asing, kan? Apa tidak bosan hanya punya circle pertemanan satu kelas (atau mungkin justru, hanya tahu komunitas orang Indonesia) saja?

Hingga akhirnya, saya paham mengapa bagi mahasiswa berkantong pas-pasan seperti saya ini memang sebaiknya kuliah pakai beasiswa! Bukan berarti kuliah di luar negeri hanya milik orang kaya dan orang pintar saja. Namun sesungguhnya, perjuangan hidup di negara orang itu memang tidak mudah, apalagi di negara mahal seperti Norwegia. Dengan dana beasiswa, setidaknya kita sedikit terbantu dalam menopang biaya studi ataupun biaya hidup.

Baca juga: Berburu Student Job Tanpa Lelah (Bagian 1)

Sejak pandemi ini, saya merasakan sendiri bahwa hidup mahasiswa asing yang harus kuliah di luar negeri dengan biaya sendiri jadi berkali-kali lipat sulitnya. Biaya sendiri ini maksud saya bukan biaya orang tua atau bantuan sponsor, ya. Tapi murni biaya kuliah dan biaya hidup yang kamu topang hanya dari hasil kerja paruh waktu, tanpa bantuan keluarga sedikit pun. Contohnya di Oslo, kebanyakan mahasiswa asing yang kuliah dengan biaya sendiri biasanya mencari nafkah dengan kerja paruh waktu jadi pelayan, loper koran, atau tukang bersih-bersih. Di bulan Maret, pemerintah serentak menutup pintu perbatasan dan memberi himbauan untuk menutup banyak restoran dining-in sebagai aksi mengurangi infeksi virus. Hal ini jelas saja membuat banyak mahasiswa asing depresi karena terpaksa harus dirumahkan tanpa mendapat uang sepeser pun. Beruntung bagi yang dirumahkan, lalu masih bisa kembali bekerja. Tak sedikit mahasiswa asing yang kehilangan pekerjaan hingga harus 'mengemis' makan di Fattighuset (poor house).

Sebuah postingan di grup Facebook mahasiswa internasional di Oslo memuat cerita seorang mahasiswa yang sampai sekarang masih struggling menafkahi diri sendiri dari mahalnya biaya hidup. Beragam komentar yang memberi semangat, saran, dan rekomendasi tentunya menjadi penguat batin tersendiri bagi si penulis. Meskipun tak sampai harus cari makan ke Fattighuset, namun hingga sekarang, saya juga sebetulnya masih berusaha keras menutupi biaya hidup sehari-hari karena tabiat on-off dari employer. Gaji saya bekerja yang jumlahnya tak seberapa pun sudah 3 bulan belum dibayar. It adds up another stress to me karena mesti bolak-balik konfirmasi dan mengemis hak!

Dari semua peristiwa tak terduga dan tak mengenakkan ini, saya merasa kalian harusnya pantas kuliah dengan bantuan dana beasiswa! Oslo memang tak memungut biaya kuliah di kampus publik, tapi biaya hidupnya yang tinggi tentu saja mencekik jika tak punya gaji yang layak. Sayangnya, karena biaya kuliah yang gratis, tak ada lagi dana beasiswa tersedia bagi mahasiswa Indonesia sejak 2017. Yang artinya, kamu hanya bisa kuliah di Norwegia dengan 3 cara; lewat bantuan beasiswa pemerintah Indonesia, dana pribadi, atau mengambil Lånekassen (hibah & hutang) dari pemerintah Norwegia kalau kamu memiliki residence permit dari pernikahan atau tinggal bersama pasangan.

Baca juga: Visa dan Izin Tinggal (Residence Permit), Apa Bedanya?

Sebagai au pair yang berniat lanjut kuliah di Eropa, kamu juga tak harus selalu melirik Norwegia hanya karena kampusnya bebas biaya kuliah. Ada banyak sekali universitas top di Eropa (bahkan luar Eropa!) yang memberikan beasiswa bagi mahasiswa asing, khususnya Indonesia. Kamu juga tak harus selalu berkompetisi memenangkan dana beasiswa pemerintah Indonesia lewat LPDP, karena sesungguhnya beasiswa dari pemerintah lokal itu banyaaaak dan patut diperjuangkan!

Tapi kan harus pintar dulu baru dapat beasiswa?

No, kata siapa?! Beasiswa itu banyak jenisnya dan tidak semuanya hanya terfokus untuk orang-orang pintar dengan deretan huruf A di transkrip nilai. Banyak juga beasiswa yang khusus diberikan ke anak-anak muda yang punya pengalaman leadership, berorganisasi, olahraga, atau volunteering di bidang tertentu. Tidak perlu juga harus mencari beasiswa full yang mencakup semua hal dari mulai uang saku sampai tiket pesawat. Beasiswa parsial dari 30-70% pun sudah sangat lumayan meringankan beban hidup mu di negara tersebut.

Cari beasiswanya dimana?


Search engine semisal Google, Bing, atau DuckDuckGo. Zaman sekarang jangan cuma mahir photo editing di Instagram atau joget TikTok, tapi juga Googling! Ada banyak sekali jenis beasiswa yang bisa kamu cari, pelajari, dan daftar. It takes time and a lot of effort memang. Tapi kalau belajar di luar negeri adalah cita-cita mu sejak kecil, tak ada salahnya mengganti waktu scrolling media sosial dengan scrolling informasi seputar beasiswa dan kampus idaman.

Berikut informasi mini seputar beasiswa dari pemerintah atau organisasi di Eropa yang bisa kamu pertimbangkan selepas au pair:

Danish Government Scholarships

Meskipun Denmark saya cap sebagai negara terburuk bagi para au pair, tapi kualitas pendidikannya selalu masuk top tier seantero Nordik, bahkan Eropa! Ada banyak sekali mantan au pair yang merasa nyaman tinggal di Denmark, namun tak berani bermimpi lanjut kuliah karena biaya pendidikannya yang mahal. Kabar baiknya, beasiswa dari pemerintah Denmark ini bisa kamu pertimbangkan karena mencakup banyak sekali kampus top semisal University of Copenhagen (KU), Technical University of Denmark (DTU), atau Copenhagen Business School (CBS).

Beasiswa ke Belanda

Selain punya ikatan sejarah yang kuat dengan Indonesia, jumlah au pair Indonesia di Belanda pun cukup signifikan dibandingkan negara lainnya. Kamu tak perlu pusing memikirkan biaya kuliah yang tinggi, karena beasiswa semisal Orange Tulip Scholarship memberikan potongan 30-70%. Tambahan lainnya, kamu bisa juga mendaftar Holland Scholarship dengan dana hibah maksimal €5000 di tahun pertama studi dan STUNED bagi kamu yang tertarik belajar agro-pangan, ekonomi sirkular, dan pengelolaan air.

Beasiswa ke Prancis

Sebagai salah satu negara favorit studi dan juga au pair, kamu yang belum ingin pulang selepas masa kontrak bisa langsung mencari kampus tujuan untuk melanjutkan pendidikan. Beasiswa Eiffel adalah beasiswa paling terkenal bagi anak-anak muda di bawah 26 tahun yang ingin melanjutkan pendidikan Master di bidang Hukum, Ekonomi Manajemen, Teknik, dan Ilmu Politik. 


Meskipun berada jauh di utara Eropa dan tak terlalu ngetop seperti negara tetangganya di Nordik, Swedia dan Denmark, namun kualitas pendidikan di negara Nokia ini juga tak kalah, lho! Dua kampus terbaiknya, Aalto University dan University of Helsinki selalu masuk ranking 150 kampus terbaik di dunia. Kultur unik masyarakat Finlandia yang cukup berbeda dari negara Eropa kebanyakan juga bisa jadi daya tarik tersendiri bagi kamu yang suka winter wonderland dan bertujuan tinggal di tempat yang masih jarang orang Indonesianya!

Erasmus Mundus

Tak ada salahnya melirik beasiswa bergengsi ini jika kamu tertarik kuliah dan tinggal di lebih dari satu negara selama studi. Erasmus Mundus Joint Master Degrees (EMJMD) memberikan kesempatan belajar di lebih dari satu negara selama 6-24 bulan lamanya di kampus yang termasuk dari partner Erasmus. Karena memberikan beasiswa penuh beserta tambahan tiket pesawat, tak heran bahwa beasiswa ini paling banyak pelamarnya yang tertarik kuliah di Eropa.


Sebagai mantan au pair yang langsung lanjut kuliah, saya juga menyarankan para au pair lain untuk terus menabungTrust me, pundi-pundi kecil tabungan ketika au pair itu akan sangat membantu ketika kamu memutuskan lanjut kuliah dengan biaya sendiri nantinya — meskipun masih terbantu dana beasiswa atau dana sokongan sponsor!! 

Kuliah saja sudah lelah, ditambah lagi harus mengorbankan waktu bekerja demi menutupi biaya hidup. Percayalah, saya sendiri kadang merasa kuliah di Eropa dengan hanya mengandalkan gaji bulanan di restoran adalah hal paling nekad dan gila yang pernah saya lakukan. Ditambah lagi beban semakin bertambah di masa pandemi ini ketika job market di Norwegia semakin kecil bagi pelajar asing. Sure, kuliah dengan biaya sendiri itu jelas saja memungkinkan dan effort-nya punya value tersendiri di hidup. Struggling-nya luar biasa, membuat kita tak manja, dan tentunya memupuk mental setebal baja. Tapi kuliah dengan bantuan dana beasiswa tentunya adalah hal prestisius yang bisa kamu kejar jika tak mau susah di negara orang! 



Komentar

  1. Bener kak. Harus pinter research dan emang kalo mentok kudu coba pake English pas googling. Kadang social media bisa membantu juga sih, follow hashtags yg nyambung. Syemangat kuliahnya juga kerjanya, kak Nin!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku sampe sekarang kalo pun dapet informasinya dari medsos, tetep larinya nyari informasi tambahan ke Google 😁😁 Jadi emang mesti pinter2 riset & rajin nyari data tambahan — as you mentioned.

      Terima kasih banyak semangatnya, Ruth 😇

      Hapus
  2. Semangat ya Nin! Akupun sejak baca tulisanmu tentang S2 dengan dana sendiri ini berasa masih mikir-mikir. Awalnya ngerasa, ah bisa lah dapet kerjaan parttime ntar.. tapi terus mikir lagi, ga mungkin juga sampai sana langsung dapet kerjaan dan ga semudah yang dibayangkan. Gila sih emang kamu bisa senekat dan sekuat itu, mungkin karena kamu udah tinggal disana beberapa tahun jadi sudah ada gambaranlah ya. Cuma, untuk aku misal yang belum pernah kesana dan senekat itu ngerasa mampu dapet parttime kok ya lebih edan. Pertimbangan untuk membiayai diri sendiri emang harus secara matang dan ga semata-mata "halah bisalah". Tetep semangat ya Nin.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thank you semangatnya, Umi!!

      Aku juga sama banget kayak kamu!! "Ahh bisalah nyari kerjaan, banyak ini kok lowongan di internet. Bahasa Norwegia juga udah lumayan kalo cuma buat di restoran". Lalu ternyata, kenyataan itu tidak hanya "ahh bisalah..". Kenyataannya nyari kerjaan sulit banget! Belom lagi berurusan sama bos2 restoran bandel yang kadang policy kerja gak jelas dan bayar duit gaji telat. Apalagi pas masa pandemi gini, udah kek mau balik ke Indonesia aja karena aku sempet di masa2 stres banget :c

      Cuma bener kata kamu. Kenapa aku bisa sekuat dan senekad ini, bisa jadi karena aku udah tau medan. Jadi even sulit, aku jalani aja karena udah tau rutenya. Kalo kamu, kemungkinan bakalan kaget banget kalo dihadapin sama situasi kayak aku. Jadi emang paling bener, kamu kumpulin aja dulu uangnya sedikit2 di Indonesia. Setidaknya cukup duit untuk 12 bulan awal. Nanti pas sampe sini, bisa coba2 cari kerja untuk nambah pemasukkan setahun ke depannya lagi :) Kuliah dengan biaya sendiri itu POSSIBLE banget kok, asal siap mental dan well-planned!

      Hapus
  3. Thanks Mba Nin. I am currently in the 7th semester. Notifikasi masuk univ ini ope univ itu open application jadi stress karena belum ada mental buat test IELTS. But I am so happy your post came out and give another sensation of relaxing vibes. Takut bentar lagi lulus wkwkkw

    Semangat final yearnya!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Parah!! Tes IELTS/TOEFL Academic tuh momok banget buat aku buat daftar kuliah di LN. Abisnya selama ini selalu merasa bahasa Inggris ku pas2an banget xD Tapi ternyata pas udah tes, makin ngerti kelemahan aku dimana dan belajarnya cuma buat moles kelemahan doang. Yang penting kamu udah punya basic-nya aja sih, menurut aku. Yang paling susah itu kan kalo mau tes, tapi basic-nya aja kita gak terlalu kuat :)

      Semangat juga di sisa2 akhir kuliahnya ya!!

      Hapus
  4. Waaaa, terima kasih banyak sharing nya mba Nin :D

    Iya ya intinya memang harus rajin-rajin Googling klu memang berniat lanjut sekolah di negara orang. Karena pasti tantangannya berbeda ya mba apalagi hidup sendiri seprti mba Nin. Saya salut!! Doakan juga saya smg bsa segera lanjut S2 ya mba :)

    Sukses terus untuk mba Nin yaa!!

    BalasHapus
  5. Halo, salam kenal Nin! Baru aja nemu blog kamu dari random blogwalking, suka dengan topik dan tulisan-tulisanmu yg informatif dan enak dibaca! Terbantu juga untuk catch up dengan referensi link ke tulisan2 lama... :)

    Nah barangkali mau nambahin ke mini list info beasiswa di Eropa-nya, mungkin bisa nambah beasiswa dari Swedish Institute:
    https://si.se/en/apply/scholarships/swedish-institute-scholarships-for-global-professionals/

    Aku pikir bisa dipertimbangkan juga untuk jadi pilihan pasca au pair, karena salah satu persyaratannya adalah punya minimal 3000 jam kerja...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai Tanti,

      Makasih banyak ya udah mampir dan ngasih rekomendasi untuk beasiswa :) Namun, kayaknya SI itu jam kerja yang dimaksud untuk level profesional yang sesuai dengan jurusan kita deh. Bukan jam kerja seperti au pair yang hanya urus urusan rumah tangga dan anak2 ;) Kecuali, kamu tau emang ada au pair yang pernah apply SI dan diterima karena melampirkan 3000 jam pengalaman kerja sebagai au pair?

      Hapus
    2. Good point, Nin! Jadi ngecek ulang persyaratan beasiswanya nih.

      Aku kurang tahu apakah ada au pair yang pernah apply dan dapet beasiswanya, tapi tetep merasa jam kerja au pair masih bisa dihitung, karena definisi "valid work experience" mereka bisa part-time, full-time, ataupun freelancer... Tapi seperti kamu bilang akan lebih baik kalau memang latar belakang S1 atau jurusan yang dituju nyambung dengan pengalamannya (pendidikan, social works, komunikasi antar-budaya?).

      Cuma memang agak ribet untuk pengisian form bukti jam kerjanya. Normalnya pelamar diminta mengisi form bukti pengalaman kerja dengan tanda tanngan employer dan cap perusahaan tempat kerja. Berhubung employer au pair itu personal, kalo dari petunjuknya sih, tanda tangan bisa dilengkapi dengan cap notaris.

      Nah tapi aku baru notice memang ada beberapa hal yang bisa membuat pendaftar, termasuk au pair, ngga eligible. Salah satunya: "Have a residence permit based on work or on family ties with a citizen of Sweden/EU/EEA country who has a temporary or permanent right of residence in Sweden"... Yang berarti au pair yang kerja di Swedia/dengan orang yang punya residence permit Swedia malah ga bisa daftar ngga sih.. Tapi kalau di luar Swedia malah bisa....

      Hapus
    3. Hai lagi, Tanti..

      Makasih banyak ya udah di-crosscheck ulang :) Karena aku yakin banget, au pair itu gak termasuk kerjaan apalagi studi. Jadi kayak program independen pertukaran budaya aja gitu. Lagian kalo mesti apply beasiswa kayak gini, syaratnya pasti lebih profesional dan akademik.

      Aku sampe ngecek ulang juga dan ada statement seperti ini yang bikin pernyataan ku di atas valid:
      "To prove that you have a minimum of 3,000 hours of work experience you must request current or previous supervisor(s)/manager(s)/HR/head of the organisation to validate your experience in the work experience form. Please only include the most relevant experiences you have had within the field of your expertise/studies."

      Emang gini banget nasib au pair xD Gak dapet apa2 sekelar kontrak. Kalo gak bisa memaksimalkan waktu saat jadi au pair semisal travelling, belajar bahasa yg kenceng, atau memperluas networking, setahun dua tahun kontrak lewat gitu aja :)

      Hapus
    4. Hi Nin,

      Paham dengan poinmu soal statement pengalamam kerja yg harus relevan dengan studi, karena ga semua au pair latar belakang pendidikan/jurusan yg ditujunya nyambung dgn pengalaman mengasuh anak ya (walaupun cap HR bisa disiasati dgn cap notaris).

      Kalo harus bersaing dengan professional yg latar belakang pendidikan dan kerjaannya nyambung, mungkin memang jadinya lebih sulit juga...

      Baiklah aku ganti rekomendasiku. Kalau punya pengalaman kerja selain au pair yg nyambung, mungkin bisa dicoba daftar. Tapi pengalaman au pair bisa banget jadi poin plus untuk resume, either nunjukkin kamu ada pengalaman beradaptasi di budaya luar negeri, atau emphasize di segi volunteerism/leadership... :D

      Hapus
    5. Bener banget, Tan! Tapi aku juga ngucapin makasih nih buat kamu yang udah sharing. Siapa tau ada au pair yang liat kan. Karena bisa aja kalo au pair ini sebelomnya udah pernah kerja profesional, bosen terus hijrah buat jadi au pair, terus pengen kuliah lagi.

      Yes! :)
      Aku juga sangat merekomendasikan siapa pun yang pernah jadi au pair untuk tetep ngelampirin pengalaman mereka di CV. Pasti punya nilai plus banget, apalagi kalo pas au pairnya sempet moles bahasa asing & ikut kegiatan volunteerin gitu ;D

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bule Ketemu Online, Bisakah Serius?

( PERHATIAN!!! SAYA BANYAK SEKALI MENERIMA TESTIMONIALS SOAL COWOK-COWOK DARI INGGRIS YANG MEMINTA ALAMAT SI CEWEK YANG DIKENAL VIA ONLINE. FYI , HAMPIR SEMUA MODUS PENIPUAN SEPERTI INI BERASAL DARI INGGRIS DAN AMERIKA! JANGAN PERNAH TERTIPU KEMASAN KULIT PUTIHNYA, KARENA BISA JADI YANG KALIAN AJAK CHATTING -AN ATAU VIDEO CALL -AN ITU ADALAH PENIPU !! JANGAN PERNAH BERI DATA DIRI SEPERTI NAMA LENGKAP, ALAMAT, SERTA NOMOR IDENTITAS ATAU KARTU KREDIT KE ORANG-ORANG ASING LEWAT DUNIA DIGITAL! BE SMART, BE AWARE, AND PLEASE JANGAN DULU BAPERAN KALO ADA YANG MENGAJAK NIKAH PADAHAL BARU SEMINGGU KENAL!!!) Selain berniat jadi au pair, ternyata blog saya banyak dikunjungi oleh cewek-cewek Indonesia yang ingin pacaran atau sedang dekat dengan bule. Gara-gara tulisan tentang cowok Eropa dan cowok Skandinavia , banyak pembaca blog yang mengirim surel ke saya dan curhat masalah cintanya dengan si bule. Aduh, padahal saya jauh dari kata "ahli" masalah cinta-cintaan. Saya sebetu

Mempelajari Karakter Para Cowok di Tiap Bagian Eropa

*I talk a lot about European boys in this blog, but seriously, this is always the hottest topic for girls! ;) Oke, salahkan pengalaman saya yang jadi serial dater  selama tinggal di Eropa. Tapi gara-gara pengalaman ini, saya juga bisa bertemu banyak orang baru sekalian mempelajari karakter mereka. Cowok-cowok yang saya temui ini juga tidak semuanya saya kencani. Beberapa dari mereka saya kenal saat workshop, festival, ataupun dari teman. Beruntung sekali, banyak juga teman-teman cewek yang mau menceritakan pengalamannya saat berkencan dari cowok ini, cowok itu, and all of them have wrapped up neatly in my head! Secara umum, tulisan yang saya ceritakan disini murni hasil pengalaman pribadi, pengalaman teman, ataupun si cowok yang menilai bangsanya secara langsung. Letak geografis Eropanya mungkin sedikit rancu, tapi saya mengelompokkan mereka berdasarkan jarak negara dan karakter yang saling berdekatan. Kita semua benci stereotipe, tapi walau bagaimana pun kita tetaplah bagi

7 Kebiasaan Makan Keluarga Eropa

Tiga tahun tinggal di Eropa dengan keluarga angkat, saya jadi paham bagaimana elegan dan intimnya cara makan mereka. Bagi para keluarga ini, meja makan tidak hanya tempat untuk menyantap makanan, tapi juga ajang bertukar informasi para anggota keluarga dan pembelajaran bagi anak-anak mereka. Selain table manner , orang Eropa juga sangat perhatian terhadap nilai gizi yang terkandung di suatu makanan hingga hanya makan makanan berkualitas tinggi. Berbeda dengan orang Indonesia yang menjadikan meja makan hanya sebagai tempat menaruh makanan, membuka tudung saji saat akan disantap, lalu pergi ke ruang nonton sambil makan. Selama tinggal dengan banyak macam keluarga angkat, tidak hanya nilai gizi yang saya pelajari dari mereka, tapi juga kebiasaan makan orang Eropa yang sebenarnya sangat sederhana dan tidak berlebihan. Dari kebiasaan makan mereka ini juga, saya bisa menyimpulkan mengapa orang-orang di benua ini awet tua alias tetap sehat menginjak usia di atas 70-an. Kuncinya, pola

Guide Untuk Para Calon Au Pair

Kepada para pembaca blog saya yang tertarik menjadi au pair, terima kasih! Karena banyaknya surel dan pertanyaan tentang au pair, saya merasa perlu membuat satu postingan lain demi menjawab rasa penasaran pembaca. Mungkin juga kalian tertarik untuk membaca hal-hal yang harus diketahui sebelum memutuskan jadi au pair  ataupun tips seputar au pair ? Atau mungkin juga merasa tertantang untuk jadi au pair di usia 20an, baca juga cerita saya disini . Saya tidak akan membahas apa itu au pair ataupun tugas-tugasnya, karena yang membaca postingan ini saya percaya sudah berminat menjadi au pair dan minimal tahu sedikit. Meskipun sudah ada minat keluar negeri dan menjadi au pair, banyak juga yang masih bingung harus mulai dari mana. Ada juga pertanyaan apakah mesti pakai agen atau tidak, hingga pertanyaan soal negara mana saja yang memungkinkan peluang kerja atau kuliah setelah masa au pair selesai. Oke, tenang! Saya mencoba menjabarkan lagi hal yang saya tahu demi menjawab rasa penasar

First Time Au Pair, Ke Negara Mana?

Saya ingat betul ketika pertama kali membuat profil di Aupair World, saya begitu excited memilih banyak negara yang dituju tanpa pikir panjang. Tujuan utama saya saat itu adalah Selandia Baru, salah satu negara impian untuk bisa tinggal. Beberapa pesan pun saya kirimkan ke host family di Selandia Baru karena siapa tahu mimpi saya untuk bisa tinggal disana sebentar lagi terwujud. Sangat sedikit  host family dari sana saat itu, jadi saya kirimkan saja aplikasi ke semua profil keluarga yang ada. Sayangnya, semua menolak tanpa alasan. Hingga suatu hari, saya menerima penolakan dari salah satu keluarga yang mengatakan kalau orang Indonesia tidak bisa jadi au pair ke Selandia Baru. Duhh! Dari sana akhirnya saya lebih teliti lagi membaca satu per satu regulasi negara yang memungkinkan bagi pemegang paspor Indonesia. Sebelum memutuskan memilih negara tujuan, berikut adalah daftar negara yang menerima au pair dari Indonesia; Australia (lewat Working Holiday Visa ) Austria Amerika