Langsung ke konten utama

Belajar Bahasa Asing dengan Anak-anak


Dari awal sebelum datang ke Belgia, saya memang sudah berasumsi bahwa au pair adalah pertukaran budaya antara kita dan keluarga angkat. Dalam ajang pertukaran budaya ini juga, au pair diberikan kesempatan belajar bahasa lokal untuk memudahkan komunikasi sehari-hari dengan host kids dan lingkungan sekitar. Apalagi di Prancis yang kebanyakan penduduknya tidak bisa bahasa Inggris.

Sadar akan tinggal dengan keluarga multibahasa, saya rela beli buku pelajaran bahasa Belanda dan Prancis dari Kesaint Blanc sebagai modal awal 6 bulan sebelum keberangkatan. Meskipun banyak orang Belgia Utara paham bahasa Inggris, tapi saya tidak ingin terperangkap di zona nyaman hanya karena bisa bahasa tersebut. Kalau bisa, saya ingin meminimalisir penggunaan bahasa Inggris di rumah, terutama dengan anak-anak.

Setiap hari saya pelajari buku-buku tersebut secara otodidak dan memutar CD materinya. Sangat menyenangkan, apalagi sebenarnya saya memang suka belajar bahasa asing. Enam bulan belajar tentu saja tidak membuat seseorang langsung fasih bicara bahasa asing, apalagi saya tidak memiliki teman berlatih.  Namun setidaknya saya sudah mengenal beberapa frase atau kata-kata sederhana yang bisa digunakan saat berbicara dengan host kids.

Keluarga saya yang pertama sehari-hari menggunakan bahasa Prancis, meskipun mereka tinggal di lingkungan yang semua orang menggunakan Flemish (bahasa Belanda versi Belgia). Saat saya datang, anak mereka yang pertama baru berusia 2 tahun dan belum terlalu lancar berbicara. Jadi enaknya, kami bisa sama-sama belajar. Banyak kosa kata baru justru saya dapatkan langsung dari si orang tua.

Beberapa kali seminggu saya tetap ikut kursus bahasa Belanda, walaupun sesampainya di rumah kembali menggunakan bahasa Prancis. Saya tidak pernah sedikit pun menggunakan bahasa Inggris ke anak-anak, kecuali saat bicara ke host parents.

Rayan, anak tiri host mom yang berumur 9 tahun, kadang menginap di rumah dan sering kali mengajak saya mengobrol. Walaupun tahu saya tidak bisa bahasa Prancis, si anak ini tetap saja asik bercerita tanpa harus saya respon. Tapi gara-gara sering mengobrol ini juga, saya lalu jadi tempat curhat Rayan. Kalau tidak paham satu frasa atau kosa kata baru, Rayan tidak segan menjelaskan ke saya kembali memakai bahasa tubuh.

Pelajaran bahasa Prancis saya pun berlanjut dengan cleaning lady keluarga ini, Zeza, yang tidak bisa baca tulis. Zeza kadang jadi partner of crime saya kalau harus making a story dengan si host mom. Maklum, Zeza juga tidak terlalu suka dengan sifat host mom yang terlalu bossy. 

Pindah dari keluarga ini, saya tinggal dengan keluarga asli Belgia yang sehari-hari berbicara bahasa Belanda. Sayangnya ketiga anak mereka sudah sangat fasih berbahasa Inggris dan tidak membantu pelajaran bahasa saya sama sekali. Mereka lebih nyaman menggunakan bahasa Inggris untuk menghindari miskomunikasi. Pelajaran bahasa Belanda yang saya pelajari di sekolah pun seperti tidak membekas karena selama 7 bulan full saya jarang praktik, selain di supermarket atau toko roti.

Datang ke Denmark, saya lagi-lagi paham kalau bahasa yang akan digunakan berbeda. Sama seperti persiapan di tahun pertama, saya tetap berusaha mempelajari sedikit bahasa lokal sebelum datang ke negara aslinya. Karena bahasa Denmark tidak terlalu ngetop di Indonesia, saya hanya mempelajari kosa kata sederhana lewat Duo Lingo. Lumayan sih, setidaknya saya tahu kalau kylling itu artinya ayam.

Dua tahun di Denmark, saya betul-betul absen menggunakan bahasa Inggris di rumah dengan para host kid. Umur si kakak saat itu masih 4 tahun dan dua adik kembarnya baru 4 bulan. Emilia, si kakak, awalnya kesal dan mengalami kesulitan berkomunikasi karena saya seperti bisu tuli. Setahun kemudian, malah saya yang paling sering mengejek-ejek dia dengan bahasa Denmark.

Saya bersyukur karena semua host parents tidak pernah memaksa saya menggunakan bahasa Inggris ke si anak. Host parents juga sangat senang saat tahu saya tertarik mempelajari bahasa lokal. Banyak kata-kata baru saya dapatkan langsung dari mereka, terutama di meja makan atau saat mereka menegur si anak. Kata-kata ini kadang saya gunakan kembali sebagai senjata saat si anak tidak mendengar omongan saya.

Satu hal yang saya suka belajar bahasa asing dengan para host kid adalah mereka tidak pernah mengecap bahasa asing saya jelek. Mungkin awalnya si anak ini hanya "hah?" dengan raut aneh. Tapi setelahnya, mereka tidak ambil pusing dan kadang dengan baik hati membenari ejaan saya yang salah. Berbeda dengan para orang dewasa yang malas mendengar imigran berbicara salah-salah dan lebih menyarankan diganti ke Inggris saja.

Dari pengalaman ini, saya tahu, kalau kamu ingin dekat seperti teman dengan host kids, maka speak their languagemeskipun patah-patah! Jangan paksa host kids untuk memahami apa yang kita inginkan. Jangan juga menyalahkan mereka yang tidak bisa berbahasa Inggris. This is our own responsibility to learn their culture and language. Katanya ingin exchange culture kan? Ya inilah saatnya untuk belajar bahasa baru.

Saya tahu, mungkin kita hanya akan tinggal selama setahun atau dua tahun di negara tersebut. Saya juga paham mungkin banyak au pair yang merasa tidak niat belajar bahasa lokal karena tidak tahu akan digunakan dimana. Tapi menurut saya, tidak ada pembelajaran yang sia-sia.

Saya sempat belajar bahasa Prancis 3 tahun lalu dan tidak tahu kapan akan menggunakannya kembali. Musim panas tahun ini, ternyata saya berkesempatan mengunjungi Prancis lagi bersama keluarga yang sekarang. Meskipun banyak kata-kata yang terlupa, tapi sedikit-sedikit saya masih bisa bertanya harga di pasar, mengeja angka, ataupun mengerti sedikit apa yang orang lokal katakan.

Sama halnya seperti bahasa Denmark yang katanya bahasa terjelek di Eropa. Saya tetap bangga mempelajarinya, meskipun dulu saya juga tidak tahu apa manfaatnya kalau harus pulang ke Indonesia. Ternyata, saya pun kembali ke Norwegia yang bahasanya mirip-mirip Danish. Satu lagi, saya juga merasa bangga bisa mengeja dan tahu sistem angka Danish yang nobody in the North can understand, but Danes. Bahkan kalau ada kesempatan lagi, rasanya ingin meneruskan pelajaran bahasa Denmark yang terhenti sampai Modul 4 tahun lalu.

Jadi tidak salahnya mengisi waktu luang datang ke tempat kursus dan belajar bahasa baru, apalagi kalau host family bersedia membayari. Just take that chance! Lha, daripada hanya manyun dan bersih-bersih di rumah. Teman berlatih pun sudah ada, para host kid. Karena meskipun sudah belajar di sekolah, tapi saya tetap merasa kalau tutor terbaik saya selama di Eropa adalah host kids itu sendiri.

Percayalah, kamu akan bangga dengan diri mu sendiri kalau bisa menguasai bahasa asing lain selain Inggris. Plus, jadi modal juga mempercantik cv kerja. So, would you like to learn a new language when you are moving abroad?



Komentar

  1. TENTU...Temen kerja dan bosku dr denmark. tp gak mau ngajarin. mungkin takut ketahuan kalo mereka lagi ngerasanin kita pake bahasa denmark kali ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yah.. napa minta ajarin mereka? Haha! Kan mereka bukan guru ;p

      Lagian bahasa Denmark tuh twisting tongue banget. Makanya orang Denmark sebel kalo imigran gak bisa nyebut kata2 dengan bener ;)

      Hapus
  2. Mbak, terimakasih sudah banyak sudah berbagi di blog ini. Saya tunggu postingan selanjutnya :) Mbak ga berniat jd au pair di Perancis kah?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wahh, kalo kamu baca cerita saya yang lama2, sebelom mutusin mau ke Denmark, saya emang tertariknya ke Prancis ;)

      Hapus
    2. Iya mbak sudah baca yg itu, tapi saya kurang ngeh kenapa ga jadi... hehe (mungkin sy baca lg y) Mbak biasanya menanyakan masalah perduitan ke hf via message website/video call? Tiba-tiba saya ga enak nanyain soal duit2 padahal penting :")

      Hapus
    3. “Masalah perduitan” haha!

      Ini masalah apa, pocket money? Overworked? Atau apa? Kalo soal pocket money mah, harusnya si hf tau dong minimum di negara itu berapa :)

      Terserah kamu mau nanya dimana. Yang bikin kamu nyaman aja. Soalnya orang Eropa gak ambil pusing soal duit. Straight to the point aja :)

      Hapus
    4. Hehe oke mbak, makasih banyak sarannya :)

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bule Ketemu Online, Bisakah Serius?

( PERHATIAN!!! SAYA BANYAK SEKALI MENERIMA TESTIMONIALS SOAL COWOK-COWOK DARI INGGRIS YANG MEMINTA ALAMAT SI CEWEK YANG DIKENAL VIA ONLINE. FYI , HAMPIR SEMUA MODUS PENIPUAN SEPERTI INI BERASAL DARI INGGRIS DAN AMERIKA! JANGAN PERNAH TERTIPU KEMASAN KULIT PUTIHNYA, KARENA BISA JADI YANG KALIAN AJAK CHATTING -AN ATAU VIDEO CALL -AN ITU ADALAH PENIPU !! JANGAN PERNAH BERI DATA DIRI SEPERTI NAMA LENGKAP, ALAMAT, SERTA NOMOR IDENTITAS ATAU KARTU KREDIT KE ORANG-ORANG ASING LEWAT DUNIA DIGITAL! BE SMART, BE AWARE, AND PLEASE JANGAN DULU BAPERAN KALO ADA YANG MENGAJAK NIKAH PADAHAL BARU SEMINGGU KENAL!!!) Selain berniat jadi au pair, ternyata blog saya banyak dikunjungi oleh cewek-cewek Indonesia yang ingin pacaran atau sedang dekat dengan bule. Gara-gara tulisan tentang cowok Eropa dan cowok Skandinavia , banyak pembaca blog yang mengirim surel ke saya dan curhat masalah cintanya dengan si bule. Aduh, padahal saya jauh dari kata "ahli" masalah cinta-cintaan. Saya sebetu

Mempelajari Karakter Para Cowok di Tiap Bagian Eropa

*I talk a lot about European boys in this blog, but seriously, this is always the hottest topic for girls! ;) Oke, salahkan pengalaman saya yang jadi serial dater  selama tinggal di Eropa. Tapi gara-gara pengalaman ini, saya juga bisa bertemu banyak orang baru sekalian mempelajari karakter mereka. Cowok-cowok yang saya temui ini juga tidak semuanya saya kencani. Beberapa dari mereka saya kenal saat workshop, festival, ataupun dari teman. Beruntung sekali, banyak juga teman-teman cewek yang mau menceritakan pengalamannya saat berkencan dari cowok ini, cowok itu, and all of them have wrapped up neatly in my head! Secara umum, tulisan yang saya ceritakan disini murni hasil pengalaman pribadi, pengalaman teman, ataupun si cowok yang menilai bangsanya secara langsung. Letak geografis Eropanya mungkin sedikit rancu, tapi saya mengelompokkan mereka berdasarkan jarak negara dan karakter yang saling berdekatan. Kita semua benci stereotipe, tapi walau bagaimana pun kita tetaplah bagi

7 Kebiasaan Makan Keluarga Eropa

Tiga tahun tinggal di Eropa dengan keluarga angkat, saya jadi paham bagaimana elegan dan intimnya cara makan mereka. Bagi para keluarga ini, meja makan tidak hanya tempat untuk menyantap makanan, tapi juga ajang bertukar informasi para anggota keluarga dan pembelajaran bagi anak-anak mereka. Selain table manner , orang Eropa juga sangat perhatian terhadap nilai gizi yang terkandung di suatu makanan hingga hanya makan makanan berkualitas tinggi. Berbeda dengan orang Indonesia yang menjadikan meja makan hanya sebagai tempat menaruh makanan, membuka tudung saji saat akan disantap, lalu pergi ke ruang nonton sambil makan. Selama tinggal dengan banyak macam keluarga angkat, tidak hanya nilai gizi yang saya pelajari dari mereka, tapi juga kebiasaan makan orang Eropa yang sebenarnya sangat sederhana dan tidak berlebihan. Dari kebiasaan makan mereka ini juga, saya bisa menyimpulkan mengapa orang-orang di benua ini awet tua alias tetap sehat menginjak usia di atas 70-an. Kuncinya, pola

Guide Untuk Para Calon Au Pair

Kepada para pembaca blog saya yang tertarik menjadi au pair, terima kasih! Karena banyaknya surel dan pertanyaan tentang au pair, saya merasa perlu membuat satu postingan lain demi menjawab rasa penasaran pembaca. Mungkin juga kalian tertarik untuk membaca hal-hal yang harus diketahui sebelum memutuskan jadi au pair  ataupun tips seputar au pair ? Atau mungkin juga merasa tertantang untuk jadi au pair di usia 20an, baca juga cerita saya disini . Saya tidak akan membahas apa itu au pair ataupun tugas-tugasnya, karena yang membaca postingan ini saya percaya sudah berminat menjadi au pair dan minimal tahu sedikit. Meskipun sudah ada minat keluar negeri dan menjadi au pair, banyak juga yang masih bingung harus mulai dari mana. Ada juga pertanyaan apakah mesti pakai agen atau tidak, hingga pertanyaan soal negara mana saja yang memungkinkan peluang kerja atau kuliah setelah masa au pair selesai. Oke, tenang! Saya mencoba menjabarkan lagi hal yang saya tahu demi menjawab rasa penasar

Jadi Au Pair Tidak Gratis: Siap-siap Modal!

Beragam postingan dan artikel yang saya baca di luar sana, selalu memotivasi anak muda Indonesia untuk jadi au pair dengan embel-embel bisa jalan-jalan dan kuliah gratis di luar negeri. Dipadu dengan gaya tulisan yang meyakinkan di depan, ujung tulisan tersebut sebetulnya tidak menunjukkan fakta bahwa kamu memang langsung bisa kuliah gratis hanya karena jadi au pair. Banyak yang memotivasi, namun lupa bahwa sesungguhnya tidak ada yang gratis di dunia ini. Termasuk jadi au pair yang selalu dideskripsikan sebagai program pertukaran budaya ke luar negeri dengan berbagai fasilitas gratisan. First of all , jadi au pair itu tidak gratis ya! Ada biaya dan waktu yang harus kamu keluarkan sebelum bisa pindah ke negara tujuan dan menikmati hidup di negara orang. Biaya dan waktu ini juga tidak sama untuk semua orang. It sounds so stupid kalau kamu hanya percaya satu orang yang mengatakan au pair itu gratis, padahal kenyatannya tidak demikian. Sebelum memutuskan jadi au pair, cek dulu biaya apa s