Langsung ke konten utama

Ternyata Emirates!



Sebulan sebelum keberangkatan, bahkan sebelum tahu kapan Louise akan membelikan tiket, saya sudah hunting duluan kira-kira maskapai apa yang saya harapkan. Dari daftar Skyscanner, saya selalui menemui Thai Airlines memiliki tarif terendah untuk keberangkatan ke Kopenhagen di awal September. Disusul Aeroflot, maskapai asal Rusia yang saya tidak pernah mendengar sebelumnya.

Saya selalu berharap semoga saja akan terbang lagi dengan pesawat asal Timur Tengah seperti Qatar Airways, Emirates, atau Etihad. Kenapa pesawat Timur Tengah, karena selain bagasinya muat 30kg, makanannya halal, di bandaranya disediakan mushola, dan sudah terkenal memiliki reputasi yang sangat baik di dunia penerbangan. Pesawat Eropa seperti Lufthansa atau KLM memang biasanya mahal, namun yang saya tahu mereka hanya menampung bagasi hingga 23 kg saja. Duh, saya sangat yakin barang yang akan saya bawa memang mendekati 30 kg nantinya!

Selain itu, naik maskapai Timur Tengah menuju Eropa biasanya akan transit dulu menunggu penerbangan berikutnya. Artinya kalau waktu tempuh menuju Eropa bisa sampai 15 jam (di luar waktu transit), 8 jam menuju ke salah satu kota di Timur Tengah, lalu 7 jamnya menuju Eropa. Saya pernah naik pesawat selama 15 jam nonstop dari Amsterdam ke Jakarta dengan Garuda Indonesia dan terus terang saja saya kurang nyaman berada di pesawat selama itu.

Dua minggu kemudian, akhirnya Louise mengirimkan email rekomendasi maskapai apa yang sepertinya akan saya gunakan. Mereka menawarkan Emirates dengan waktu transit 3 jam di Dubai. Saya memang tidak betah lama-lama berada di bandara sendirian. Padahal, kalaupun saya mau jalan-jalan sebentar di Dubai, saya bisa saja menawarkan opsi transit yang lebih lama. Saat itu opsi transit terlama bisa 9 hingga 13 jam. 

Luckily, Louise juga menawarkan untuk membayari tiket pesawat dari Palembang ke Jakarta. Karena ibu saya dan si bungsu ingin mengantarkan sampai Jakarta, akhirnya kami sepakat terbang bersama Sriwijaya Air saja, dilanjutkan naik free shuttle bus ke Terminal 2. Kalau tidak ingin repot naik shuttle bus, silakan menggunakan maskapai Garuda Indonesia yang juga akan tiba di Terminal 2.

Bus transfer gratis ini dapat ditemui di depan bagian informasi di dekat gerbang keberangkatan di Bandara Soekarno Hatta. Busnya memang tidak terlalu besar, tapi seorang "kernet" tetap akan membantu menaruh koper besar kita di bagasi seandainya dalam bus sudah penuh. Tapi tenang saja, bus akan datang tiap 10 hingga 20 menit sekali.

Maskapai dari Timur Tengah biasanya akan berangkat dini hari dari Jakarta. Tidak perlu repot membawa jaket tebal ke dalam pesawat, karena biasanya sudah disediakan selimut oleh pihak maskapai. Berbeda dengan Qatar Airways yang menyiapkan selimut, masker mata, penutup telinga, dan kaus kaki, saya hanya mendapatkan selimut saja saat terbang bersama Emirates.

Lama penerbangan hingga 15 jam, memastikan kita akan mendapatkan dua kali jatah makan besar selain snack. Para awak kabin biasanya akan memberikan menu makanan yang dapat dipilih saat di pesawat. Tapi karena sedikit membatasi pilihan makanan, akhirnya saya reservasi duluan via website sebelum keberangkatan. 

Kalau memang sedang diet, ada banyak pilihan makanan yang dapat dipesan sesuai program diet kita. Karena berangkat dini hari, perut saya biasanya sudah menolak diberi makanan terlalu berat. Saya pun memilih menu vegetarian menuju Dubai, lalu menu seafood menuju Kopenhagen. Enaknya reservasi via website, makanan yang saya pesan diantarkan terlebih dahulu oleh awak kabinnya mau dimanapun tempat duduk kita. Jadi tidak perlu didatangi langsung sembari antri menunggu penumpang yang lain.

Saat tiba di Dubai pun, saya tidak bisa lihat toko kanan kiri terlalu lama karena nyatanya 3 jam bukanlah waktu yang panjang. Menuju terminal connection flight, saya harus antri menunggu kereta, dilanjutkan naik lift ke arah terminal yang tepat. Belum sampai sejam saya duduk di ruang tunggu, penumpang ternyata sudah bisa naik ke pesawat diantar oleh bus sebelumnya. What a long journey! 

Jam 13.10 CEST, saya sampai di bandara internasional Kopenhagen, mengambil bagasi, lalu keluar bandara menemui Louise dan Brian yang sudah berada di garis depan menyambut saya.

"Welcome to Denmark! Welcome to Copenhagen!", kata Louise hangat sambil memeluk saya diikuti oleh Brian.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bule Ketemu Online, Bisakah Serius?

( PERHATIAN!!! SAYA BANYAK SEKALI MENERIMA TESTIMONIALS SOAL COWOK-COWOK DARI INGGRIS YANG MEMINTA ALAMAT SI CEWEK YANG DIKENAL VIA ONLINE. FYI , HAMPIR SEMUA MODUS PENIPUAN SEPERTI INI BERASAL DARI INGGRIS DAN AMERIKA! JANGAN PERNAH TERTIPU KEMASAN KULIT PUTIHNYA, KARENA BISA JADI YANG KALIAN AJAK CHATTING -AN ATAU VIDEO CALL -AN ITU ADALAH PENIPU !! JANGAN PERNAH BERI DATA DIRI SEPERTI NAMA LENGKAP, ALAMAT, SERTA NOMOR IDENTITAS ATAU KARTU KREDIT KE ORANG-ORANG ASING LEWAT DUNIA DIGITAL! BE SMART, BE AWARE, AND PLEASE JANGAN DULU BAPERAN KALO ADA YANG MENGAJAK NIKAH PADAHAL BARU SEMINGGU KENAL!!!) Selain berniat jadi au pair, ternyata blog saya banyak dikunjungi oleh cewek-cewek Indonesia yang ingin pacaran atau sedang dekat dengan bule. Gara-gara tulisan tentang cowok Eropa dan cowok Skandinavia , banyak pembaca blog yang mengirim surel ke saya dan curhat masalah cintanya dengan si bule. Aduh, padahal saya jauh dari kata "ahli" masalah cinta-cintaan. Saya sebetu

Mempelajari Karakter Para Cowok di Tiap Bagian Eropa

*I talk a lot about European boys in this blog, but seriously, this is always the hottest topic for girls! ;) Oke, salahkan pengalaman saya yang jadi serial dater  selama tinggal di Eropa. Tapi gara-gara pengalaman ini, saya juga bisa bertemu banyak orang baru sekalian mempelajari karakter mereka. Cowok-cowok yang saya temui ini juga tidak semuanya saya kencani. Beberapa dari mereka saya kenal saat workshop, festival, ataupun dari teman. Beruntung sekali, banyak juga teman-teman cewek yang mau menceritakan pengalamannya saat berkencan dari cowok ini, cowok itu, and all of them have wrapped up neatly in my head! Secara umum, tulisan yang saya ceritakan disini murni hasil pengalaman pribadi, pengalaman teman, ataupun si cowok yang menilai bangsanya secara langsung. Letak geografis Eropanya mungkin sedikit rancu, tapi saya mengelompokkan mereka berdasarkan jarak negara dan karakter yang saling berdekatan. Kita semua benci stereotipe, tapi walau bagaimana pun kita tetaplah bagi

7 Kebiasaan Makan Keluarga Eropa

Tiga tahun tinggal di Eropa dengan keluarga angkat, saya jadi paham bagaimana elegan dan intimnya cara makan mereka. Bagi para keluarga ini, meja makan tidak hanya tempat untuk menyantap makanan, tapi juga ajang bertukar informasi para anggota keluarga dan pembelajaran bagi anak-anak mereka. Selain table manner , orang Eropa juga sangat perhatian terhadap nilai gizi yang terkandung di suatu makanan hingga hanya makan makanan berkualitas tinggi. Berbeda dengan orang Indonesia yang menjadikan meja makan hanya sebagai tempat menaruh makanan, membuka tudung saji saat akan disantap, lalu pergi ke ruang nonton sambil makan. Selama tinggal dengan banyak macam keluarga angkat, tidak hanya nilai gizi yang saya pelajari dari mereka, tapi juga kebiasaan makan orang Eropa yang sebenarnya sangat sederhana dan tidak berlebihan. Dari kebiasaan makan mereka ini juga, saya bisa menyimpulkan mengapa orang-orang di benua ini awet tua alias tetap sehat menginjak usia di atas 70-an. Kuncinya, pola

Guide Untuk Para Calon Au Pair

Kepada para pembaca blog saya yang tertarik menjadi au pair, terima kasih! Karena banyaknya surel dan pertanyaan tentang au pair, saya merasa perlu membuat satu postingan lain demi menjawab rasa penasaran pembaca. Mungkin juga kalian tertarik untuk membaca hal-hal yang harus diketahui sebelum memutuskan jadi au pair  ataupun tips seputar au pair ? Atau mungkin juga merasa tertantang untuk jadi au pair di usia 20an, baca juga cerita saya disini . Saya tidak akan membahas apa itu au pair ataupun tugas-tugasnya, karena yang membaca postingan ini saya percaya sudah berminat menjadi au pair dan minimal tahu sedikit. Meskipun sudah ada minat keluar negeri dan menjadi au pair, banyak juga yang masih bingung harus mulai dari mana. Ada juga pertanyaan apakah mesti pakai agen atau tidak, hingga pertanyaan soal negara mana saja yang memungkinkan peluang kerja atau kuliah setelah masa au pair selesai. Oke, tenang! Saya mencoba menjabarkan lagi hal yang saya tahu demi menjawab rasa penasar

First Time Au Pair, Ke Negara Mana?

Saya ingat betul ketika pertama kali membuat profil di Aupair World, saya begitu excited memilih banyak negara yang dituju tanpa pikir panjang. Tujuan utama saya saat itu adalah Selandia Baru, salah satu negara impian untuk bisa tinggal. Beberapa pesan pun saya kirimkan ke host family di Selandia Baru karena siapa tahu mimpi saya untuk bisa tinggal disana sebentar lagi terwujud. Sangat sedikit  host family dari sana saat itu, jadi saya kirimkan saja aplikasi ke semua profil keluarga yang ada. Sayangnya, semua menolak tanpa alasan. Hingga suatu hari, saya menerima penolakan dari salah satu keluarga yang mengatakan kalau orang Indonesia tidak bisa jadi au pair ke Selandia Baru. Duhh! Dari sana akhirnya saya lebih teliti lagi membaca satu per satu regulasi negara yang memungkinkan bagi pemegang paspor Indonesia. Sebelum memutuskan memilih negara tujuan, berikut adalah daftar negara yang menerima au pair dari Indonesia; Australia (lewat Working Holiday Visa ) Austria Amerika