Langsung ke konten utama

Meet the Danish Family



Rileks. Itulah gambaran pertama yang saya dapatkan dari keluarga baru saya ini. Louise, ibu 3 anak berusia 37 tahun, yang saya lihat di foto sepertinya judes, ternyata aslinya lebih muda dan sweet. Louise benar-benar gambaran wanita Eropa Utara sesungguhnya yang berambut pirang dengan badan (mulai) ramping setelah 3 bulan melahirkan Caesar. Karena kebijakan pemerintah Denmark, Louise mendapatkan jatah cuti melahirkan satu tahun demi mengurus si bayi di rumah.

Berbeda dengan para istri di Eropa yang lebih mendominasi pada umumnya, Louise termasuk istri yang sabar, ikut kata suami, dan lebih pasif. Louise juga sering memanggil suaminya dengan sebutan skat yang artinya sayang (atau dalam bahasa Denmark yang lain, bisa berarti "pajak"). Sementara si suami, Brian, lebih sering memanggil Louise dengan panggilan baby, hunny, atau nama pribadi.

Brian, si bapak yang berusia 42 tahun, memiliki selera humor yang baik, hobi masak, dengan jam kerja yang teratur. Brian yang bekerja sebagai CEO ini, mengepalai perusahaan yang bergerak di bidang alat-alat fitness. Tidak seperti orang yang terlalu sibuk pada umumnya, Brian sudah berada di rumah sebelum pukul 6, lalu lebih memilih berleha-leha saat akhir pekan.

Anak pertama mereka, Emilia, yang tahun ini berusia 4 tahun sebenarnya sangat lucu dan manis. Tapi kalau mood-nya sedang buruk, wahh, saya bisa diteriak-teriaki hanya karena kesalahan kecil. Gadis kecil ini juga tidak anti dicuil-cuil pipinya ataupun dielus-elus rambutnya. Entah karena gengsi atau kenapa, Emilia tidak pernah memanggil nama saya. Emilia lebih sering memanggil saya dengan sebutan pige (baca: pi) atau artinya gadis muda. Bahkan saat "melaporkan" saya dengan mor (baca: moa) atau far (baca: fa)-nya pun, dia sering sekali mengucapkan "gadis ini atau gadis itu", "selamat malam, gadis!", atau "kasih tahu gadis itu ya...". Padahal pige hanya sebuah panggilan kalau kita memang tidak tahu nama orang tersebut.

Sama seperti anak seusianya, Emilia juga suka sekali diajak bermain. Tapi kalau dia lagi asik main bersama, jangan sampai saya mendadak hilang mood dan menghentikan permainan. Dia akan mengikuti saya ke kamar, naik-naik ke punggung, bahkan sampai menarik-narik baju kalau tidak diperhatikan. Sayangnya, saya hanya bisa bertemu Emilia 3 jam setiap harinya. Selain sekolah, Emilia harus tidur sebelum jam 8 malam. Jadinya saya bisa manyun-manyunan dengan gadis lucu ini saat dia bangun tidur, sarapan, dan makan malam.

Tiga bulan lalu, Louise juga melahirkan anak kembar bernama Nikolaj dan Frederik. Tapi walaupun kembar, mereka berdua benar-benar tidak mirip. Nikolaj yang bermuka bulat dan berat, lebih mirip ke Brian. Sementara Frederik yang lebih mungil dengan hidung lancip, lebih mirip ke Louise.

Sudah dua minggu lebih ini tinggal di rumah mereka, Alhamdulillah, membuat saya terus nyaman. Kesan pertama terhadap keluarga mereka yang hangat dan rileks, membuat saya benar-benar dianggap sebagai keluarga. Walaupun capnya au pair, bantu-bantu bersih rumah, tapi sikap mereka membuat saya benar-benar dihargai. Mereka juga mencetak ulang stiker baru termasuk nama lengkap saya untuk ditempelkan di kotak pos.

Kamar saya ada di basement yang berdekatan dengan toilet dan ruang nonton. Karena mereka memang baru pindah 4 bulan di rumah ini, jadinya kamar saya memang belum fully furnished. Beberapa perabotan yang dibutuhkan akan dibeli bersama untuk mencocokan dengan selera saya. Seminggu kemudian Brian akhirnya mengajak ke IKEA membeli beberapa perabotan seperti meja belajar, karpet, gambar, dan jam dinding dengan nuansa hitam putih yang saya pilih sendiri.

Mereka juga sangat respek dengan apa yang saya makan dan yakini. Karena saya tidak makan daging, mereka juga selalu memastikan salmon atau kod di freezer tersedia. Louise juga sangat menghargai jam-jam ibadah saya yang sebenarnya sangat fleksibel. Untuk urusan kerjaan pun, mereka tipikal keluarga yang tidak cerewet dan sangat santai. Kalau memang bisa dikerjakan sendiri, ya mereka lakukan tanpa harus menyuruh ini itu.


Walaupun berbeda dengan pengalaman au pair saya di Belgia yang lebih seperti guru TK dan kakak tertua, disini saya memang lebih difokuskan mengurus urusan rumah tangga. Untuk urusan Emilia, orang tuanya yang akan mengurus. Belanja bahan makanan pun tidak diberatkan ke saya lagi, hore! Sisanya, saya hanya perlu membantu Louise menenangkan si bayi atau menjaganya saat dia sedang sibuk. Itu juga terkadang ibunya Louise yang akan datang dan mengasuh cucunya. Walaupun kadang sehari saya sering di-list cukup banyak pekerjaan, namun dihari-hari berikutnya saya bisa saja sangat free

Biasanya juga sebagai orang baru, au pair akan segan atau malas keluar kamar, kalau anggota keluarga ada di rumah. Untuk mengambil makanan di dapur pun kita rasanya enggan dan memilih untuk tahan kelaparan saja di kamar. Tapi karena sikap mereka yang hangat dan netral, saya juga akhirnya tidak segan untuk keluar kamar dan membaur. Saya juga tidak terlalu canggung karena Louise ada di rumah setiap harinya. Louise bukan tipikal ibu-ibu bawel yang selalu ingin tahu apa yang saya kerjakan, makan, dan masak. Setiap berpapasan di rumah pun, dia selalu menebar senyum. What a sweet mom! 

Sewaktu di Belgia dulu, entah kenapa saya sedikit malas bergabung makan malam dengan keluarga angkat saya disana. Entah kenapa tidak terlalu banyak yang bisa saya mengerti dari ucapan mereka dan lebih memilih diam. Berbeda dengan disini, saya yang tadinya "dijadwalkan" ikut makan malam semeja sekitar dua kali seminggu, sayanya tidak tahu diri ikut terus dari Senin sampai Jumat. Saya juga tidak canggung lagi karena setiap hari biasanya selalu ada topik yang akan dibahas.

Menurut saya, makan satu meja bisa mengakrabkan semua anggota keluarga. Walaupun di Indonesia saya dan keluarga hanya makan semeja saat bulan Ramadhan, tapi memang momen seperti itulah yang dapat kita manfaatkan berkumpul bersama saat seharian sudah beraktifitas.

Yang saya sebal dari keluarga ini adalah satu, senang sekali buang-buang makanan! Saya ingat betul saat Brian mengambil seikat daun bawang di kulkas, yang jumlahnya mungkin 6 tangkai. Karena yang dibutuhkan hanya 4, sisanya lagi langsung dibuang ke kotak sampah. Oh, damn! Kenapa tidak disimpan di kulkas saja kan ya? Sudah banyak sekali makanan yang terbuang oleh ulah si bapak ini.

Lalu ada juga soal kisah sisa lauk yang biasanya selalu dibuang karena tidak akan mungkin dimakan lagi. Berbeda dengan Indonesia yang biasanya masak sepanci, sisanya masuk kulkas, lalu besoknya dipanaskan lagi. Disini, semua itu tidak berlaku! Tidak habis, ya dibuang. Memang tepat juga sih, mengingat setiap hari menu makanan selalu berubah.  Tapi kan....

"I always try to make or cook food from fresh condiments. That's why I threw away all the things from few days ago in refrigerator. I know it's wasting money, but...."

"No problem," kata saya.

"Yes. It is," katanya sambil ketawa.

Horang kayah!



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bule Ketemu Online, Bisakah Serius?

( PERHATIAN!!! SAYA BANYAK SEKALI MENERIMA TESTIMONIALS SOAL COWOK-COWOK DARI INGGRIS YANG MEMINTA ALAMAT SI CEWEK YANG DIKENAL VIA ONLINE. FYI , HAMPIR SEMUA MODUS PENIPUAN SEPERTI INI BERASAL DARI INGGRIS DAN AMERIKA! JANGAN PERNAH TERTIPU KEMASAN KULIT PUTIHNYA, KARENA BISA JADI YANG KALIAN AJAK CHATTING -AN ATAU VIDEO CALL -AN ITU ADALAH PENIPU !! JANGAN PERNAH BERI DATA DIRI SEPERTI NAMA LENGKAP, ALAMAT, SERTA NOMOR IDENTITAS ATAU KARTU KREDIT KE ORANG-ORANG ASING LEWAT DUNIA DIGITAL! BE SMART, BE AWARE, AND PLEASE JANGAN DULU BAPERAN KALO ADA YANG MENGAJAK NIKAH PADAHAL BARU SEMINGGU KENAL!!!) Selain berniat jadi au pair, ternyata blog saya banyak dikunjungi oleh cewek-cewek Indonesia yang ingin pacaran atau sedang dekat dengan bule. Gara-gara tulisan tentang cowok Eropa dan cowok Skandinavia , banyak pembaca blog yang mengirim surel ke saya dan curhat masalah cintanya dengan si bule. Aduh, padahal saya jauh dari kata "ahli" masalah cinta-cintaan. Saya sebetu

Mempelajari Karakter Para Cowok di Tiap Bagian Eropa

*I talk a lot about European boys in this blog, but seriously, this is always the hottest topic for girls! ;) Oke, salahkan pengalaman saya yang jadi serial dater  selama tinggal di Eropa. Tapi gara-gara pengalaman ini, saya juga bisa bertemu banyak orang baru sekalian mempelajari karakter mereka. Cowok-cowok yang saya temui ini juga tidak semuanya saya kencani. Beberapa dari mereka saya kenal saat workshop, festival, ataupun dari teman. Beruntung sekali, banyak juga teman-teman cewek yang mau menceritakan pengalamannya saat berkencan dari cowok ini, cowok itu, and all of them have wrapped up neatly in my head! Secara umum, tulisan yang saya ceritakan disini murni hasil pengalaman pribadi, pengalaman teman, ataupun si cowok yang menilai bangsanya secara langsung. Letak geografis Eropanya mungkin sedikit rancu, tapi saya mengelompokkan mereka berdasarkan jarak negara dan karakter yang saling berdekatan. Kita semua benci stereotipe, tapi walau bagaimana pun kita tetaplah bagi

7 Kebiasaan Makan Keluarga Eropa

Tiga tahun tinggal di Eropa dengan keluarga angkat, saya jadi paham bagaimana elegan dan intimnya cara makan mereka. Bagi para keluarga ini, meja makan tidak hanya tempat untuk menyantap makanan, tapi juga ajang bertukar informasi para anggota keluarga dan pembelajaran bagi anak-anak mereka. Selain table manner , orang Eropa juga sangat perhatian terhadap nilai gizi yang terkandung di suatu makanan hingga hanya makan makanan berkualitas tinggi. Berbeda dengan orang Indonesia yang menjadikan meja makan hanya sebagai tempat menaruh makanan, membuka tudung saji saat akan disantap, lalu pergi ke ruang nonton sambil makan. Selama tinggal dengan banyak macam keluarga angkat, tidak hanya nilai gizi yang saya pelajari dari mereka, tapi juga kebiasaan makan orang Eropa yang sebenarnya sangat sederhana dan tidak berlebihan. Dari kebiasaan makan mereka ini juga, saya bisa menyimpulkan mengapa orang-orang di benua ini awet tua alias tetap sehat menginjak usia di atas 70-an. Kuncinya, pola

Guide Untuk Para Calon Au Pair

Kepada para pembaca blog saya yang tertarik menjadi au pair, terima kasih! Karena banyaknya surel dan pertanyaan tentang au pair, saya merasa perlu membuat satu postingan lain demi menjawab rasa penasaran pembaca. Mungkin juga kalian tertarik untuk membaca hal-hal yang harus diketahui sebelum memutuskan jadi au pair  ataupun tips seputar au pair ? Atau mungkin juga merasa tertantang untuk jadi au pair di usia 20an, baca juga cerita saya disini . Saya tidak akan membahas apa itu au pair ataupun tugas-tugasnya, karena yang membaca postingan ini saya percaya sudah berminat menjadi au pair dan minimal tahu sedikit. Meskipun sudah ada minat keluar negeri dan menjadi au pair, banyak juga yang masih bingung harus mulai dari mana. Ada juga pertanyaan apakah mesti pakai agen atau tidak, hingga pertanyaan soal negara mana saja yang memungkinkan peluang kerja atau kuliah setelah masa au pair selesai. Oke, tenang! Saya mencoba menjabarkan lagi hal yang saya tahu demi menjawab rasa penasar

First Time Au Pair, Ke Negara Mana?

Saya ingat betul ketika pertama kali membuat profil di Aupair World, saya begitu excited memilih banyak negara yang dituju tanpa pikir panjang. Tujuan utama saya saat itu adalah Selandia Baru, salah satu negara impian untuk bisa tinggal. Beberapa pesan pun saya kirimkan ke host family di Selandia Baru karena siapa tahu mimpi saya untuk bisa tinggal disana sebentar lagi terwujud. Sangat sedikit  host family dari sana saat itu, jadi saya kirimkan saja aplikasi ke semua profil keluarga yang ada. Sayangnya, semua menolak tanpa alasan. Hingga suatu hari, saya menerima penolakan dari salah satu keluarga yang mengatakan kalau orang Indonesia tidak bisa jadi au pair ke Selandia Baru. Duhh! Dari sana akhirnya saya lebih teliti lagi membaca satu per satu regulasi negara yang memungkinkan bagi pemegang paspor Indonesia. Sebelum memutuskan memilih negara tujuan, berikut adalah daftar negara yang menerima au pair dari Indonesia; Australia (lewat Working Holiday Visa ) Austria Amerika