Sebenarnya saya tidak berminat jadi au pair di Denmark sebelumnya. Tujuan kedua saya setelah Belgia adalah Prancis, negara kuliner, seni, dan budaya. Saya memang suka seni dan sempat belajar bahasa Prancis, makanya sayang sekali kalau kemampuan bahasa saya tidak sempat terasah.
Gagal di Prancis, saya mencoba peruntungan di negara Skandinavia. Waktu itu sebetulnya saya ingin ke Swedia, tapi malah mendapatkan keluarga angkat di Denmark. Jujur saja, saya tidak pernah tahu bagaimana membaca Copenhagen dalam bahasa Inggris dengan benar sebelum mengajukan visa ke VFS Global di Jakarta.
Saat itu terpampang layar besar di depan meja customer service yang memperkenalkan kota Kopenhagen dan alam Denmark yang tidak pernah saya tahu sebelumnya. Saya juga baru tahu kalau Kopenhagen mirip Amsterdam yang terdapat kanal di tengah kota. Sebelum wawancara di kedubes pun, saya bingung apa trademark negara Denmark dan apa yang menarik dari tempat ini. Saya sampai harus searching dulu tentang Kopenhagen sebelum nanti ditanya, what do you know about Denmark?
Beberapa buku travelling yang saya baca juga tidak terlalu menonjolkan keindahan Denmark, kecuali Swedia dan Norwegia. Terbukti kan, kalau sebetulnya Denmark tidak terkenal di Indonesia. Banyak masyarakat yang malah menyamakan Denmark dengan Jerman saking tidak tahu letak negara ini dimana. Orang Indonesia yang datang kesana jadi au pair juga jumlahnya sangat sedikit ketimbang Jerman dan Belanda.
Hebatnya, sekarang malah banyak orang Indonesia semakin tahu Eropa Utara dan berminat jadi au pair di salah satu negaranya. Terutama negara di Skandinavia yang terdiri dari Denmark, Norwegia, dan Swedia. Tiga tahun lalu saat pertama kali ke Denmark, saya tidak banyak menemukan au pair Indonesia. Saya yakin pasti ada, tapi jumlahnya hanya beberapa dan pastinya tersebar di beberapa kota.
Sekarang, au pair Indonesia makin banyak yang ingin ke Skandinavia. Namun ada beberapa mitos yang saya dengar tentang Skandinavia dan membuat saya ingin mengoreksinya disini.
Mitos 1: Bisa menabung dari uang saku
Banyak! Banyak sekali anggapan tentang uang saku di Skandinavia lebih tinggi dari negara lainnya hingga membuat au pair di negara ini sangat beruntung. Gara-gara terbujuk uang saku yang dianggap besar, makanya banyak au pair lain yang ingin secepatnya mencari keluarga angkat dan tinggal di sini.
Girls, uang saku sudah diatur sesuai biaya hidup di negara tersebut. Mungkin kamu melihat uang saku di Norwegia sungguh besar, 5600 NOK (2018) per bulan atau sama dengan €580. Tapi jangan lupa juga, Norwegia adalah salah satu negara termahal di Eropa. Uang tersebut belum dipotong pajak yang bisa mencapai 800 NOK per bulan. Belum lagi transportasi bulanan sampai 750 NOK kalau mobilitas kamu cukup tinggi.
Negara di Skandinavia memang menawarkan uang saku yang kelihatan lumayan, tapi biaya hidupnya juga lebih besar ketimbang Eropa Barat. Kalau memang ingin menabung, silakan sebisa mungkin mengatur keuangan agar tidak terlalu boros setiap bulan. Uang saku au pair sangatlah standar dan jarang sekali akan bertambah, kecuali ada kesepakatan suplemen tambahan dari keluarga angkat atau black job. Kalau kamu berpikir uang saku au pair di Skandinavia bisa menutupi kuliah lanjutan dan biaya hidupmu di Eropa nanti, think! Think again!
Pernah saya katakan juga, belajarlah dari para cewek Filipina kalau ingin banyak menabung dengan cara yang hard core. Contohnya di Denmark, dari uang saku 4250 DKK per bulan, mereka menabung hingga 3500-4000 DKK di kampung halaman. Dari tabungan tersebut, mereka bisa sampai membangun rumah dan membiayai adik sekolah, lho!
Saran saya, kalau memang berniat menabung, tujuan utama justru bukan Denmark atau Norwegia. Berlabuhlah ke Belgia atau Luksemburg yang bebas pajak, uang saku tinggi, plus biaya hidupnya yang tidak semahal Skandinavia.
Mitos 2: Melihat Aurora Borealis
Saya tahu, salah satu mimpi terbesar au pair Indonesia yang ingin ke Eropa Utara adalah melihat aurora borealis, the northern lights, atau sang cahaya utara saat musim dingin. That's also one of my dreams indeed. Saya juga belum sempat melihat si aurora karena keduluan mabok laut saat di Islandia.
Tapi, melihat aurora itu butuh perjuangan dan mahal. Kalau kamu berencana tinggal di Kopenhagen, jangan harap bisa melihat secercah aurora saat musim dingin. Aurora hanya bisa dijumpai di langit cerah nan jauh di ujung utara Eropa. Untuk kesana tentunya tidak murah dan harus merencanakan datang di waktu yang tepat. Kecuali kamu tinggal di bagian ujung utara Swedia atau Norwegia, melihat aurora saat musim dingin bukanlah impian yang mudah.
Menabunglah, lalu persiapkan waktu yang tepat untuk memburu aurora. Dua orang teman saya sengaja datang jauh-jauh dan mahal ke Tromsø, Norwegia, untuk melihat pemandangan nan magis ini. Dari waktu satu minggu disana, mereka hanya bisa melihat aurora satu hari saja.
Intinya, kamu tidak harus tinggal di Skandinavia dulu untuk melihat aurora borealis. Kalau pun ingin melihat pemandangan ini di sepanjang musim dingin, carilah keluarga angkat yang tinggal di pedesaan nan jauh di Eropa Utara. Resikonya, kamu harus merelakan jiwa sosial dan modern karena desa-desa di ujung utara Eropa biasanya masih konvensional.
Mitos 3: Batu loncatan kuliah
Banyak calon au pair Indonesia yang melihat Skandinavia sebagai peluang untuk lanjut sekolah ke negara impian. Alasannya, karena mengurus visa ke Skandinavia lebih mudah ketimbang harus ke Jerman atau Austria, misalnya. Dari Skandinavia, biasanya si au pair akan lanjut sekolah ke negara impian yang biaya kuliahnya lebih murah dari Eropa Utara.
Saya tidak tahu niat awal kalian bagaimana. Tapi menurut saya, kalau memang sudah berniat lanjut kuliah di Jerman, sebaiknya mulailah dari negara yang penduduknya berbahasa Jerman. Meskipun harus menunjukkan sertifikat bahasa, tapi setidaknya itulah modal awal yang memang harus kita miliki jika ingin kuliah murah.
Tidak memiliki sertifikat bahasa? Ya berlatih dan belajarlah lebih dulu. Jadi au pair di Skandinavia selama dua atau tiga tahun, lalu ke Jerman dan ujung-ujungnya ingin lanjut sekolah disana, bukankah akan buang-buang waktu?
Banyak teman saya yang golnya lanjut kuliah di Belgia, jadi negara pilihan pertama dia Belanda. Ada juga yang ingin kuliah di Austria, lalu negara utamanya Jerman. Terlihat lebih relevan, hemat waktu yang hanya 2 tahun, lalu straight melamar kuliah, kan?
Kalau kamu merasa ingin menghabiskan waktu di Skandinavia dulu, silakan saja. Setahu saya, jarang sekali ada au pair yang mandiri langsung lanjut kuliah di Swedia, Denmark, atau Norwegia, tanpa bantuan sponsor. Saran lain, boleh saja mengabaikan kursus bahasa Nordik, lalu memilih belajar bahasa Belanda atau Jerman di negara Skandinavia. Jatuhnya memang cheating karena kamu tidak belajar bahasa lokal, tapi kalau memang serius belajar bahasa lain, ya why not?
Terlepas dari mitos yang pernah saya dengar, sebaiknya kalian berpikir ulang untuk jadi au pair disini. Jadi au pair di Skandinavia itu abu-abu. Kamu kadang bingung membedakan batas antara 'ikhlas karena keluarga' dan 'profesional karena menerima bayaran'.
Fakta 1: Au pair = cleaning lady
Saya pernah cerita kalau au pair itu adalah gadis muda serba bisa. Kalau kamu tahunya au pair adalah culture exchanging, mata kamu akan terbuka lebar setelah datang ke Skandinavia.
Sudah jadi rahasia umum kalau au pair di Skandinavia itu tidak ada bedanya dengan tukang bersih-bersih. Yes, I speak the truth! Saya tahu keluarga mean itu ada dimana-mana, tidak hanya di Skandinavia. Tapi saya merasa, mindset keluarga di Denmark dan Norwegia lebih melihat praktik au pair ini sebagai pengganti nanny dan cleaning lady saja. Wajarlah, sewa cleaning lady di Denmark dan Norwegia memang mahal sekali.
Di Eropa Barat, kebanyakan keluarga angkat punya cleaning lady dan biasanya au pair hanya kebagian tugas dominan mengasuh anak saja. Saya memang sempat bermasalah dengan keluarga di Belgia, tapi dua keluarga saya disana semuanya mempunyai cleaning lady. Dua malah! Meskipun karakter mereka yang super bossy dan tidak adil, tapi saya tidak pernah disuruh mengganti sprei atau menyetrika pakaian segunung.
Di Skandinavia, jangan harap menemukan keluarga seroyal itu! Tugas menumpuk mulai dari jaga anak sampai membersihkan kaca. Belum lagi sifat sebagian orang-orang Skandinavia yang kadang close-minded dan menganggap Asia Tenggara hanyalah land of maids! Belum lagi di Swedia banyak keluarga imigran Arab atau India yang charming, tapi juga menyiapkan jadwal berlebih untuk kamu. Siap-siap kebagian tugas beraneka rupa dan bersiaplah pula untuk enggan mengatakan tidak.
Karena seringnya bekerja lembur dan banyak au pair yang diperlakukan tidak adil, di awal tahun 2018 sempat ada diskusi tentang pelarangan au pair non-EU untuk datang ke Denmark. Tidak seperti Swiss yang tegas untuk menghapus pemberian visa au pair pada gadis-gadis non-EU, Denmark menimbang kasus tersebut dan di awal bulan Juli memutuskan untuk tetap membuka kesempatan bagi au pair non-EU datang ke negara mereka.
Padahal saya berharap praktik au pair non-EU ini bisa segera dilaksanakan mengingat banyak keluarga Skandinavia yang tak henti-hentinya menindas au pair mereka. Memangnya mudah mengatakan 'tidak' ke keluarga angkat?! Belum apa-apa, kita malah langsung ditendang tanpa notifikasi dulu.
Fakta 2: Lapak Filipina
Saya sebetulnya sudah diwanti-wanti oleh seorang teman sewaktu di Belgia, "jangan datang ke Denmark, itu lapaknya orang Filipina!"
Kedengarannya lucu, tapi Denmark dan Norwegia memang rumah kedua orang Filipina! Gara-gara populasi mereka yang kebanyakan ini juga, saya sangat skeptis dengan bangsa mereka. Saya mengenal satu atau dua orang teman Filipina yang memang baik. Tapi kalau sudah berkumpul dengan komplotan mereka, tetap saja kembali ke orang Filipina yang kelakuannya norak dan nosy.
Saya mungkin terlalu rasis. Norak bagi saya belum tentu norak bagi mereka. Tapi kelakuan mereka yang norak itu juga membawa imej jelek terhadap au pair Asia di Skandinavia. Semua au pair non-Filipino juga tahu, imej 'au pair = pembantu' di Skandinavia itu sebetulnya didapatkan dari orang Filipina yang mau disuruh kerja apa saja asal dapat uang.
Niat utama mereka jadi au pair itu 90% hanya karena uang, bukan bagian pertukaran budaya. Kebanyakan au pair Filipina ini juga 'lulusan' pembantu profesional dari Singapura atau Hongkong. Makanya mereka ahli mengurus pekerjaan rumah dan sangat patuh dengan keluarga angkat.
Tujuan asli au pair yang harusnya pertukaran budaya pun akhirnya rusak oleh beberapa komplotan Filipina ini. Mereka sampai mengelabui syarat utama au pair yang tidak boleh memiliki anak dan menikah. Banyak sekali au pair Filipina yang saya kenal memang tidak menikah, tapi anaknya banyak!
Sebalnya, imej au pair Indonesia yang bermuka mirip mereka pun kena imbas. Tanpa harus bertanya lebih dulu, orang di Denmark dan Norwegia langsung saja menebak kalau gadis muda dengan muka melayu seperti kita, asalnya pasti dari Filipina dan bekerja sebagai au pair. Saya tidak malu dengan status au pair-nya. Tapi saya sebal kalau dianggap gadis Asia miskin yang hanya datang ke Skandinavia untuk jadi pembantu dan memanfaatkan cowok lokal untuk dapat izin tinggal.
Satu cowok Islandia close-minded yang pernah saya temui sampai berkata, "orang Asia yang datang ke Eropa itu hanya ada dua, super kaya atau super pintar (karena beasiswa)."
Maksudnya, selain itu, pasti datang ke Eropa sebagai tukang bersih-bersih. Memang sialan!
Imej 'direndahkan' seperti ini herannya hanya saya dapat di Skandinavia. Di Belgia, hampir semua orang tidak tahu apa itu au pair. Saat tahu pun, mereka sangat terbuka dan tidak memandang rendah pekerjaan ini. Plusnya lagi, yang jadi au pair di Belgia tidak hanya dari Filipina, tapi merata dari semua negara non-EU.
Lalu akhirnya saya paham, orang Filipina memilih datang ke Skandinavia karena syarat visanya super mudah dan agensinya dimana-mana. Berbeda dengan Belgia atau Jerman yang syaratnya bejibun plus kemungkinan dapat visa kecil. Jadi kalau kamu malas disangka orang Filipina yang berprofesi sebagai pembantu, datanglah ke negara bersyarat banyak seperti Jerman, Austria, Belgia, atau Prancis!
Fakta 3: Malas belajar bahasa
Kecuali kamu tidak berniat tinggal lama di Skandinavia, belajar bahasa Nordik akan terkesan buang-buang waktu. Di Denmark, semua keluarga angkat diwajibkan membayar sejumlah uang muka untuk biaya kursus bahasa Denmark bagi para au pair. Dengan pembayaran di awal ini, diharapkan au pair akan serius belajar bahasa hingga 24 bulan ke depan. Sementara di Norwegia, keluarga angkat berkewajiban menyiapkan dana hingga 8400 NOK per tahun untuk biaya kursus dan suplemen belajar.
Di Swedia, biaya kursus bahasa bagi au pair gratis, namun hanya dikhususkan untuk au pair saja. Kalau ingin mengambil kelas bahasa di tempat yang lebih bonafit, au pair atau keluarga angkat harus membayar uang penuh. Sayangnya, meskipun gratis, namun banyak saja au pair yang tidak ingin belajar bahasa dan memilih berdiam diri di rumah. Meskipun keluarga angkat banyak yang bersedia mendukung para au pair untuk ikut kursus, mungkin tidak sampai 5% au pair di Skandinavia yang mau datang dan serius belajar hingga akhir masa au pair mereka. Kebanyakan hanya serius di awal dan puas sampai level A1 saja.
Saya tahu, tidak ada pembelajaran yang sia-sia memang. Apalagi kalau kita tekun dan berniat menguasai satu bahasa asing lain. Saya pribadi hanya menjadikan sekolah bahasa sebagai tempat mencari teman dan bertukar pikiran dengan para imigran lainnya. Belajar bahasa Denmark selama dua tahun belum tentu membuat saya langsung fasih dan mengerti bahasa Nordik lainnya. Meskipun bahasa Nordik mirip-mirip (kecuali Finlandia), tapi belajar juga butuh waktu.
Lain halnya dengan bahasa Belanda, Prancis, Jerman, atau Rusia yang bisa dipakai hampir di semua penjuru Eropa, tidak ada orang yang benar-benar berniat belajar bahasa Nordik kecuali akan tinggal lebih dari 2 tahun. Mengingat hampir semua angkatan di Skandinavia sangat lancar berbahasa Inggris, membuat banyak imigran jadi manja dan nyaman berkomunikasi tanpa harus belajar bahasa lokal.
⚘ ⚘ ⚘
Skandinavia memang indah. The crisp air, soothing forest, great public transportation service, or hot blond guys would definitely seduce you! Boleh saja mencicipi tinggal dan jalan-jalan di negara mahal ini, tapi tetaplah bersiap dengan semua pengalaman buruk yang bisa menghantui masa au pair mu. Scandinavian host families won't be easy.
Saran dari saya, kalau memang ini adalah pengalaman pertama mu jadi au pair, jangan pernah memilih Denmark atau Norwegia. I bet, you are still naive and afraid of facing a cross-cultural communication. Pilihlah Swedia yang masa au pairnya hanya satu tahun dan kebanyakan orang Swedia juga sudah terbuka dengan imigran. Atau, jadikanlah Denmark dan Norwegia sebagai negara kedua jika kamu memang ingin tinggal di Skandinavia. To be perfectly honest, I am so happy opted for Belgium as my first host country.
How about you? Are Scandinavian countries your utopian dream?
Halo, senangnya baca postingan baru (nambah wawasan banget hehe)
BalasHapusMenjawab pertanyaan terakhir, aku milih Belgia dan Prancis (karena mau mempelajari bahasanya sih) dan akhirnya match sama sebuah keluarga di Perancis setelah sempat tidak mau lagi apply jadi au pair (karena sempat ditolak padahal sudah sangat berharap wkwk)
Sekarang lagi persiapan dokumen2. Thanks ya sudah sharing cerita jadi au pair, apalagi post-an sebelum ini... jadi semakin semangat ke Prancis-nya walaupun banyak tantangan :)
I wish you all the joy and happiness!
(P.S : temanku adalah salah satu "korban" dari au pair Indonesia yg tipikalnya "iya-iya" aja, terus yg jadi kena imbasnya adalah dia yg notabene adalah au pair selanjutnya (sedih) Penyebabnya? karena tujuanny memang bukan belajar budaya atau bahasa lagi, tapi cari duit.)
Cerita buruk au pair emang ada dimana2. Tapi di Skandinavia yang paling sering aku denger. Hf di Skandinavia emang ‘demen’ tuh sama au pair yang tujuannya cuma cari uang. Soalnya bisa dibabuin asal dibayar berapapun. Kadang ngerusak pasaran.
HapusLagian, kalopun mau cari duit ya sah2 aja. Cuman gak usah diomongin bangetlah. Ngerugiin diri sendiri.
Anyway, thank you ya sharing-nya. Good luck sama semua persiapannya ke Prancis. Hope everything goes smoothly ;)
Ini tulisannya semuanya............ benar sekali:'D. Aku dpt HF di DK karena terpepet harus cepet2 cari HF baru hehe
BalasHapusdan memang.... beberes rumahnya cukup hardcore :D
Maklum... di Denmark banyak yang mampu bayar au pair, tapi gak mampu bayar cleaning lady. Jadi ya itu, biar gak mau rugi, sekalian aja kerjaan au pair merangkap semua2nya.
Hapus