Langsung ke konten utama

Pindah ke Swiss


"Nin, do you want to move with us to Switzerland?"

Menurut saya, kekayaan itu adalah salah satu privilege yang bisa mendekatkan kita pada impian. Sama halnya dengan host family saya ini. Awal tahun lalu saya dibuat kaget dengan kabar besar yang mereka sampaikan, "we are going to move to Swizerland!" kata host mom saya sumringah.

Hah???!!! Rencana dari kapan? Kapan pindahnya?

Tiba-tiba. Iya, rencana pindahnya tiba-tiba, tapi impian pindahnya sudah lama. Dari sejak host mom dan host dad saya bertemu, mereka ternyata sama-sama punya impian untuk tinggal di Pegunungan Alpen. Tadinya ingin menunggu anak-anak mereka remaja, tapi setelah berdiskusi panjang lebar, mereka memutuskan untuk pindah akhir tahun ini ke Zermatt, Swiss.

"It's easier for kids when they're young. Jadinya mereka nanti bisa belajar 3 bahasa baru secara cepat; Jerman, Prancis, dan Inggris," tambah host mom.

Zermatt, desa kecil di atas Pegunungan Alpen yang berdekatan dengan Italia, adalah tempat favorit mereka ber-ski saat musim dingin. Katanya dulu mereka hampir mengadakan pesta pernikahan disana, hingga diubah ke Prancis Selatan. Tapi tak heran mengapa yang dipilih Swiss. Selain sama-sama negara mahal, pajak di Swiss malah lebih rendah dari Norwegia meskipun biaya hidupnya tinggi. Tak rugilah jika harus pindah dari negara sekaya Norwegia.

Proses kepindahan ini pun berjalan dengan sangat cepat. Maret lalu, mereka sudah deal membeli rumah di Zermatt yang harganya hampir 8 juta Franc atau lebih dari Rp100 miliar. Mungkin "tak seberapa", mengingat di Indonesia harga rumah seharga itu juga ada. Tapi yang berbeda, rumah di Pegunungan Alpen tentu saja lebih high-end ketimbang yang ada di perkotaan besar di Indonesia.

Awal tahun lalu pun, saya beruntung diajak 'dinas' ke Zermatt. Mendengar namanya saja sudah asing bagi traveler musiman seperti saya ini. Di Swiss saya tahunya hanya Luzern, Zürich, Bern, atau Interlaken. Tapi setelah diajak ke Zermatt, seriously saying, this IS the real Switzerland yang selama ini memang ada di otak saya. Zürich? Jauuuhh! Luzern? Masih kalah! Interlaken? Mainstream!





Bagi yang belum pernah mendengar Zermatt, pasti akan kenal kalau saya menyebut cokelat Toblerone. Gambar yang ada di kemasan cokelat sebetulnya adalah Gunung Matterhoorn di Zermatt, sementara gambar beruang di sampingnya adalah coat of army Bern, kota dimana produk tersebut berasal.

Saya juga mengerti mengapa host family saya memilih tempat ini sebagai rumah baru mereka karena Zermatt is a special place! Desa ini terletak di kaki Gunung Matterhoorn yang memang terkenal di kalangan beberapa turis untuk olahraga ski. Tempatnya suuuper bersih dan hampir tidak ada polusi. Bagaimana tidak, di desa ini penduduknya tidak boleh mempunyai mobil pribadi, kecuali para pemilik toko. Mobil yang ada pun berukuran kecil bermesin elektrik karena semua tempat sebetulnya bisa diakses dengan berjalan kaki ataupun sepeda.




FYI, dari kecil, saya memang fans berat Swiss gara-gara sering nonton iklan Alpenliebe. Jingle iklannya pun sampai sekarang masih terngiang di kepala saya. Bahkan sepenggal kata-katanya, ".... terciptalah.... dari Pegunungan Alpen..." dan gambaran Pegunungan Alpen berumput hijau serta sapi-sapinya yang menge-moo. Padahal permen Alpenliebe sendiri produknya Italia, lho! Mungkin Pegunungan Alpen yang waktu itu ada di iklan memang ada di Italia, ya. Saya memang datang kesini saat musim dingin, tapi gambaran Zermatt di musim semi yang gambarnya ditunjukkan host dad adalah wujud nyata imajinasi saya tentang Swiss selama ini.

Ngomong-ngomong, meskipun datang kesini bukan untuk ber-ski, tapi saya punya kesempatan langka naik cable car tertinggi di Eropa yang mencapai ketinggian 3883 meter di atas permukaan laut. Menariknya lagi, cable car ini berteknologi 3S dengan empat sisi kaca berlapis kristal Swarovski. Saya bisa melihat hamparan salju menyelimuti Pegunungan Alpen sampai 360°!




Anyway, kembali lagi, karena Swiss adalah negara mahal, pindah kesini pasti butuh persiapan finansial ekstra. Selain harus menjual 2 rumah di Norwegia, host family saya juga harus give up dengan semua pekerjaan yang mereka miliki di sini. Yang saya tahu, mereka juga sudah siap membangun bisnis properti baru yang akan dijalani di Zermatt. Again, kalau tidak punya banyak uang, mana mungkin berani berencana secara spontan seperti ini.

Apalagi keluarga angkat saya merasa pindahan kali ini hanya sebagai trial seberapa betah mereka dengan kehidupan baru. Lima tahun adalah waktu yang akan mereka coba. “Ya kalau tidak betah, kami bisa pindah lagi ke Norwegia dan beli rumah baru di Oslo,” kata host mom santai.

Ohh, kalimat pembuka saya di postingan ini sebetulnya sempat ditanyakan host mom secara basa-basi. Untungnya, saat itu mereka tahu kalau saya berencana kuliah lagi di Norwegia. Lagipula Swiss sudah menutup kemungkinan orang Asia bisa jadi au pair disana. Yang paling penting, I am fed up of being au pair!

If you could live anywhere in the world, where would you live?



Komentar

  1. Yaampun. Semudah itu ya :)) Saya suka foto yang dipertokoan itu. Keren sekali :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalo orang kaya mah gampang! Besok punya rumah baru langsung bisa, sakingnya.
      Iya, emang epik banget sih fotonya dimana2 :)

      Makasih ya.

      Hapus
    2. Wkwkwkw. Iya, ya. Terkadang memang tidak bisa mengelak, walaupun uang bukan segalanya, tapi kadang bisa bikin bahagia hehe.

      Iya, serasa di dunia Harry Potter.

      Beberapa minggu yang lalu aku kaget, kenapa yang blogspot tidak bisa diakses. Ternyata sudah .com :)) Senang sekali :))

      Hapus
    3. Betul sekali. Uang bukanlah segalanya, tapi uang bisa mendekatkan kita dengan impian yang bikin tambah bahagia :)

      Oh ya? Padahal biasanya udah direct link lho ke alamat yang baru. Aku ganti soalnya yang kemaren kepanjangan banget :D

      Hapus
    4. Hi .. ada info cara pindah keswiss? Thank you

      Hapus
    5. Hi .. ada info cara pindah keswiss? Thank you

      Hapus
  2. Jadinya kamu nanti ikut pindah sama mereka atau lanjut sekolah aja, Nin?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Seperti yang aku bilang di akhir2 kalimat, Crys;
      . Mereka udah tau kalo aku bakalan kuliah di Oslo
      . Orang Indo gak bisa jadi au pair di Swiss
      . (Paling penting) aku udah eneg banget jadi au pair

      Jadi aku gak ikut pindah :)

      Hapus
    2. Serius udh eneg kak?

      Bukankah semua nya bermula dari aupair?😢

      Hapus
    3. Kalo kamu udah jadi au pair 5th kayak aku, ngasuh anak orang, tinggal sama orang, pergaulan terbatas, baru ngerti deh gimana rasanya “eneg itu” 😇

      Hapus
  3. Serius org Indo gabisa aupair di swiss, kak? Soalnya aku cek di situs aupair world bisa ._.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo.. :)
      Untuk ke Swiss, orang Indonesia bisa kok. Hanya aja, mesti kamu pastiin dulu kantonnya (wilayahnya) karena tidak semua kanton menerima non-EU :)

      Hapus
  4. What a great photo!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bule Ketemu Online, Bisakah Serius?

( PERHATIAN!!! SAYA BANYAK SEKALI MENERIMA TESTIMONIALS SOAL COWOK-COWOK DARI INGGRIS YANG MEMINTA ALAMAT SI CEWEK YANG DIKENAL VIA ONLINE. FYI , HAMPIR SEMUA MODUS PENIPUAN SEPERTI INI BERASAL DARI INGGRIS DAN AMERIKA! JANGAN PERNAH TERTIPU KEMASAN KULIT PUTIHNYA, KARENA BISA JADI YANG KALIAN AJAK CHATTING -AN ATAU VIDEO CALL -AN ITU ADALAH PENIPU !! JANGAN PERNAH BERI DATA DIRI SEPERTI NAMA LENGKAP, ALAMAT, SERTA NOMOR IDENTITAS ATAU KARTU KREDIT KE ORANG-ORANG ASING LEWAT DUNIA DIGITAL! BE SMART, BE AWARE, AND PLEASE JANGAN DULU BAPERAN KALO ADA YANG MENGAJAK NIKAH PADAHAL BARU SEMINGGU KENAL!!!) Selain berniat jadi au pair, ternyata blog saya banyak dikunjungi oleh cewek-cewek Indonesia yang ingin pacaran atau sedang dekat dengan bule. Gara-gara tulisan tentang cowok Eropa dan cowok Skandinavia , banyak pembaca blog yang mengirim surel ke saya dan curhat masalah cintanya dengan si bule. Aduh, padahal saya jauh dari kata "ahli" masalah cinta-cintaan. Saya sebetu

Mempelajari Karakter Para Cowok di Tiap Bagian Eropa

*I talk a lot about European boys in this blog, but seriously, this is always the hottest topic for girls! ;) Oke, salahkan pengalaman saya yang jadi serial dater  selama tinggal di Eropa. Tapi gara-gara pengalaman ini, saya juga bisa bertemu banyak orang baru sekalian mempelajari karakter mereka. Cowok-cowok yang saya temui ini juga tidak semuanya saya kencani. Beberapa dari mereka saya kenal saat workshop, festival, ataupun dari teman. Beruntung sekali, banyak juga teman-teman cewek yang mau menceritakan pengalamannya saat berkencan dari cowok ini, cowok itu, and all of them have wrapped up neatly in my head! Secara umum, tulisan yang saya ceritakan disini murni hasil pengalaman pribadi, pengalaman teman, ataupun si cowok yang menilai bangsanya secara langsung. Letak geografis Eropanya mungkin sedikit rancu, tapi saya mengelompokkan mereka berdasarkan jarak negara dan karakter yang saling berdekatan. Kita semua benci stereotipe, tapi walau bagaimana pun kita tetaplah bagi

7 Kebiasaan Makan Keluarga Eropa

Tiga tahun tinggal di Eropa dengan keluarga angkat, saya jadi paham bagaimana elegan dan intimnya cara makan mereka. Bagi para keluarga ini, meja makan tidak hanya tempat untuk menyantap makanan, tapi juga ajang bertukar informasi para anggota keluarga dan pembelajaran bagi anak-anak mereka. Selain table manner , orang Eropa juga sangat perhatian terhadap nilai gizi yang terkandung di suatu makanan hingga hanya makan makanan berkualitas tinggi. Berbeda dengan orang Indonesia yang menjadikan meja makan hanya sebagai tempat menaruh makanan, membuka tudung saji saat akan disantap, lalu pergi ke ruang nonton sambil makan. Selama tinggal dengan banyak macam keluarga angkat, tidak hanya nilai gizi yang saya pelajari dari mereka, tapi juga kebiasaan makan orang Eropa yang sebenarnya sangat sederhana dan tidak berlebihan. Dari kebiasaan makan mereka ini juga, saya bisa menyimpulkan mengapa orang-orang di benua ini awet tua alias tetap sehat menginjak usia di atas 70-an. Kuncinya, pola

Guide Untuk Para Calon Au Pair

Kepada para pembaca blog saya yang tertarik menjadi au pair, terima kasih! Karena banyaknya surel dan pertanyaan tentang au pair, saya merasa perlu membuat satu postingan lain demi menjawab rasa penasaran pembaca. Mungkin juga kalian tertarik untuk membaca hal-hal yang harus diketahui sebelum memutuskan jadi au pair  ataupun tips seputar au pair ? Atau mungkin juga merasa tertantang untuk jadi au pair di usia 20an, baca juga cerita saya disini . Saya tidak akan membahas apa itu au pair ataupun tugas-tugasnya, karena yang membaca postingan ini saya percaya sudah berminat menjadi au pair dan minimal tahu sedikit. Meskipun sudah ada minat keluar negeri dan menjadi au pair, banyak juga yang masih bingung harus mulai dari mana. Ada juga pertanyaan apakah mesti pakai agen atau tidak, hingga pertanyaan soal negara mana saja yang memungkinkan peluang kerja atau kuliah setelah masa au pair selesai. Oke, tenang! Saya mencoba menjabarkan lagi hal yang saya tahu demi menjawab rasa penasar

First Time Au Pair, Ke Negara Mana?

Saya ingat betul ketika pertama kali membuat profil di Aupair World, saya begitu excited memilih banyak negara yang dituju tanpa pikir panjang. Tujuan utama saya saat itu adalah Selandia Baru, salah satu negara impian untuk bisa tinggal. Beberapa pesan pun saya kirimkan ke host family di Selandia Baru karena siapa tahu mimpi saya untuk bisa tinggal disana sebentar lagi terwujud. Sangat sedikit  host family dari sana saat itu, jadi saya kirimkan saja aplikasi ke semua profil keluarga yang ada. Sayangnya, semua menolak tanpa alasan. Hingga suatu hari, saya menerima penolakan dari salah satu keluarga yang mengatakan kalau orang Indonesia tidak bisa jadi au pair ke Selandia Baru. Duhh! Dari sana akhirnya saya lebih teliti lagi membaca satu per satu regulasi negara yang memungkinkan bagi pemegang paspor Indonesia. Sebelum memutuskan memilih negara tujuan, berikut adalah daftar negara yang menerima au pair dari Indonesia; Australia (lewat Working Holiday Visa ) Austria Amerika