Langsung ke konten utama

Beda Host Dad, Beda Cerita


Host family itu unik. Mereka punya gaya hidup, karakter, serta membawa pengalaman yang berbeda pula untuk au pairnya.

Tiga tahun lebih jadi au pair di Eropa, saya sudah tinggal dengan 4 keluarga yang semuanya membawa cerita baru dalam hidup saya. Meskipun saya lebih banyak berinteraksi dengan si emak dan anak-anaknya, namun si bapak sebenarnya juga punya cerita yang menarik.

Empat host dad saya memiliki latar belakang dan pekerjaan yang tak sama. Tinggal bersama mereka membuat saya tidak luput dari pengamatan mengenai kebiasaan si bapak-bapak ini di rumah, mulai dari gaya hidup hingga fashion. Let me introduce the daddies!

1. Keluarga Maroko

Pertama kali jadi au pair, saya tinggal dengan pasangan keluarga Maroko yang lahir dan besar di Belgia. Saya memang tidak lama tinggal dengan mereka. Setelah satu bulan tinggal bersama, akhirnya saya memutuskan putus kontrak namun tetap terus tinggal sesuai perjanjian yang sudah disepakati. Pun begitu, saya dan mereka tetap say goodbye dengan cara yang baik lima bulan kemudian.

Si bapak, Ramli, usianya saat itu sekitar 36 tahun. Pekerjaannya sebagai guru IT di salah satu sekolah menegah membuatnya tidak sesibuk si istri. Dibanding istrinya yang terlihat lebih intelektual, Ramlijuga tidak terlalu fasih berbahasa Inggris dan Belandameskipun tinggal di Belgia. Sehari-hari si bapak hanya berkomunikasi dengan bahasa Prancis ke anak-anaknya. Kalau pun harus menjelaskan sesuatu ke saya dalam bahasa Inggris, Ramli seperti kesulitan menafsirkan makna yang dimaksud.

Hobi si bapak ini main Playstation. Kadang kalau mesti jaga anak, Ramli menaruh si bayi di kursi goyang lalu menggunakan ujung jari kakinya untuk menggoyangkan si kursi. Tanpa membuat anak menangis karena nyaman di kursi goyang, mata dan jari tangannya tetap fokus main Playstation. Saking seriusnya main, Ramli sampai kadang teriak-teriak sendiri di ruang tengah.

Karena mereka keluarga muslim, Ramli selalu menyapa saya dengan "Assalamua'laikum" setiap pagi. Saya juga cukup kaget di awal-awal dengan kebiasaan bangun tidur Ramli yang baru melek jam 8 atau 9-an saat weekdays. Kalau sedang libur atau akhir pekan, Ramli baru bangun jam 11-an lalu langsung menuju dapur mengambil sarapan.

Meskipun si bapak Maroko ini sering teriak dan omongannya cenderung kasar ke anak-anaknya, tapi beliau pintar masak. Si istri saja sampai mengakui kalau Ramli sudah pegang pisau dapur, makanan apapun akan terasa enak. Agree!

2. Keluarga Belgia

Host dad saya yang kedua bernama Caesar. Usianya saat itu hampir 40 tahun. Pun begitu, mukanya masih kelihatan ganteng dan bugar. Maklum, dia lebih suka naik sepeda ke kantor ketimbang naik mobil.

Berbeda dengan para French speakers di Walloon, si bapak jangkung yang tinggal di utara Belgia ini fasih berbahasa Belanda, Inggris, dan Prancis. Beliau juga cinta mati sama istrinya, lho! I can see it. Maklum, mereka menikah saat Caesar berumur 27 tahun dan si istri 24 tahun. Cukup muda untuk ukuran orang Eropa.

Dibandingkan si istri yang quirky dan casual, Caesar lebih rapih dan stylish. Dia juga tidak takut memakai celana hijau, kuning, atau merah tua ke kantor.

Host family saya ini juga termasuk orang kreatif, sukses, namun super sibuk. Selain punya bisnis student housing di Belgia, Caesar dan si istri tidak ragu membangun sebuah hostel baru di Ghent dari hasil renovasi gedung legendaris di pusat kota. Waktu saya disana, hostel mereka baru dibangun sekitar satu tahunan. Hebatnya, hostel tersebut sudah menjadi salah satu hostel butik berinterior terkeren di dunia! Sudah sering masuk majalah sampai dibukukan malah.

Selain mengurus bisnis properti, saya sebenarnya tidak paham dengan jam kerja pasangan ini. Pagi, jam 9-an kerja. Pulang hanya di jam makan malam. Sekitar jam 8-an keluar lagi sampai tengah malam. Alasannya ya tetap kerja. Luar biasa! Tidak heran kalau Caesar dan istrinya mendapat penghargaan sebagai salah satu pebisnis muda tersukses di Belgia tahun 2013.

Mungkin karena merasa sudah sukses di usia muda, entah kenapa saya juga kurang suka dengan idealisme Caesar. Mereka sebenarnya tergolong keluarga yang punya banyak duit, tapi terkesan pelit dan irit. Penampilan mereka biasa saja. Mobil pun tak seberapa, bahkan mirip angkutan kota. Ya bagus memang, hidup sederhana. Tapi saya pernah diceramahi gara-gara mengatur suhu ruangan yang terlampau panas.

Alasannya karena global warming, padahal menurut saya hanya karena tagihan listrik yang takut membengkak. Si bapak sampai menjelaskan soal efek pemanasan global layaknya saya anak SD yang tidak tahu apa-apa.

"You can wear a jumper or more sweaters if you still feel cold," saran dia saat itu.

Meh!

3. Keluarga Denmark

Perkenalkan host dad saya yang ketiga, Stian. Si bapak pemilik perusahaan alat gym di Denmark yang jago masak, urus anak, dan hobi buang duit. Usianya sekarang sekitar 45 tahun. Tapi karena pandai merawat diri dan suka work out, si bapak masih terlihat ganteng di usianya yang sudah di atas 40 tahun.

Pertama kali ketemu Stian, saya sudah bisa merasakan aura bossy-nya dia. Pernah saya telat bangun pas baru awal-awal tinggal di rumah mereka, langsung dimarahi saat itu juga.  "For me, time is so important!" katanya.

Gara-gara aura bossy-nya Stian, saya kadang merasa segan dan juga takut kalau tiba-tiba kena panggil. Well, apalagi ini? Salah apalagi? Untunglah setelah hidup bersama selama beberapa bulan, Stian terlihat lebih kalem dan menganggap saya seperti keluarga.

Stian termasuk bapak yang unik. Sebelum sibuk dengan pekerjaan, beliau katanya pecinta berat film. Dalam seminggu, dia bisa datang ke bioskop 2-4 kali. Karena suka sekali menonton, tiap ruangan dan kamar pasti dipasang TV. Lucunya, TV disejajarkan dengan luas dinding dimana TV tersebut dipasang. Kalau dindingnya lebar, si TV pun akan dipasang yang besar. Kalau dindingnya kecil, TV juga dipilih yang sedikit kecil.

Di kamar host kid saya pun ada 2 TV yang dipasang sejajar dengan tingkatan tempat tidur. Satu tingkat tempat tidur, satu TV terpasang. Pokoknya dibuat senyaman mungkin. Padahal, saking sibuknya mereka, menonton pun jarang. Sekalinya menonton, hanya acara anak-anak.

Soal makanan, Stian juga punya taste yang sangat tinggi. Si bapak ini tidak suka kalau bahan makanan yang akan dimasak terlihat layu atau sudah terlalu lama di kulkas. Pun soal penyajian makanan, bagi Stian, warna itu sangat penting. "Usahakan ada warna merah atau hijau di tiap penyajian," katanya saat itu.

Karena terlalu strict soal kesegaran sayuran ini, kadang saya merasa sayang dengan banyaknya bahan makanan yang dibuang padahal masih sangat bagus. Pisang yang kecoklatan sedikit, langsung dibuang. Salad yang baru dua hari di kulkas, buang! Daun bawang yang baru dipakai setengah, sisanya buang!

"Well, I could buy it more. No worry," katanya santai.

Bukannya apa, kalau saya tipe orang yang suka makan, mungkin sudah gendut makan sisa bahan makanan di rumah mereka. Sayangnya, saya pun terlalu picky soal makanan dan cepat kenyang.

Meskipun hobi buang-buang bahan makanan, Stian sebenarnya sangat pintar memasak. Saya pun tidak ragu dengan skill masak beliau. Dibandingkan mengganti popok anak, Stian lebih suka pegang panci. Tahun kedua, saat si kembar beranjak besar, tugas memasak saya akhirnya dia yang pegang. He feels happier though.

Karena tahu kaya, Stian juga tidak ragu buang-buang uang. Di rumah sudah terparkir dua mobil, masih menambah satu mobil sport. Padahal garasi saja pas-pasan.

Si bapak satu ini juga hobi beli sepatu olahraga untuk menunjang aktifitas gym-nya. Selain itu, tak terhitung lagi berapa banyak kemeja yang sering dia beli versus yang sering dia pakai. Saya lho yang repot menyetrika.

Meskipun karakter alaminya bossy dan emosional, tapi Stian sangat menghargai equality di dalam rumah tangga. Jam 6 pagi si bapak bangun, sarapan, lalu nge-gym dulu sebelum berangkat ke kantor. Jam 5 sore Stian pulang, langsung masak, lalu tetap setia pula mendongeng sebelum anak tidur. Plus, memandikan anak kalo dibutuhkan. Tengah malamnya, saat si kembar merengek, Stian juga yang bangun dan membuatkan susu. Begitu saja terus alurnya selama 2 tahun saya disana.

Beruntunglah si istri yang mendapatkan suami macam Stian ini. Sudah ganteng, mapan, kaya, stylish, rajin olahraga, jago masak, plus tidak ragu membantu mengurus anak. Bravo!

4. Keluarga Norwegia

Bapak yang keempat ini bernama Marius. Umurnya juga hampir sama dengan Stian, sekitar 45 tahun. Saat tahu pekerjaan Marius, saya sebenarnya cukup kaget. He is a painter alias tukang cat!

Jangan salah, sektor pertukangan di Norwegia menempati peringkat teratas dengan gaji tertinggi, lho! Marius sebenarnya mengelola perusahaan keluarga yang dia sendiri sebagai bosnya. Perusahaan jasa pengecatan ini sudah dia bangun sekitar 8 tahun lalu dan memiliki 5 pegawai sampai sekarang. Meskipun punya perusahaan, dia juga ikut andil dalam proses pengecatan.

Berbeda dengan tiga host dad saya lainnya, Marius termasuk yang super cerewet dan paling hobi mengobrol. Tiap melihat muka saya, selalu saja ada yang dibicarakan. Padahal obrolannya kadang tidak penting, hanya masalah cuaca atau sampah. Kadang obrolan yang pernah dibahas, diulang lagi.

Di mobil, saat kami harus menempuh perjalanan selama 3 jam ke Hemsedal, mulutnya tidak berhenti bercerita. Tidak cukup mengobrol dengan saya, si bapak ini menelpon temannya dan haha hehe sambil menyetir. Selesai dengan si teman satu, lanjut lagi telepon teman satunya. Semua selesai, lalu kembali lagi ke saya.

Tapi di luar sifat cerewetnya,  Marius termasuk orang yang down to earth dan sangat hangatkalau sudah kenal. Saya paling suka senyum Marius yang terlihat sangat genuine dan bersahabat. Tidak ada aura bos sama sekali.

Meskipun fasih berbahasa Inggris, tapi logat Norwegianya masih sangat kental. Pun dengan karakternya, the true Norwegian man! Selain hobi ski dan being outdoor, si bapak juga maniak olahraga lainnya. Dari marathon, ski jumping, renang, golf, sampai berburu pun pernah dilakoni. Super pas dengan si istri yang juga mantan atlit berkuda.

Berlawanan dengan Stian, Marius malah tidak suka buang-buang makanan. Tanpa harus membawa makanan bercita rasa tinggi di rumah, Marius sebisa mungkin menghabiskan apa yang tersedia di kulkas ketimbang harus membeli lagi dan lagi.

Tipikal lelaki Skandinavia, Marius juga sangat menghargai equality di dalam rumah tangga. Si bapak ini tidak segan berbagi tugas mengurus anak dengan istrinya, memisahkan laundry, hingga memasak. Beliau juga paling care dengan istrinya yang kadang butuh "me time".

Di usianya yang baru 30 tahun, Marius sudah bisa membangun kabin sendiri di Hemsedal dengan uang hasil keringatnya tanpa bantuan finansial orang tua sedikit pun.

Sebenarnya kalau ingin dibahas satu per satu, setiap host dad harus mendapat satu tempat postingan di blog ini. Cerita mereka di rumah sebenarnya lebih unik ketimbang apa yang saya ungkapkan di atas. Dari mereka juga saya bisa belajar banyak hal. Contohnya si Stian yang ternyata lebih pandai menyetrika dibanding saya!

Bisa disimpulkan bahwa para suami Eropa lebih cekatan dan tidak segan membantu pekerjaan rumah. Istri tidak lagi berprofesi layaknya pembantu, namun memungkinkan juga untuk bekerja dan membantu finansial keluarga. Tiap host dad saya punya kesibukan masing-masing, tapi sekembalinya ke rumah, mereka tetaplah seorang ayah dan suami yang baik bagi istri dan anak-anaknya. Take a bow untuk para bapak ini!

Kalian sendiri, ada cerita unik apa dari host dad?



Komentar

  1. Saya selalu suka baca blognya....

    BalasHapus
  2. tiap jumat saya selalu menunggu cerita baru dari Nin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waduh! Udah kayak shalat di mesjid aja, tiap Jumatan ;)
      Thanks a looot ya.

      Hapus
  3. seru bgt baca ceritanya... aku juga lagi coba2 melamar untuk jadi Au Pair. Sudah kerja kantoran 5 tahun di Jakarta, tapi merasa something is missing dan seperti stuck di situ2 aja...
    Mohon doanya ya mbak Nin, semoga aku di mudahkan dapet host family di Eropa, dan bisa punya banyak cerita seperti mbak Nin :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai Eka,

      Aaahh.. totally ngerti banget. Sama kayak temen ku, udah kerja di Garuda Indonesia. Tapi mutusin buat berhenti dan jadi au pair aja, soalnya kata dia, lingkungan kerja statis dan ngebosenin banget.

      Anyway, sukses ya! Semoga kamu juga bisa dapet experience yang seru2.

      Hapus
  4. memang karakter orang itu berbeda-beda dan menarik ya...

    BalasHapus
  5. Halo, kak Nin! Selalu suka baca blognya! Btw share yg karakter host mom kakak juga dong...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bule Ketemu Online, Bisakah Serius?

( PERHATIAN!!! SAYA BANYAK SEKALI MENERIMA TESTIMONIALS SOAL COWOK-COWOK DARI INGGRIS YANG MEMINTA ALAMAT SI CEWEK YANG DIKENAL VIA ONLINE. FYI , HAMPIR SEMUA MODUS PENIPUAN SEPERTI INI BERASAL DARI INGGRIS DAN AMERIKA! JANGAN PERNAH TERTIPU KEMASAN KULIT PUTIHNYA, KARENA BISA JADI YANG KALIAN AJAK CHATTING -AN ATAU VIDEO CALL -AN ITU ADALAH PENIPU !! JANGAN PERNAH BERI DATA DIRI SEPERTI NAMA LENGKAP, ALAMAT, SERTA NOMOR IDENTITAS ATAU KARTU KREDIT KE ORANG-ORANG ASING LEWAT DUNIA DIGITAL! BE SMART, BE AWARE, AND PLEASE JANGAN DULU BAPERAN KALO ADA YANG MENGAJAK NIKAH PADAHAL BARU SEMINGGU KENAL!!!) Selain berniat jadi au pair, ternyata blog saya banyak dikunjungi oleh cewek-cewek Indonesia yang ingin pacaran atau sedang dekat dengan bule. Gara-gara tulisan tentang cowok Eropa dan cowok Skandinavia , banyak pembaca blog yang mengirim surel ke saya dan curhat masalah cintanya dengan si bule. Aduh, padahal saya jauh dari kata "ahli" masalah cinta-cintaan. Saya sebetu

Mempelajari Karakter Para Cowok di Tiap Bagian Eropa

*I talk a lot about European boys in this blog, but seriously, this is always the hottest topic for girls! ;) Oke, salahkan pengalaman saya yang jadi serial dater  selama tinggal di Eropa. Tapi gara-gara pengalaman ini, saya juga bisa bertemu banyak orang baru sekalian mempelajari karakter mereka. Cowok-cowok yang saya temui ini juga tidak semuanya saya kencani. Beberapa dari mereka saya kenal saat workshop, festival, ataupun dari teman. Beruntung sekali, banyak juga teman-teman cewek yang mau menceritakan pengalamannya saat berkencan dari cowok ini, cowok itu, and all of them have wrapped up neatly in my head! Secara umum, tulisan yang saya ceritakan disini murni hasil pengalaman pribadi, pengalaman teman, ataupun si cowok yang menilai bangsanya secara langsung. Letak geografis Eropanya mungkin sedikit rancu, tapi saya mengelompokkan mereka berdasarkan jarak negara dan karakter yang saling berdekatan. Kita semua benci stereotipe, tapi walau bagaimana pun kita tetaplah bagi

7 Kebiasaan Makan Keluarga Eropa

Tiga tahun tinggal di Eropa dengan keluarga angkat, saya jadi paham bagaimana elegan dan intimnya cara makan mereka. Bagi para keluarga ini, meja makan tidak hanya tempat untuk menyantap makanan, tapi juga ajang bertukar informasi para anggota keluarga dan pembelajaran bagi anak-anak mereka. Selain table manner , orang Eropa juga sangat perhatian terhadap nilai gizi yang terkandung di suatu makanan hingga hanya makan makanan berkualitas tinggi. Berbeda dengan orang Indonesia yang menjadikan meja makan hanya sebagai tempat menaruh makanan, membuka tudung saji saat akan disantap, lalu pergi ke ruang nonton sambil makan. Selama tinggal dengan banyak macam keluarga angkat, tidak hanya nilai gizi yang saya pelajari dari mereka, tapi juga kebiasaan makan orang Eropa yang sebenarnya sangat sederhana dan tidak berlebihan. Dari kebiasaan makan mereka ini juga, saya bisa menyimpulkan mengapa orang-orang di benua ini awet tua alias tetap sehat menginjak usia di atas 70-an. Kuncinya, pola

Guide Untuk Para Calon Au Pair

Kepada para pembaca blog saya yang tertarik menjadi au pair, terima kasih! Karena banyaknya surel dan pertanyaan tentang au pair, saya merasa perlu membuat satu postingan lain demi menjawab rasa penasaran pembaca. Mungkin juga kalian tertarik untuk membaca hal-hal yang harus diketahui sebelum memutuskan jadi au pair  ataupun tips seputar au pair ? Atau mungkin juga merasa tertantang untuk jadi au pair di usia 20an, baca juga cerita saya disini . Saya tidak akan membahas apa itu au pair ataupun tugas-tugasnya, karena yang membaca postingan ini saya percaya sudah berminat menjadi au pair dan minimal tahu sedikit. Meskipun sudah ada minat keluar negeri dan menjadi au pair, banyak juga yang masih bingung harus mulai dari mana. Ada juga pertanyaan apakah mesti pakai agen atau tidak, hingga pertanyaan soal negara mana saja yang memungkinkan peluang kerja atau kuliah setelah masa au pair selesai. Oke, tenang! Saya mencoba menjabarkan lagi hal yang saya tahu demi menjawab rasa penasar

First Time Au Pair, Ke Negara Mana?

Saya ingat betul ketika pertama kali membuat profil di Aupair World, saya begitu excited memilih banyak negara yang dituju tanpa pikir panjang. Tujuan utama saya saat itu adalah Selandia Baru, salah satu negara impian untuk bisa tinggal. Beberapa pesan pun saya kirimkan ke host family di Selandia Baru karena siapa tahu mimpi saya untuk bisa tinggal disana sebentar lagi terwujud. Sangat sedikit  host family dari sana saat itu, jadi saya kirimkan saja aplikasi ke semua profil keluarga yang ada. Sayangnya, semua menolak tanpa alasan. Hingga suatu hari, saya menerima penolakan dari salah satu keluarga yang mengatakan kalau orang Indonesia tidak bisa jadi au pair ke Selandia Baru. Duhh! Dari sana akhirnya saya lebih teliti lagi membaca satu per satu regulasi negara yang memungkinkan bagi pemegang paspor Indonesia. Sebelum memutuskan memilih negara tujuan, berikut adalah daftar negara yang menerima au pair dari Indonesia; Australia (lewat Working Holiday Visa ) Austria Amerika