Langsung ke konten utama

Janteloven: Belajar Humble Dari Orang Norwegia


Minggu lalu, saya ikut servis bimbingan dan konseling karir dari kampus secara gratis selama 45 menit. Di sini, kita bisa konsultasi bagaimana cara menulis CV, surat lamaran kerja, latihan wawancara in a Norwegian way, serta bertanya kira-kira pekerjaan seperti apa yang cocok selepas lulus kuliah. Karena memang ingin minta pendapat bagaimana mapping semua kompetensi saya ke dalam CV yang panjangnya hanya 1-2 halaman, maka fokus saya saat konseling hanya di bagian tersebut.

Yang menarik, konselor menggarisbawahi cara saya menulis daftar pendidikan terakhir pada CV. Sebetulnya isi dan strukturnya sangat standar mirip CV lain yang sering orang buat. Di bagian pendidikan terakhir, saya menuliskan nama kampus terlebih dahulu, lalu jurusan kuliah di bawahnya. Namun, cara ini ternyata dipandang konselor kurang tepat in a Norwegian way.

"You know what, there are almost 30.000 students at the University of Oslo and the way you wrote this down doesn't make you special," katanya saat itu. Waduh! "Sebaiknya kamu tulis nama program studi di bagian paling atas, lalu nama kampusnya di bagian bawah," tambahnya lagi.

Meskipun tidak ada aturan baku apa yang harus ditulis duluan di CV, tapi yang saya tangkap dari konselor tersebut lebih menunjukkan bahwa jangan dikira lulusan Universitas Oslo, saya lebih baik dari orang lain. Dari sini juga terlihat bahwa mentalitas orang Norwegia masih sangat dipengaruhi oleh 11 aturan hidup yang ada di dalam Janteloven.

Janteloven sebetulnya adalah sebuah konsep yang dibuat oleh penulis Denmark-Norwegia bernama Aksel Sandmose, yang di dalam novelnya 'En Flyktning Krysser Sitt Spor' (A Refugee Crosses His Tracks), 1933, mengidentifikasikan Janteloven sebagai 11 aturan hidup. Di novel tersebut, Jante digambarkan sebagai kota kecil yang ada di Denmark, sementara 'lov' dalam akar bahasa Nordik berarti hukum; atau Hukum Jante.

Ada 11 aturan ditulis oleh Sandmose yang secara homogenik mengacu kepada sifat rendah hati; kamu tidak lebih baik atau spesial dari orang lain. Sebelas aturan tersebut adalah:

1. Anda tidak boleh berpikir bahwa Anda itu spesial.
2. Anda tidak boleh berpikir bahwa Anda sama baiknya dengan kami.
3. Anda tidak boleh berpikir bahwa Anda lebih pintar dari kami.
4. Anda tidak boleh meyakinkan diri sendiri bahwa memang lebih baik dari kami.
5. Anda tidak boleh berpikir bahwa Anda lebih dari tahu dari kami.
6. Anda tidak boleh berpikir bahwa Anda lebih penting dari kami.
7. Anda tidak boleh berpikir bahwa Anda pandai dalam semua hal.
8. Anda tidak boleh menertawakan kami.
9. Anda tidak boleh berpikir bahwa kami peduli terhadap Anda.
10. Anda tidak boleh berpikir bisa mengajarkan kami semua hal.
11. Anda tidak boleh berpikir bahwa tidak banyak hal yang kami tahu tentang Anda.

Meskipun aturannya terlihat sangat kejam dan memaksa untuk tetap rendah diri, namun konsep tersebut memang sangat erat kaitannya dengan nilai hidup egaliter antar kehidupan bermasyarakat di negara-negara Nordik, khususnya Norwegia. Pesan moral yang disampaikan lebih menitikberatkan pada diri sendiri untuk tidak gampang menyombongkan diri, terlalu berlebih menjadi point of attention, ataupun terlalu pamer soal pencapaian dan bakat. Tak heran karena equality atau classless merupakan nilai hidup yang menjadi basis kehidupan sosial di negara Nordik. Contoh paling nyata bisa dilihat pada budaya kerja di Norwegia dimana struktur kerja sangat hambar tanpa hierarki, dengan mengedepankan kerja tim dalam menyukseskan perusahaan. 

Lalu apakah semua orang Norwegia sangat rendah hati dan tidak sombong? Tentu tidak! Di Norwegia, ada banyak yang anti-Janteloven karena merasa aturan ini akan membunuh rasa percaya diri. Orang-orang tidak akan punya gol besar dalam hidup karena merasa tidak lebih baik dari orang lain. Dalam bekerja pun, hidup harus punya milestones yang tinggi untuk mencapai kesuksesan karir. Kalau sedikit-sedikit sudah rendah diri, orang akan cepat puas dan keputusan untuk tidak ingin 'lebih dari orang lain' bisa memangkas jalan yang mungkin bisa mengantarkan ke kesuksesan yang lebih besar.

Kalau ingin bicara pengalaman, tinggal selama hampir 2 tahun dengan keluarga kaya raya serta bergaul dengan anak-anak muda Norwegia membuat saya sangat percaya bahwa Janteloven memang hanya dimengerti orang lokal. Contohnya keluarga Norwegia saya yang dulu, dari potongan pakaian dan mobil yang mereka gunakan mungkin terlihat biasa saja bagi crazy rich Asians. Saya tidak pernah melihat host mom memakai perintilan heboh dengan label terkenal yang terpampang jelas seolah-olah ingin menunjukkan mereka punya banyak uang. Tapi kalau ingin bicara soal properti, gaya hidup, serta mindset, orang Norwegia asli sudah tahu keluarga ini memang kaya raya tanpa harus punya Ferrari lebih dulu. 

Sama halnya dengan satu dua kolega saya di kantor yang memang jelas-jelas anak orang kaya. Suatu kali mereka cerita dengan lugasnya bahwa liburan panas kali ini hanya akan dihabiskan dengan leye-leye di pulau pribadi sekalian jalan-jalan menggunakan kapal pesiar di laut lepas. Tapi dari tone bicaranya, saya tahu tujuan mereka cerita bukanlah untuk pamer. Bagi mereka, yang punya pulau pribadi dan kapal pesiar di Norwegia ini tidak hanya mereka sendiri. Lucunya lagi, di akhir obrolan mereka menambahkan cerita soal hidup miskin di penghujung 20-an yang belum juga dapat income tetap.

Lalu saya coba bandingkan dengan para imigran yang baru punya gaji lumayan di Norwegia. Gaya mereka selangit, bicara soal kekayaan duluan, dan mobilnya pun harus Tesla keluaran terbaru meskipun masih menyewa apartemen sempit. Seorang teman sekelas saya orang Pakistan, kadang menyelipkan cerita soal 2 mobil mewahnya serta tas-tas Burberry dan Hermes yang dijadikan investasi. Mungkin memang tidak bermaksud sombong dan hanya jadi bahan informasi, namun hal yang terlalu membanggakan diri sendiri inilah seringkali dinilai berlebihan dalam kehidupan bermasyarakat di Norwegia.

Saya sendiri sebetulnya sangat terinspirasi dari Janteloven dan yakin bahwa hidup berlebihan itu memang tak perlu. Mungkin kalau di Indonesia bisa dikatakan, di atas langit masih ada Hotman Paris. Yang artinya bahwa ingin sesombong-sombong apapun kita, masih ada orang lain yang pastinya lebih kaya dan lebih mampu. Lagipula, sudah terbukti bahwa biasanya orang kaya dan pintar berpenampilan semakin biasa saja tanpa perlu adanya pengakuan dari orang lain.

Meskipun mentalitas seperti ini lebih bisa dipahami oleh orang Norwegia yang hidupnya sudah equal, namun tak ada salahnya untuk menjadi rendah hati dimana pun kita berada. Because you are not better than us! Walaupun, saya sendiri sepakat bahwa untuk mencapai kesuksesan, kita tetap harus percaya diri bahwa bisa melakukan sama seperti yang orang sukses lain lakukan!

Apa pendapat kalian tentang Janteloven



Komentar

  1. menarik ya, tapi masuk akal sih. ada pepatah "musuh terbesarmu adalah dirimu sendiri" kalo pepatah itu dimasukan ke Janteloven ini jadinya cocok. Kita memang tidak bisa berpikir kalo kita itu lebih xxx dari orang lain, karena yang kita taklukan bukanlah orang lain, tapi diri sendiri. untuk yang bilang kalo paham ini buat jadi tidak berambisi, cita-cita tinggi, atau percaya diri. Nah, disini menariknya. Apa standarnya seseorang itu tidak berambisi? cita-cita yang bagaimana yang tinggi? orang percaya diri itu yang seperti apa sih? Kalo pakai standar "dunia/materi" sih biasanya yang punya barang ini-itu, punya usaha, jadi CEO, jadi pembicara, dsb. Lalu, apakah standar/pembanding itu yang benar? Jadi yang perlu diliat juga adalah apa standar nya seseorang itu xxx. dan SERING nya, standar kita tidak sama dengan orang lain. Akhirnya balik lagi ke prinsip Janteloven ini, "saya tidak boleh berpikir bahwa standar saya lebih baik dari orang lain" :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku pernah baca kalo salah satu entrepreneur di Norwegia adalah salah satu yang anti-Janteloven. Si ibu ini menganggap, kenapa sampe sekarang dunia entrepreneur di Norwegia tidak se-booming negara Skandinavia lainnya, karena orang2 Norwegia masih nurut banget sama aturan hidup ala Janteloven. Gak mau berusaha membangun perusahaan sendiri karena merasa gak akan lebih baik dari orang2 lainnya. Jadinya kalo mulai sesuatu tuh maju mundur, gitu, lho.

      Karena sudah kaya raya, kayaknya standar Norwegia biasanya akan dibandingin sama standar negara Skandinavia lainnya sih ya 😇 contohnya si ibu yg bandingin Norwegia & negara2 Skandinavia lainnya di atas. Saat Swedia, contohnya, sangat mendukung pertumbuhan lapak entepreneur sampe booking, di Norwegia yang udah punya sumbernya, malah stagnan :)

      Hapus
  2. Wah kebetulan bgt kak nin, kemarin habis baca tentang janteloven. Keren 😊
    Mungkin janteloven adalah sebuah rambu2 kehidupan.
    Rambu2 bagi orang yang jumawa dan over confidence. Bahwa pada dasarnya di atas langit masih ada Hitman paris #eh 😁 jadi ikut2an kak nin hehehhe
    Tapi bagi seseorang yang tidak percaya diri dan terlalu pesimis terhadap dirinya sendiri maka mungkin dia harus mencari rambu2 kehidupan lainnya.
    Paham janteloven bagus menjadi rambu2 kehidupan hedonis,sok pinteris, dan sombongis hehehe 😁😁😁🙏

    BalasHapus
    Balasan
    1. Janteloven emang bagus sih, tp yang cuma ngerti emang masyarakat Nordik kayaknya. Abisnya kalo diterapkan di Indonesia, gak akan kena. Kenapa, karena masih ada kelas dalam kehidupan antara si kaya & si miskin. Makanya persaingan pun kenceng banget antara si bodoh kaya vs pinter miskin. Kalo terus2an rendah diri, gak akan berhasil kayaknya di Indonesia 😅 Insecure malah yang ada.

      Hapus
    2. Kalo janteloven di terapkan di indonesia, sumber pajak kemungkinan besar akan mati.. Soalnya ekonomi kita belum stabil seperti skandinavia. Yg ada malah hancur ekonomi.
      Mau gelapin pajak pendapatan perusahaan tinggal jadi "fake jateloven" aja. Terdengar munafik sih

      Hapus
    3. Iya, bener. Emang sebetulnya Indonesia negara besar dengan masalah yg terlalu kompleks sih ya. Gak bisa dibandingkan dengan 5,5 juta manusia di Norwegia yg emang udah percaya sama hukum & pemerintah.

      Tapi gak usah gede2 sampe mau mengubah senegara deh. Cukup dari kita & keluarga kita aja dulu 😇 yang penting jangan suka pamer & selalu merasa kalo di atas kita sebetulnya masih banyak yg lebih.

      Hapus
  3. Menarik ya filosofinya...sedikit mirip filosofi timur yang ala Zen begitu menurutku. Padahal negara Barat. Ya konsekuensinya ambisi individu jadi dikurangi...

    BalasHapus
  4. ya Allah nih, aku sering banjir air mata loh, pas baca karya jostein gaarder karena tokoh cowoknya yang sangat baik penyabar dan rendah hati .. takjub banget ma tuh karakter .. tapi ternyata tokoh novel dalam buku gadis jeruk itu adalah cerminan dari cowok cowok norwegia .. subhanallah banget ya, aku nemuin akhlak islam dalam diri mereka ...uuuh jadi mau punya suami dari sana ga papa deh ga romantis atau berassal dari desa asalkan bisa menjadikanku menjadi pribadi yang lebih baik pastinya dengan izin Allah hehe #ngehayal tingkat tinggi wkwkwkkw

    BalasHapus
    Balasan
    1. Akhlak Islam nih maksudnya yang gimana ya? 😅😅

      Kalo maksud kamu rendah hati, gak sombong, gak neko2, ya itu mah terbentuk karena budaya, bukan agama. Justru orang2 Norwegia hidup tenang damai meskipun gak punya aturan tertulis dari kitab suci, misalnya.

      It’s a tough work kalo kamu pengen nyari 100% bule Norwegia yang mau convert ke Islam lalu bener2 jadi pribadi relijius seperti yang kamu pengen. Yang ada, justru mereka gak perlu agama untuk tetep jadi pribadi yang baik :) At the same time, orang2 Islam dgn background non-Norwegia yang tinggal di sini contohnya, kelakuan malah gak jelas 😆

      Hapus
    2. No, kayaknya harus gali lagi tentang agama deh, sy kurang setuju. Agama itu sendiri melahirkan budaya., yg dia katakan ttg janteloven itu memang benar ada dalam islam. Budaya "muamalah". Di turki nilai islam itu diterapkan dalam budaya sufisme. Kalaupun ada imigran brutal di sana. Pendapat sy pribadi murni karena mereka mengalami segregasi nilai islam di negaranya karena pengaruh invasi negara mamarika and other. ☺

      Hapus
    3. Terima kasih sudah dikoreksi 👌🏽

      Meskipun menurut ku pribadi, semua agama pada dasarnya gak ada yg ngajarin umatnya utk tinggi hati alias sombong. Orang Norwe gak punya agama, tapi kulturnya emang udah terlahir demikian karena jenjang sosial di sini gak setinggi di Indonesia. Selain persaingannya sangat kompetitif, menurut ku, orang Indonesia masih banyak yg suka pamer karena sudah menjadi budaya. Jadi bisa dikatakan pamer = eksistensi & pencapaian diri :)

      Hapus
  5. blog kamu bikin imajinasiku berkambang dan jadi lebih banyak ide buat dituangin ke dalam tulisan ..thank youuu gelius ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. That’s totally fine untuk berkhayal dan berimajinasi :) Tapi jangan sampe mengaburkan fakta ya. Hihi.. ✌🏽

      Hapus
  6. Oke nin .. tak inget pesanmu untuk tidak mengaburkan fakta wkwk. Maksudku tuh ada akhlak islam itu yang mereka memiliki akhlak yang islami hihi walau aku tahu mereka bukan beragama islam ... ini lebih kepribadian mereka yang baik, meski mereka bukan muslim ... rendah hati, tidak merendahkan orang lain dan sifat sifat baik mereka itu ada diislam walau mereka non muslim ... mungkin bagi kamu itu budaya mereka, tapi bagiku aku menemukan kepribadian seorang muslim yang sesungguhnya dalam diri mereka, walau mereka bukan muslim.. maaf yang nin kalau menyinggung.. seperti kata seseorang yang aku lupa siapa namanya, dia mengatakan kuranglebih begini "aku tidaj menemukan islam ketika berada timur tengah meski mayoritas orangnya beragama islam tapi aku menemukan islam ketika berada di eropa karena ada nilai-nilai islam yang diterapkan disana .. jujur, adil, patuh hukum dll .. pokoknya semua nilai nilai baik dalam negara tersebut.. begitupun dengan orang norwegia yang memliki akhlak yang meyoritas baik ... pokoknya itu penilaianku sebagai individu aja sih 😆😆 jan tersinggung ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama sekali gak tersinggung :)
      I completely got your point kok. Aku juga paham maksud kamu. Di sini temen juga ada yg tinggal sama orangPakistan Muslim dari lahir, tapi attitude mereka sama sekali gak kek yang diajarkan banyak agama. Ehh giliran mereka pindah ke keluarga asli Eropa yang gak percaya sama sekali dengan agama, justru mereka diperlakukan lebih baik, lebih manusiawi, dan lebih terpuji.

      Somehow kadang berpikir.. tanpa agama pun, orang banyak yang lebih bermoral dan tau bagaimana memanusiakan manusia 😀

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bule Ketemu Online, Bisakah Serius?

( PERHATIAN!!! SAYA BANYAK SEKALI MENERIMA TESTIMONIALS SOAL COWOK-COWOK DARI INGGRIS YANG MEMINTA ALAMAT SI CEWEK YANG DIKENAL VIA ONLINE. FYI , HAMPIR SEMUA MODUS PENIPUAN SEPERTI INI BERASAL DARI INGGRIS DAN AMERIKA! JANGAN PERNAH TERTIPU KEMASAN KULIT PUTIHNYA, KARENA BISA JADI YANG KALIAN AJAK CHATTING -AN ATAU VIDEO CALL -AN ITU ADALAH PENIPU !! JANGAN PERNAH BERI DATA DIRI SEPERTI NAMA LENGKAP, ALAMAT, SERTA NOMOR IDENTITAS ATAU KARTU KREDIT KE ORANG-ORANG ASING LEWAT DUNIA DIGITAL! BE SMART, BE AWARE, AND PLEASE JANGAN DULU BAPERAN KALO ADA YANG MENGAJAK NIKAH PADAHAL BARU SEMINGGU KENAL!!!) Selain berniat jadi au pair, ternyata blog saya banyak dikunjungi oleh cewek-cewek Indonesia yang ingin pacaran atau sedang dekat dengan bule. Gara-gara tulisan tentang cowok Eropa dan cowok Skandinavia , banyak pembaca blog yang mengirim surel ke saya dan curhat masalah cintanya dengan si bule. Aduh, padahal saya jauh dari kata "ahli" masalah cinta-cintaan. Saya sebetu

Mempelajari Karakter Para Cowok di Tiap Bagian Eropa

*I talk a lot about European boys in this blog, but seriously, this is always the hottest topic for girls! ;) Oke, salahkan pengalaman saya yang jadi serial dater  selama tinggal di Eropa. Tapi gara-gara pengalaman ini, saya juga bisa bertemu banyak orang baru sekalian mempelajari karakter mereka. Cowok-cowok yang saya temui ini juga tidak semuanya saya kencani. Beberapa dari mereka saya kenal saat workshop, festival, ataupun dari teman. Beruntung sekali, banyak juga teman-teman cewek yang mau menceritakan pengalamannya saat berkencan dari cowok ini, cowok itu, and all of them have wrapped up neatly in my head! Secara umum, tulisan yang saya ceritakan disini murni hasil pengalaman pribadi, pengalaman teman, ataupun si cowok yang menilai bangsanya secara langsung. Letak geografis Eropanya mungkin sedikit rancu, tapi saya mengelompokkan mereka berdasarkan jarak negara dan karakter yang saling berdekatan. Kita semua benci stereotipe, tapi walau bagaimana pun kita tetaplah bagi

7 Kebiasaan Makan Keluarga Eropa

Tiga tahun tinggal di Eropa dengan keluarga angkat, saya jadi paham bagaimana elegan dan intimnya cara makan mereka. Bagi para keluarga ini, meja makan tidak hanya tempat untuk menyantap makanan, tapi juga ajang bertukar informasi para anggota keluarga dan pembelajaran bagi anak-anak mereka. Selain table manner , orang Eropa juga sangat perhatian terhadap nilai gizi yang terkandung di suatu makanan hingga hanya makan makanan berkualitas tinggi. Berbeda dengan orang Indonesia yang menjadikan meja makan hanya sebagai tempat menaruh makanan, membuka tudung saji saat akan disantap, lalu pergi ke ruang nonton sambil makan. Selama tinggal dengan banyak macam keluarga angkat, tidak hanya nilai gizi yang saya pelajari dari mereka, tapi juga kebiasaan makan orang Eropa yang sebenarnya sangat sederhana dan tidak berlebihan. Dari kebiasaan makan mereka ini juga, saya bisa menyimpulkan mengapa orang-orang di benua ini awet tua alias tetap sehat menginjak usia di atas 70-an. Kuncinya, pola

Guide Untuk Para Calon Au Pair

Kepada para pembaca blog saya yang tertarik menjadi au pair, terima kasih! Karena banyaknya surel dan pertanyaan tentang au pair, saya merasa perlu membuat satu postingan lain demi menjawab rasa penasaran pembaca. Mungkin juga kalian tertarik untuk membaca hal-hal yang harus diketahui sebelum memutuskan jadi au pair  ataupun tips seputar au pair ? Atau mungkin juga merasa tertantang untuk jadi au pair di usia 20an, baca juga cerita saya disini . Saya tidak akan membahas apa itu au pair ataupun tugas-tugasnya, karena yang membaca postingan ini saya percaya sudah berminat menjadi au pair dan minimal tahu sedikit. Meskipun sudah ada minat keluar negeri dan menjadi au pair, banyak juga yang masih bingung harus mulai dari mana. Ada juga pertanyaan apakah mesti pakai agen atau tidak, hingga pertanyaan soal negara mana saja yang memungkinkan peluang kerja atau kuliah setelah masa au pair selesai. Oke, tenang! Saya mencoba menjabarkan lagi hal yang saya tahu demi menjawab rasa penasar

Jadi Au Pair Tidak Gratis: Siap-siap Modal!

Beragam postingan dan artikel yang saya baca di luar sana, selalu memotivasi anak muda Indonesia untuk jadi au pair dengan embel-embel bisa jalan-jalan dan kuliah gratis di luar negeri. Dipadu dengan gaya tulisan yang meyakinkan di depan, ujung tulisan tersebut sebetulnya tidak menunjukkan fakta bahwa kamu memang langsung bisa kuliah gratis hanya karena jadi au pair. Banyak yang memotivasi, namun lupa bahwa sesungguhnya tidak ada yang gratis di dunia ini. Termasuk jadi au pair yang selalu dideskripsikan sebagai program pertukaran budaya ke luar negeri dengan berbagai fasilitas gratisan. First of all , jadi au pair itu tidak gratis ya! Ada biaya dan waktu yang harus kamu keluarkan sebelum bisa pindah ke negara tujuan dan menikmati hidup di negara orang. Biaya dan waktu ini juga tidak sama untuk semua orang. It sounds so stupid kalau kamu hanya percaya satu orang yang mengatakan au pair itu gratis, padahal kenyatannya tidak demikian. Sebelum memutuskan jadi au pair, cek dulu biaya apa s