Saya memang sudah jatuh cinta dengan Stockholm sejak tinggal di Indonesia. Salah satu MLM kosmetik, si O, yang memang asalnya dari Swedia sering sekali membuat para anggota MLM bergiat-giat ria menuntaskan isi tabungan agar dapat poin. Kumpulan poin dan jaringan anggota pun diyakini memang bisa membawa beberapa orang berkunjung ke Stockholm. Saya? Hah, hanya anak muda pemakai kosmetik yang jauh dari kata sukses di MLM. Stockholm rasanya begitu jauh dari Indonesia. Tapi entah kenapa walaupun jauh, saya yakin saja suatu kali bisa kesini. Benar saja, finally here I am now, in Stockholm, tanpa embel-embel MLM.
Kunjungan pertama saya ke Stockholm kali ini sebenarnya bukan dalam rangka sengaja jalan-jalan atau weekend getaway. Yang pertama, saya hanya ingin kesini demi menuntaskan rasa penasaran. Yang kedua, karena seorang teman memang tinggal di Swedia, kebetulan pula hari ulang tahun saya saat weekend, jadinya saya datang hanya ingin merayakan ulang tahun bersama dia. Sayangnya, si teman ini malah harus bekerja tepat di hari itu. Duh!
Sebelum ke Stockholm, beberapa orang teman di Denmark mengatakan kalau sebenarnya Kopenhagen dan Stockholm sama saja. Sama-sama ibukota, sama-sama di Skandinavia, sama-sama dingin, sama-sama banyak bule rambut pirangnya, dan berbagai "sama-sama" lainnya. Mereka sendiri lebih menyukai Kopenhagen ketimbang Stockholm. Kecuali satu orang teman asal Rusia, Albina, yang memang sempat tinggal dan bersekolah di Swedia. Dibandingkan Kopenhagen, Albina merasa Stockholm jauh lebih hidup dan berwarna. Dari Albina inilah, saya dikenalkan ke Lidiya, salah seorang teman sekolahnya dulu yang sekarang tinggal di Stockholm. Lidiya juga yang akhirnya jadi pemandu wisata dan teman jalan di hari ulang tahun saya.
Sebagai seorang teman baru, Lidiya termasuk yang super sabar dan sangat niat menemani jalan-jalan. Walaupun beberapa kali sering terlihat sibuk dengan ponselnya, ternyata Lidiya sedang mengecek beberapa tempat-tempat seru yang sekiranya bisa didatangi. Sebelum kedatangan saya pun, tanpa diminta, dia sudah memesan tempat makan malam di tiga restoran berbeda yang ada di Stockholm. Speechless!
Karena niatnya hanya birthday getaway, saya memang minta ke Lidiya untuk diantarkan ke tempat-tempat utama yang banyak orang lokalnya saja. Coret dulu daftar ke museum dan hingar-bingar turis. Selain ingin menikmati hari ulang tahun sehari penuh, saya juga sengaja live the moment alias tidak pegang ponsel sama sekali. Tapi karena ingin cerita ini dipublikasi ke blog, akhirnya harus juga memotret pemandangan sekali dua kali.
Beginilah agenda random saya dan Lidiya di Stockholm dalam rangka birthday getaway yang jauh dari kata kue dan lilin:
Jalan kaki dari Vasastan sampai Södermalm
Karena hapal jalan dan memang suka jogging, saya dibawa Lidiya mengitari distrik Vasastan, Gamla Stan, hingga Södermalm yang terkenal sebagai area hipster di Stockholm. Jalanan di Stockholm memang benar-benar berbeda dengan yang ada di Kopenhagen. Di Stockholm, selain tidak terlalu bicycle friendly, kebanyakan jalanan tidak datar alias sering naik turun tebing. Hal ini tentu saja cukup menyulitkan bagi saya karena harus menyesuaikan ritme jalan kaki Lidiya yang cepat.
Dari Södermalm, Lidiya mengantarkan saya menaiki sebuah bukit agar dapat menikmati pemandangan Stockholm dari ketinggian. Saya bingung kenapa teman-teman di Denmark mengatakan Kopenhagen dan Stockholm sama saja. They're totally different! Stockholm memang benar-benar keren dan berbeda dari sisi geografisnya. Pemandangan segar dengan pulau-pulau yang dipisahkan oleh air, tentu saja tidak akan pernah saya temui di kota mini seperti Kopenhagen.
Naik kapal bus dan bersepeda di Djurgården
Seriusan, saya benar-benar jatuh cinta dengan Djurgården setibanya kami disini. Lidiya juga menawarkan untuk mengelilingi sekitar pulau dengan sepeda sekalian menuju kafe favoritnya untuk makan siang. Djurgården memang sangat berbeda dengan distrik lain yang sudah saya kunjungi. Pulau ini memang benar-benar teduh, hijau, dan jauh dari turis. Acara bersepeda pun lebih santai karena sepanjang jalan melihat pepohonan hijau dan trem tua yang lewat pun jadi penghias lengkap pulau ini.
Tempat makan siang yang dipilih Lidiya juga sungguh keren dan hanya didatangi oleh orang-orang lokal. Nama kafenya Café Ektorpet, yang letaknya dekat dengan pelabuhan dan dikelilingi pepohonan hijau. Duduk di luar sambil menikmati open sandwich dan kannelbulle-nya Swedia, ditambah lagi dikelilingi pemandangan yang pas, I just don't know what to say. Superb!
Skip Skansen, saatnya memacu adrenalin di Tivoli Grona Lund
Dari kapal bus menuju Djurgården pun, sebenarnya para penumpang kapal sudah mendengar teriakan-teriakan histeris dari taman bermain Tivoli Grand Lund. Meskipun di Kopenhagen juga ada Tivoli yang sama-sama memiliki wahana permainan pemacu adrenalin, tapi pemandangan area sekitar Grona Lund di Stockholm ini berbeda. Tivoli Grona Lund juga letaknya masih di Djurgården, bersamaan dengan museum ABBA dan Skansen. Karena sudah melihat sisi lain viking zaman dulu di Denmark, saya putuskan untuk melewatkan Skansen.
Selesai makan siang, saya akhirnya diyakinkan Lidiya untuk masuk dan mencoba wahana permainan gila yang ada di Grona Lund. Naik wahana-wahana ini memang antara keren dan gila! Keren karena saya bisa melihat daerah perairan Stockholm dan pulau-pulaunya dari ketinggian, gila karena belum sempat menikmati pemandangan tersebut, badan saya sudah dilempar dan diayunkan kesana-kemari.
Makan malam dan fancy bars
Setelah kelelahan jalan kaki, saya berisitirahat sebentar di apartemennya Lidiya dan pacarnya, Mattias, yang saat saya temui baru selesai jogging. Apartemen Lidiya dan Mattias memang cukup homey dan sangat musikal. Mattias ternyata memang berbakat memainkan banyak alat musik petik, salah satu yang menyita perhatian saya adalah double bass yang berdiri kokoh di sudut ruangan.
Setelah pasangan ini selesai dress up, kami menuju restoran Lobster and Burger tak jauh dari apartemen mereka. Nyatanya, saat itu kami makan malam bukan di tempat yang sudah Lidiya pesan. Lobster and Burger memang tidak murah, pilihan makanannya pun hanya burger atau lobster. Tapi karena saya memang penyuka seafood dan rindu makan lobster, akhirnya saya sendiri yang memilih tempat ini ketika melewati apartemen mereka. Lidiya dan Mattias sendiri oke-oke saja dengan dua pilihan makanan itu.
Selanjutnya adalah merayakan satu jam terakhir hari ulang tahun saya. Karena tempat live music dan banyak kafe sudah tutup, akhirnya saya diajak menuju dua bar cocktail favorit Lidiya yang masih berada di area centrum Stockholm. Walaupun malam itu cukup dingin, tapi suasana ready to party para Stockholmer begitu terasa. Saya sendiri beruntung diajak pasangan ini ke tempat favorit mereka. Tempatnya terkesan mewah dan cukup formal. Saya hampir saja salah kostum tanpa blazer hitam yang digunakan malam itu.
I won't say Paris, but Stockholm
Satu hal yang paling menarik perhatian saya tentang Stockholm adalah gaya berpakaian para Stockholmer yang nyaris seragam tapi sungguh stylish. Tidak dipungkiri, menurut banyak artikel yang pernah saya baca, Swedia menempati posisi pertama di Eropa sebagai negara dengan penduduk terganteng dan tercantik. Bahkan sempat ada pertanyaan, why Swedes are so good looking? Iya, saya juga bertanya-tanya kenapa. Karena tinggi yang semampai, rambut pirang, mata biru, dan sambutan mereka yang hangatkah?
Dibandingkan Paris yang memang kota mode dunia, saya merasa jalanan di Stockholm lebih mirip panggung runaway di kehidupan nyata. Mobil-mobil mewah dengan gas kencangnya, trench coat, everything black, crisp shirt, khakis, rambut yang disisir rapih, dan sepatu pantofel.
Saya memang bukan penggila fesyen dan tren, namun memerhatikan gaya para kaum adam saat itu, membuat saya mengerti mengapa banyak yang mengatakan Swedia itu seperti pusatnya kaum gay dan cowok-cowok metroseksual. Cowok-cowok di Stockholm gayanya memang sama, tapi sungguh modis luar biasa. Gaya yang saya lihat sungguh Eropa sekali dengan tingkat formalitas di atas rata-rata. Rambut mereka selalu terlihat rapih dengan sepatu pantofel cokelat yang dipadankan dengan jenis gaya apapun. Sewaktu mampir ke apartemen Lidiya, saya jadi ikut melihat koleksi sepatu-sepatu Mattias yang ternyata nyaris 80 persennya model pantofel.
Di Kopenhagen, saya baru melihat dandanan cowok semacam itu kalau mereka sengaja ingin berpesta di akhir pekan. Di Stockholm, saya sering melihat seorang bapak muda mendorong troli anaknya di jalanan dengan gaya yang seperti ingin berangkat kerja. Istrinya? Duh, sama-sama modisnya. Walaupun masuk sebagai kota mode di dunia, tapi saya merasa gaya para Stockholmer seperti tidak dipaksakan. Mereka seperti memang sudah diajarkan untuk tampil rapih dan keren dari lahir. Salut!
I heart Stockholm. Next stop Vasa Museum and sightseeing Stockholm archipelago by boat plus Skansen of course.
BalasHapusCiee suka cowo2 Swedes. Tapi sama lah sama Danes, sama2 patungan klo kencan 😂😂😂
Yaaa Skansen bayar sih ah. Kamu ke Denmark deh, open museumnya gratis :p
HapusOh ya, kemaren gak jadi ya ke Vasa. Lebih mepet ke T-bana sih.
Tapi cowok2 Swedia lebih sweet, cuuy. Cowok DK lebih menarik diri dari permukaan nih kayaknya *ikan kali*