Langsung ke konten utama

Pengalaman Naik Cathay Pacific Kelas Bisnis dan Ekonomi Rute Zürich - Hong Kong - Jakarta (PP)


Sudah lama saya mendengar reputasi baik Cathay Pacific yang selalu menjadi top airlines setiap tahunnya. Tak terlalu banyak kesempatan untuk mencoba maskapai asal Hong Kong ini, akhirnya di akhir tahun 2019 saya bisa mencicipi duduk di dua kelas sekaligus dalam satu rute; Ekonomi dan Bisnis.

Naik maskapai ini juga sebetulnya kebetulan karena di tanggal yang saya pilih, hanya Cathay Pacific yang harganya paling murah untuk pulang ke Indonesia. Maklum, akhir tahun, peak season. Saya memesan tiket bolak-balik seharga NOK 6700 atau sekitar €658. Harga maskapai lainnya sudah di atas angka €900, bahkan mencapai €1400 untuk kelas Ekonomi! Tak lsampai Oslo memang, karena saya harus memesan tiket lagi setelahnya.

Tapi apakah benar reputasi Cathay Pacific sebaik yang selalu diberitakan di media? Berikut review saya selama mengudara bersama Cathay Pacific!


Check-in dan bagasi

Hampir seragam dengan banyak full board airlines lainnya, Cathay Pacific tak pelit menjatah penumpang kelas Ekonomi dengan berat bagasi sampai 30 kg. Di Zürich sendiri, yang menjadi base di Eropa, penumpang bisa langsung mencetak baggage tag, menuju mesin scanner dan memindai barcode sendiri, tanpa perlu mengantri di konter check-in.

Untuk proses check-in, penumpang sudah diperbolehkan online check-in minimal 48 jam sebelum keberangkatan. Saya mengalami masalah saat online check-in ini karena proses dinyatakan gagal saat akan check-in rute Hong Kong - Jakarta. Cukup menyebalkan, dikarenakan saya memang ingin memilih kursi sendiri demi menghindari dapat kursi tengah secara random.

Karena kegagalan check-in ini, saya menghubungi pihak Cathay Pacific via help center chat mereka. Asumsi saya saat itu, mungkin saya tak bisa check-in karena bukan warga asal Eropa atau Swiss, jadi harus menunjukkan residence permit dulu di bandara. Namun petugas customer service-nya mengatakan bukan itu yang menyebabkan kegagalan, melainkan bandara Zürich menemukan ada kecurigaan di sistem mereka. Waduh!

Dua jam sebelum keberangkatan, saya mengantri di konter check-in untuk mendaftarkan bagasi dan meminta boarding pass. Saya juga komplen ke petugas konternya, kenapa proses check-in saya gagal hingga akhir. Petugas konter hanya menjelaskan bahwa rute Hong Kong - Jakarta sedang overbooking. Jadi untuk saat itu, saya hanya bisa mendapatkan boarding pass Zürich - Hong Kong, sementara penerbangan selanjutnya harus dikonfirmasi ulang ke konter yang ada di Hong Kong.

"Masih ada kursi di lorong kah?" tanya saya ke si petugas konter untuk mengecek.

"Kalau saya lihat di sini sebetulnya tidak ada. Tapi saya akan informasikan ke petugas di Hong Kong kalau kamu request kursi di lorong ya. Yang saya lihat memang kursi yang masih tersedia hanya di Premium Economy dan Business saja ini. But, don't worry, you are set! They will help you!" kata si petugas santai.

Ngomong-ngomong, bandara Zürich ini ternyata besar dan panjang sekali! Dari konter check-in menuju ke gate sampai butuh kereta dan perjalanannya cukup lama. Belum lagi mengantri di security border-nya. Untuk jaga-jaga, saya menyarankan datang maksimum 2 jam sebelum keberangkatan untuk penerbangan internasional! Apalagi kalau bawa anak-anak dan masih ingin window shopping dulu.

Di Hong Kong, saya langsung menuju konter check-in untuk mendapatkan boarding pass ke Jakarta dan sempat komplen juga mengapa saya tak bisa online check-in dan memilih kursi sendiri.

"Iya, saya lihat di sini kamu request kursi di lorong ya. Tapi sayangnya sudah tidak ada kursi di bagian lorong," kata si petugas konter.

"Tapi kan itu bukan salah saya. Saya tetap prefer kursi di bagian lorong kalau ada. Kenapa juga saya tak bisa online check-in?"

"Kamu tidak bisa online check-in karena memang pesawatnya sedang overbooking. Jadinya kami sengaja memilih meng-upgrade kursi kamu ke Premium Economy. Ini ada kursi di bagian A, dekat jendela, tapi sudah dipindahkan ke kelas Premium Economy," jelas si petugas konter sambil memberikan saya boarding pass yang kelasnya sudah di-upgrade.

Oalaaahhh....


Kenyamanan Kursi dan Kabin

Setelah laporan panjang soal proses check-in, kali ini mari membahas soal kenyaman kursi Cathay Pacific. Untuk pesawat, saya menggunakan 3 jenis pesawat berbeda untuk rute pulang pergi ini. Rute Zürich - Hong Kong, pesawat yang digunakan adalah Airbus A350-1000 dengan formasi 3-3-3 di kelas Ekonomi.



Kalau mau jujur, kursi kelas Ekonomi di Cathay Pacific ini sungguh kurang nyaman. Bantalannya sangat keras dan beberapa kursi tak bisa disandarkan! Untuk standar Ekonomi, maskapai ini malah kalah jauh dari Thai Airways, menurut saya.

Sementara untuk rute Hong Kong - Jakarta, pesawat yang digunakan adalah Boeing 777-300ER. Di rute ini, saya yang tadinya mendapatkan kursi Premium Economy, di-upgrade kembali ke kelas Bisnis! Ketahuannya saat saya iseng-iseng mengecek situs mereka untuk mengecek ulang pemesanan. Tiba-tiba saya melihat nomor kursi saya sudah diganti jadi 20K yang mana adalah kursi kelas Bisnis. Saat boarding pun, kartu boarding pass saya mengalami error lalu diganti dengan boarding pass kelas Bisnis yang baru.

Sepertinya pesawat memang sangat penuh saat itu, makanya beberapa penumpang kelas Ekonomi kecipratan rejeki di-upgrade langsung ke Bisnis untuk mengakomodir penumpang lain di kelas lainnya. Bapak-bapak di samping saya cerita kalau harusnya beliau memesan Premium Economy dari Johannesburg, tapi sampai boarding gate, boarding pass-nya langsung diganti ke kelas Bisnis.

Anyway, kalau boleh curhat, duduk di kursi Bisnis Cathay Pacific bisa jadi adalah mimpi saya sejak lama. Pernah suatu kali saya iseng membuka Instagramnya Ruben Onsu yang sekeluarga naik kelas Bisnis ke Hong Kong untuk liburan. Sepertinya sangat nyaman bisa mendapatkan fasilitas berlebih seperti itu.

Tapi karena perjalanan Hong Kong - Jakarta tak terlalu lama, hanya sekitar 4 jaman, naik kelas Bisnis sebetulnya tak terlalu worth-it. Bagi saya, kelas Bisnis menjadi sangat nyaman kalau penerbangan harus menempuh jarak panjang sampai harus tidur dan beristirahat.





Untuk kursinya sendiri, lagi-lagi saya harus katakan, biasa saja. Dibandingkan kursi Bisnis Singapore Airlines yang lebih elegan dan empuk, bantalan keras Cathay Airways seragam saja seperti kelas Ekonominya.

Saya juga kurang suka dengan LCD besarnya yang kurang solid. Buka tutup dulu layaknya jendela. Layar ini juga harusnya dikatupkan kembali saat mendarat agar tak tiba-tiba tertutup sendiri layaknya saya saat itu. Sedang asik-asik nonton di akhir episode, saat mendarat tiba-tiba si layar terkatup sendiri ke belakang. Ppppfftt!


Makanan

Untuk pilihan makanan, baik di kelas Ekonomi maupun Bisnis, saya bisa katakan biasa-biasa saja. Menu yang ditawarkan biasanya mengikuti rute pesawat, dengan campuran menu Hongkongers. Ada beberapa menu yang bahkan diulang-ulang kembali dengan presentasi makanan yang sedikit berbeda.

Rute Zürich - Hong Kong (Economy Class)








Rute Hong Kong - Jakarta (Business Class)

Kalau mau jujur, presentasi makanan di kelas Bisnis ini sebetulnya tak terlalu menarik. Yang menarik memang hanya piring porselennya yang berbeda dari kelas Ekonomi. Cara mereka menyajikan juga secara berkeliling sambil membawa makanan yang bisa langsung dipilih oleh penumpang kelas Bisnis. Di sesi ini, saya memilih Dim Sum, meskipun presentasi mie goreng sebetulnya lebih menarik.





Rute Jakarta - Hong Kong - Zürich

Di rute kepulangan ke Zürich, saya tidak menyempatkan memotret menu makanan apa saja yang disajikan saat itu. Tapi sebetulnya makanan yang tersedia juga hampir sama seperti di atas. Untuk makan malam utama dari Hongkong ke Zürich, saya lewatkan karena mata saya sudah tak kuat menahan kantuk. Padahal saat saya baca menu utamanya, lebih menggoda ketimbang rute sebelumnya.

Saat sarapan, saya lagi-lagi mengambil menu bubur yang kali ini variasinya menggunakan Beef Stroganoff. Bubur ini juga sebetulnya hanya berasa asin saja, tipikal makanan Hong Kong yang ringan di pagi hari. Tapi sejujurnya cukup menyegarkan tenggorakan karena hangat dan lumer, ketimbang omelet dan sosis.




Meskipun menunya cenderung hambar, namun saya cukup terkesan dengan sajian dessert mereka yang selalu menyajikan es krim setelah makan besar. Kita juga bisa memesan snack tambahan di sela waktu sekiranya masih kelaparan lewat awak kabin.


Fasilitas dan pelayanan di kabin

Soal fasilitas, mungkin saya lebih menyoroti daftar pilihan entertainment yang tersedia selama penerbangan. Meskipun banyak sekali film-film bermutu yang bisa kita nonton, namun saya kurang tertarik dengan isi lagu mereka yang kebanyakan jadul. Selain itu toiletnya juga kurang bersih dan cenderung messy, bahkan di kelas Bisnis sekali pun.

Lalu pelayanan, saya mungkin akan menaruh angka 6. Mengapa, karena bisa dikatakan awak kabinnya kurang responsif. Untuk mengantarkan makanan dari depan ke belakang memang biasanya harus bolak-balik dua kali untuk mengisi kembali trolley. Saya dan penumpang yang duduk di kursi agak belakang harus menunggu mungkin 15 menitan lebih sebelum makanan kami diantarkan. Padahal saat itu kami sudah lapar luar biasa. Mengapa saya tahu, karena pasangan muda yang duduk di samping saya sampai mengupas pisang bawannya demi menahan lapar.

Saat mengangkat nampan kotor pun lamanya bukan main. Padahal penumpang sudah selesai makan 20 menit yang lalu, namun awak kabin belum juga kembali mengumpulkan piring kotor.

Satu hal lagi yang saya kecewa, salah satu awak kabin bahkan menghentikan penyajian mie instan sebagai snack, sekitar 2,5 jam sebelum mendarat. Padahal 2 menit yang lalu doi baru saja mengantarkan mie instan ke salah satu penumpang. Lalu saat saya request minta mie instan, doi menolak dengan alasan, sebentar lagi sarapan akan diantarkan. Padahal saya tahu sarapan diantarkan biasanya kurang lebih satu jam sebelum mendarat. Yang membuat saya kesal, ternyata satu jam kemudian ada yang request mie instan, tapi tetap dibuatkan oleh awak kabin yang lain!


Kesimpulan:
Tak ada yang sangat istimewa dari Cathay Pacific ketimbang maskapai besar lainnya. Semuanya terkesan biasa saja, menurut saya. Jam keberangkatan pun delay dan pelayanan selama di udara juga kurang responsif.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bule Ketemu Online, Bisakah Serius?

( PERHATIAN!!! SAYA BANYAK SEKALI MENERIMA TESTIMONIALS SOAL COWOK-COWOK DARI INGGRIS YANG MEMINTA ALAMAT SI CEWEK YANG DIKENAL VIA ONLINE. FYI , HAMPIR SEMUA MODUS PENIPUAN SEPERTI INI BERASAL DARI INGGRIS DAN AMERIKA! JANGAN PERNAH TERTIPU KEMASAN KULIT PUTIHNYA, KARENA BISA JADI YANG KALIAN AJAK CHATTING -AN ATAU VIDEO CALL -AN ITU ADALAH PENIPU !! JANGAN PERNAH BERI DATA DIRI SEPERTI NAMA LENGKAP, ALAMAT, SERTA NOMOR IDENTITAS ATAU KARTU KREDIT KE ORANG-ORANG ASING LEWAT DUNIA DIGITAL! BE SMART, BE AWARE, AND PLEASE JANGAN DULU BAPERAN KALO ADA YANG MENGAJAK NIKAH PADAHAL BARU SEMINGGU KENAL!!!) Selain berniat jadi au pair, ternyata blog saya banyak dikunjungi oleh cewek-cewek Indonesia yang ingin pacaran atau sedang dekat dengan bule. Gara-gara tulisan tentang cowok Eropa dan cowok Skandinavia , banyak pembaca blog yang mengirim surel ke saya dan curhat masalah cintanya dengan si bule. Aduh, padahal saya jauh dari kata "ahli" masalah cinta-cintaan. Saya sebetu

Mempelajari Karakter Para Cowok di Tiap Bagian Eropa

*I talk a lot about European boys in this blog, but seriously, this is always the hottest topic for girls! ;) Oke, salahkan pengalaman saya yang jadi serial dater  selama tinggal di Eropa. Tapi gara-gara pengalaman ini, saya juga bisa bertemu banyak orang baru sekalian mempelajari karakter mereka. Cowok-cowok yang saya temui ini juga tidak semuanya saya kencani. Beberapa dari mereka saya kenal saat workshop, festival, ataupun dari teman. Beruntung sekali, banyak juga teman-teman cewek yang mau menceritakan pengalamannya saat berkencan dari cowok ini, cowok itu, and all of them have wrapped up neatly in my head! Secara umum, tulisan yang saya ceritakan disini murni hasil pengalaman pribadi, pengalaman teman, ataupun si cowok yang menilai bangsanya secara langsung. Letak geografis Eropanya mungkin sedikit rancu, tapi saya mengelompokkan mereka berdasarkan jarak negara dan karakter yang saling berdekatan. Kita semua benci stereotipe, tapi walau bagaimana pun kita tetaplah bagi

7 Kebiasaan Makan Keluarga Eropa

Tiga tahun tinggal di Eropa dengan keluarga angkat, saya jadi paham bagaimana elegan dan intimnya cara makan mereka. Bagi para keluarga ini, meja makan tidak hanya tempat untuk menyantap makanan, tapi juga ajang bertukar informasi para anggota keluarga dan pembelajaran bagi anak-anak mereka. Selain table manner , orang Eropa juga sangat perhatian terhadap nilai gizi yang terkandung di suatu makanan hingga hanya makan makanan berkualitas tinggi. Berbeda dengan orang Indonesia yang menjadikan meja makan hanya sebagai tempat menaruh makanan, membuka tudung saji saat akan disantap, lalu pergi ke ruang nonton sambil makan. Selama tinggal dengan banyak macam keluarga angkat, tidak hanya nilai gizi yang saya pelajari dari mereka, tapi juga kebiasaan makan orang Eropa yang sebenarnya sangat sederhana dan tidak berlebihan. Dari kebiasaan makan mereka ini juga, saya bisa menyimpulkan mengapa orang-orang di benua ini awet tua alias tetap sehat menginjak usia di atas 70-an. Kuncinya, pola

First Time Au Pair, Ke Negara Mana?

Saya ingat betul ketika pertama kali membuat profil di Aupair World, saya begitu excited memilih banyak negara yang dituju tanpa pikir panjang. Tujuan utama saya saat itu adalah Selandia Baru, salah satu negara impian untuk bisa tinggal. Beberapa pesan pun saya kirimkan ke host family di Selandia Baru karena siapa tahu mimpi saya untuk bisa tinggal disana sebentar lagi terwujud. Sangat sedikit  host family dari sana saat itu, jadi saya kirimkan saja aplikasi ke semua profil keluarga yang ada. Sayangnya, semua menolak tanpa alasan. Hingga suatu hari, saya menerima penolakan dari salah satu keluarga yang mengatakan kalau orang Indonesia tidak bisa jadi au pair ke Selandia Baru. Duhh! Dari sana akhirnya saya lebih teliti lagi membaca satu per satu regulasi negara yang memungkinkan bagi pemegang paspor Indonesia. Sebelum memutuskan memilih negara tujuan, berikut adalah daftar negara yang menerima au pair dari Indonesia; Australia (lewat Working Holiday Visa ) Austria Amerika

Guide Untuk Para Calon Au Pair

Kepada para pembaca blog saya yang tertarik menjadi au pair, terima kasih! Karena banyaknya surel dan pertanyaan tentang au pair, saya merasa perlu membuat satu postingan lain demi menjawab rasa penasaran pembaca. Mungkin juga kalian tertarik untuk membaca hal-hal yang harus diketahui sebelum memutuskan jadi au pair  ataupun tips seputar au pair ? Atau mungkin juga merasa tertantang untuk jadi au pair di usia 20an, baca juga cerita saya disini . Saya tidak akan membahas apa itu au pair ataupun tugas-tugasnya, karena yang membaca postingan ini saya percaya sudah berminat menjadi au pair dan minimal tahu sedikit. Meskipun sudah ada minat keluar negeri dan menjadi au pair, banyak juga yang masih bingung harus mulai dari mana. Ada juga pertanyaan apakah mesti pakai agen atau tidak, hingga pertanyaan soal negara mana saja yang memungkinkan peluang kerja atau kuliah setelah masa au pair selesai. Oke, tenang! Saya mencoba menjabarkan lagi hal yang saya tahu demi menjawab rasa penasar