Langsung ke konten utama

Experience The Best of Norway (For Free): Yuk Coba WWOOF!


Ingat sekali bagaimana dulu awal-awal saya mencari cara untuk bisa tinggal di luar negeri, salah satu informasi yang sering muncul lewat mesin pencari adalah WWOOF. Membaca deskripsinya, saya merasa WWOOF bisa jadi salah satu cara bagi kita yang ingin merasakan langsung kehidupan di luar negeri  khususnya di daerah perkebunan, peternakan, atau persawahan.

WWOOF atau World Wide Opportunities on Organic Farms sudah ada lebih dari 50 tahun lalu dan awalnya merupakan wadah komunitas yang mendukung para petani lokal untuk memfasilitasi edukasi seputar pertanian organik dan sustanaible living. Didirikan di Britania Raya tahun 1971, WWOOF adalah salah satu program pertukaran pendidikan dan budaya pertama di dunia. Sekarang, WWOOF sudah tersebar di lebih dari 130 negara di dunia  termasuk Indonesia, dan jumlahnya diperkirakan akan terus berkembang.

Bagi yang tertarik belajar lebih banyak tentang seluk beluk pertanian organik – atau setidaknya memegang prinsip dan filosofi yang sama tentang sustainable living, WWOOF menawarkan banyak kesempatan. Mulai dari keterampilan praktis dalam pertanian dan perkebun organik, tinggal bersama host farmers di area pedesaan, ikut memajukan gerakan kehidupan berkelanjutan, serta berpartisipasi dalam program pertukaran budaya. Pendeknya, kita bisa homestay gratis di pedesaan dan bekerja sebagai sukarelawan di lahan milik petani yang akan jadi tuan rumah. Asiknya lagi, WWOOF tak seperti au pair yang punya batasan umur, didominasi oleh perempuan, dan memerlukan skillset tertentu. Sounds enticing?

Kehidupan di pedesaan erat kaitannya dengan padang rumput yang luas dan hewan ternak

Saya sempat berpikir untuk jadi WWOOFer dulunya. Tapi karena terkendala dana dan masih belum sepenuhnya yakin tentang konsep WWOOF, maka saya putuskan untuk jadi au pair saja. Meski akomodasi dan makan ditanggung, namun untuk berangkat ke negara tujuan juga tetap butuh tiket dan visa yang tak murah. Namun sekarang, saya memahami konsep WWOOF dengan perspektif yang berbeda. Apalagi dengan banyaknya DM yang masuk menanyakan bagaimana bisa tinggal di luar negeri tanpa harus jadi au pair dan pelajar, maka WWOOFing di Eropa bisa jadi salah satu alternatif yang bisa kalian pilih! Bagusnya lagi, beberapa host farmers menerima pasangan WWOOFer yang ingin membantu perkebunan bersama. Jadi kalau kebetulan sedang liburan dengan pacar, suami, atau keluarga, kamu bisa mencari host farmers yang bersedia menerima kalian berdua.


Beberapa pekan lalu, seorang kolega asal Spanyol cerita kalau adiknya sedang berada di Norwegia Utara untuk program pertukaran budaya. Saya pikir jadi au pair, namun bukan. Adiknya ternyata sedang WWOOF di perkebunan greenhouse milih salah satu petani lokal. Lalu, we were all curious, kenapa harus di Norwegia Utara yang musim semi kali ini saja kadang masih bersalju??

"Well, it's a unique experience and cheaper option, you know?!" jawab kolega saya.  "Kata adik saya, kalau mau merasakan the real Norway itu harus lari ke Utara. Sayangnya, Norwegia terlalu mahal jika hanya untuk jalan-jalan sementara waktu dan transportasi di Utara pun tak sefleksibel di kota-kota besar. Makanya dia coba WWOOF karena cocok dengan gaya hidupnya sebagai vegan dan kebetulan hobi travelling juga."

Oke. Make sense dan saya sepakat! The most picturesque landscapes of Norway memang hanya terpusat di bagian Barat dan Utara saja. Jangankan untuk turis, bagi orang lokalnya sendiri pun, jalan-jalan sekitaran Norwegia memang mahal dibandingkan dengan menghabiskan uang ke Eropa Selatan. Mengikuti adik kolega saya di atas, WWOOF juga sangat menguntungkan bagi para travellers yang ingin liburan murah di Norwegia!

Salah satu sudut pedesaan di Vestlandet, Norwegia Barat

Kedengarannya sedikit ambigu jika WWOOF dikaitkan dengan liburan mengingat untuk homestay gratis kita tetap harus bekerja membantu host farmers. Namun karena sifat kerjanya yang fleksibel, kita bisa membantu banyak petani di tempat berbeda sekalian pindah-pindah desa selama waktu kunjung. 

Lalu apa cara terbaik untuk WWOOF di Norwegia (atau desa-desa lain di Eropa) bagi orang Indonesia?

1. Jadi turis

Jika memutuskan berangkat dari Indonesia, kita tetap perlu visa kunjungan Schengen maximum 90 hari karena WWOOF sendiri tidak ada visa resminya. Biaya tiket pesawat dan visa Schengen juga harus ditanggung sendiri karena host farmers tidak akan mensponsori dokumen yang dibutuhkan. Cara terbaik yang bisa dilakukan hanyalah dengan mendapatkan visa Schengen dan berangkat sendiri. Sesampainya di negara tujuan, barulah kita bisa memanfaatkan program WWOOF untuk homestay gratis. Tak hanya Eropa, kita juga bisa memilih terbang dan WWOOF ke negara-negara lain tanpa visa!

2. Tunggu libur musim panas

Bagi au pair, pelajar, atau siapa pun yang sudah berada di Norwegia, beruntunglah kita yang mendapatkan waktu cuti 25 hari per tahun dan seringnya dimanfaatkan saat musim panas. Yang saya tahu, tak semua au pair dan pelajar punya uang untuk liburan musim panas. It's better for international students karena mereka diperbolehkan bekerja penuh waktu selama liburan. Sementara au pair, libur ya libur dan tak boleh dimanfaatkan untuk cari kerja tambahan di luar. Then how about experiencing a rural life  for free? WWOOF sifatnya hanya sukarela dan sama sekali tak melanggar kontrak mu dengan host family. Lumayan, bisa merasakan kehidupan yang tenang dari perkotaan, belajar lebih banyak tentang hasil kebun organik, dapat kenalan baru, dan tentu saja liburan hemat biaya. Kalau takut mati gaya kerja sendirian, bisa ajak juga teman au pair atau sejawat lain yang juga tertarik kerja di kebun!


Masih kurang yakin bisa tinggal di pedesaan dan bekerja bersama hewan-hewan ternak?

Sama seperti au pair, WWOOF tentu saja tidak untuk semua orang. Meski kamu bisa mendapatkan pengalaman berbeda tinggal bersama petani di pedesaan, namun tak semua orang betah hidup dengan ketenangan yang hakiki seperti ini. Bagi kebanyakan orang, kerja di perkebunan juga berat karena harus bangun pagi memetik stroberi atau harus mengembala kambing setiap hari. Sayangnya saya belum pernah mencoba WWOOF dan tak bisa sharing lebih banyak. Yang saya tahu, dominan orang Norwegia sangat ramah hewan dan pastikan kalau kamu bukan orang yang takut hewan, misalnya anjing, kuda, babi, bebek, atau domba. Seperti yang saya uraikan di atas juga, kamu tak perlu punya skillset bercocok tanam dulu untuk jadi WWOOFer. Asal punya prinsip hidup yang sama dengan gol WWOOF, program pertukaran budaya ini bisa dicoba.

Selain akomodasi, host farmers juga menyediakan makanan dari hasil perkebunan organik setiap hari

Pun sama halnya dengan bayangan semu tentang luar negeri, harap dicatat juga bahwa program pertukaran budaya seperti ini bisa tak seindah realita. Beberapa orang pernah mengalami kejadian tidak mengenakan dari si host farmers yang abuse jam kerja para WWOOFer, tempat tinggal yang kurang layak, sampai kualitas makanan yang kurang baik. Karena kita hanya bekerja sebagai sukarelawan dengan tenaga yang tak dibayar, para tuan rumah juga harusnya sadar bahwa mereka tak berhak apapun atas kita. Mereka tak bisa menahan kita tinggal berminggu-minggu atau komplen jika pekerjaan kita kurang baik. Walau bagaimana pun, tujuan kita bukan hanya untuk membantu para petani atau 'work for board and lodging', tapi jauh lebih luas daripada itu. Meski dapat host farmers jahat juga perkara apes, tapi setidaknya masih bisa diminimalisir dengan komunikasi yang baik antara kedua belah pihak.


So, thinking to be a WWOOFer in Norway for a week, two weeks, a month, or even 3-month? Kamu bisa mulai baca-baca dulu konsepnya dan scanning para petani di WWOOF Norway, atau jika ingin melihat kesempatan di negara lain, buka situs WWOOF International.

Karena hidup di perkampungan Norwegia tak seburuk yang orang-orang pikirkan, sepertinya saya kepikiran juga untuk WWOOFing di Norwegia Barat someday! Let's put this on the list!



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bule Ketemu Online, Bisakah Serius?

( PERHATIAN!!! SAYA BANYAK SEKALI MENERIMA TESTIMONIALS SOAL COWOK-COWOK DARI INGGRIS YANG MEMINTA ALAMAT SI CEWEK YANG DIKENAL VIA ONLINE. FYI , HAMPIR SEMUA MODUS PENIPUAN SEPERTI INI BERASAL DARI INGGRIS DAN AMERIKA! JANGAN PERNAH TERTIPU KEMASAN KULIT PUTIHNYA, KARENA BISA JADI YANG KALIAN AJAK CHATTING -AN ATAU VIDEO CALL -AN ITU ADALAH PENIPU !! JANGAN PERNAH BERI DATA DIRI SEPERTI NAMA LENGKAP, ALAMAT, SERTA NOMOR IDENTITAS ATAU KARTU KREDIT KE ORANG-ORANG ASING LEWAT DUNIA DIGITAL! BE SMART, BE AWARE, AND PLEASE JANGAN DULU BAPERAN KALO ADA YANG MENGAJAK NIKAH PADAHAL BARU SEMINGGU KENAL!!!) Selain berniat jadi au pair, ternyata blog saya banyak dikunjungi oleh cewek-cewek Indonesia yang ingin pacaran atau sedang dekat dengan bule. Gara-gara tulisan tentang cowok Eropa dan cowok Skandinavia , banyak pembaca blog yang mengirim surel ke saya dan curhat masalah cintanya dengan si bule. Aduh, padahal saya jauh dari kata "ahli" masalah cinta-cintaan. Saya sebetu

Mempelajari Karakter Para Cowok di Tiap Bagian Eropa

*I talk a lot about European boys in this blog, but seriously, this is always the hottest topic for girls! ;) Oke, salahkan pengalaman saya yang jadi serial dater  selama tinggal di Eropa. Tapi gara-gara pengalaman ini, saya juga bisa bertemu banyak orang baru sekalian mempelajari karakter mereka. Cowok-cowok yang saya temui ini juga tidak semuanya saya kencani. Beberapa dari mereka saya kenal saat workshop, festival, ataupun dari teman. Beruntung sekali, banyak juga teman-teman cewek yang mau menceritakan pengalamannya saat berkencan dari cowok ini, cowok itu, and all of them have wrapped up neatly in my head! Secara umum, tulisan yang saya ceritakan disini murni hasil pengalaman pribadi, pengalaman teman, ataupun si cowok yang menilai bangsanya secara langsung. Letak geografis Eropanya mungkin sedikit rancu, tapi saya mengelompokkan mereka berdasarkan jarak negara dan karakter yang saling berdekatan. Kita semua benci stereotipe, tapi walau bagaimana pun kita tetaplah bagi

7 Kebiasaan Makan Keluarga Eropa

Tiga tahun tinggal di Eropa dengan keluarga angkat, saya jadi paham bagaimana elegan dan intimnya cara makan mereka. Bagi para keluarga ini, meja makan tidak hanya tempat untuk menyantap makanan, tapi juga ajang bertukar informasi para anggota keluarga dan pembelajaran bagi anak-anak mereka. Selain table manner , orang Eropa juga sangat perhatian terhadap nilai gizi yang terkandung di suatu makanan hingga hanya makan makanan berkualitas tinggi. Berbeda dengan orang Indonesia yang menjadikan meja makan hanya sebagai tempat menaruh makanan, membuka tudung saji saat akan disantap, lalu pergi ke ruang nonton sambil makan. Selama tinggal dengan banyak macam keluarga angkat, tidak hanya nilai gizi yang saya pelajari dari mereka, tapi juga kebiasaan makan orang Eropa yang sebenarnya sangat sederhana dan tidak berlebihan. Dari kebiasaan makan mereka ini juga, saya bisa menyimpulkan mengapa orang-orang di benua ini awet tua alias tetap sehat menginjak usia di atas 70-an. Kuncinya, pola

Guide Untuk Para Calon Au Pair

Kepada para pembaca blog saya yang tertarik menjadi au pair, terima kasih! Karena banyaknya surel dan pertanyaan tentang au pair, saya merasa perlu membuat satu postingan lain demi menjawab rasa penasaran pembaca. Mungkin juga kalian tertarik untuk membaca hal-hal yang harus diketahui sebelum memutuskan jadi au pair  ataupun tips seputar au pair ? Atau mungkin juga merasa tertantang untuk jadi au pair di usia 20an, baca juga cerita saya disini . Saya tidak akan membahas apa itu au pair ataupun tugas-tugasnya, karena yang membaca postingan ini saya percaya sudah berminat menjadi au pair dan minimal tahu sedikit. Meskipun sudah ada minat keluar negeri dan menjadi au pair, banyak juga yang masih bingung harus mulai dari mana. Ada juga pertanyaan apakah mesti pakai agen atau tidak, hingga pertanyaan soal negara mana saja yang memungkinkan peluang kerja atau kuliah setelah masa au pair selesai. Oke, tenang! Saya mencoba menjabarkan lagi hal yang saya tahu demi menjawab rasa penasar

First Time Au Pair, Ke Negara Mana?

Saya ingat betul ketika pertama kali membuat profil di Aupair World, saya begitu excited memilih banyak negara yang dituju tanpa pikir panjang. Tujuan utama saya saat itu adalah Selandia Baru, salah satu negara impian untuk bisa tinggal. Beberapa pesan pun saya kirimkan ke host family di Selandia Baru karena siapa tahu mimpi saya untuk bisa tinggal disana sebentar lagi terwujud. Sangat sedikit  host family dari sana saat itu, jadi saya kirimkan saja aplikasi ke semua profil keluarga yang ada. Sayangnya, semua menolak tanpa alasan. Hingga suatu hari, saya menerima penolakan dari salah satu keluarga yang mengatakan kalau orang Indonesia tidak bisa jadi au pair ke Selandia Baru. Duhh! Dari sana akhirnya saya lebih teliti lagi membaca satu per satu regulasi negara yang memungkinkan bagi pemegang paspor Indonesia. Sebelum memutuskan memilih negara tujuan, berikut adalah daftar negara yang menerima au pair dari Indonesia; Australia (lewat Working Holiday Visa ) Austria Amerika