16 Oktober 2023

Luar Negeri Itu Bukan Kemauan, Tapi Kesempatan


Another day, another story.

Seorang kenalan dekat, sebut saja D, yang sudah memegang kontrak kerja dari sebuah grup hotel besar di Kanada mendadak membatalkan rencana dan tak jadi berangkat. Entah apa penyebabnya, namun kabar tersebut cukup membuat saya tercengang. D yang saya tahu, tak hanya sekali ini saja beruntung mendapatkan kesempatan kerja ke luar negeri. Dari awal lulus sekolah, D sudah diterima bekerja di sebuah hotel besar di Palembang. Setelahnya, dikabarkan D mendapatkan tawaran di Qatar dan hanya bertahan 6 bulan. Dari Qatar, eksplorasinya berlanjut ke Australia sebelum akhirnya berlabuh di Bali. Dari Bali inilah, D mendapatkan informasi pekerjaan di Kanada dan berhasil lolos di semua tahap wawancara. Sayang, sudah keliling kerja di berbagai belahan dunia, D tak jadi mengurus visa Kanada dan dikabarkan akan kembali lagi ke Palembang karena ditawari posisi baru. Fiuuhh.. Sebuah unfair advantage yang sungguh nyata!

Sampai sini, apa yang terlintas di benak kalian?

D tak tahu rasanya bersyukur? Bodoh? Aneh? Tak tahu rasanya memanfaatkan peluang dengan benar?

Sebagai pejuang di luar negeri yang memulai langkah dari 0, saya pun penasaran alasan apa yang melatarbelakangi D sampai menyia-nyiakan semua peluang tersebut. Tak semua orang bisa memulai langkah besar semulus itu. Saya tak ingin mengatakan keputusan tersebut salah. Karena pada akhirnya, keputusan untuk hijrah dan bekerja di luar negeri adalah pilihan pribadi yang bergantung pada keadaan, kepribadian, dan prioritas seseorang. Meski bisa jadi pengalaman ini transformatif dan memperkaya cerita hidup bagi banyak orang, namun tentu saja hal ini tak cocok dan diinginkan semua orang. Termasuk D.


Perlu digarisbawahi juga bahwa D bukan anak orang kaya yang bisa bebas melanglang buana dan dianugerahi kucuran dana orang tua. D sama seperti kita umumnya, lahir dari keluarga menengahnamun dengan keberuntungan yang luar biasa. Semua pekerjaan yang D lamar pun murni dilamar sendiri mengandalkan pengalaman kerjanya yang sudah dibangun sejak lulus sekolah. Dengan kompetensi semenarik itu, layaknya main-main saja ketika melihat D menghamburkan banyak kesempatan yang sejujurnya diinginkan banyak orang.

Saya jadi ingat curhatan beberapa orang Indonesia yang berulang kali mengutarakan niat untuk hijrah ke luar negeri, namun belum ada peluangnya. Au pair yang membuka jalan saya ke Eropa tak sepenuhnya juga terbuka untuk orang lain. Banyak faktor yang membuat mereka harus melupakan angan ke luar negeri dengan cara ini. Beberapa dari mereka ada yang usianya sudah melewati persyaratan, tak diizinkan orang tua untuk 'membabu' ke luar negeri, tak kunjung dapat host family, hingga akhirnya dapat pekerjaan dan jodoh di Indonesia. Lalu jalan itu pun tertutup dengan sendirinya.

Pun yang ingin kuliah di luar negeri, tak semuanya diberikan jalan serupa. Meski sama-sama harus tes kompetensi bahasa, kirim lamaran kesana kemari, hingga menulis esai untuk beasiswa, namun banyak juga yang tak beruntung sampai kehilangan motivasi. Apalagi yang memang niatnya ingin langsung kerja dari Indonesia. Kalau tak diperantarai BPTKI atau punya kemampuan super yang tak semua orang lokal punya, jelas sangat sulit peluangnya. 

D bukanlah satu-satunya orang di sekitar saya yang punya unfair advantage memegang kunci emas ke luar negeri. Seseorang yang saya kenal juga menolak beasiswa lanjut S2 ke Prancis dengan alasan sudah ketemu jodoh lalu ingin menikah dan membangun keluarga di Indonesia. Walau mungkin banyak yang menyayangkan kesempatan tersebuttermasuk saya sendiri, tapi saya mengerti bahwa visi dan misi orang dalam hidup tak harus sejauh benua Amerika, Eropa, atau Australia. Tinggal di Indonesia dan membangun masa depan di kampung halaman bagi mereka jauh lebih rewarding ketimbang harus berjibaku dengan ketidaknyamanan di tempat asing.


Untuk orang-orang yang masih menjaga mimpinya untuk hijrah ke luar negeri, mengertilah bahwa ini bukan cuma perkara mimpi dan kemauan semata, tapi juga kesempatan. Banyak yang mau, tapi tak punya kesempatan. Sedikit yang punya kesempatan seperti D, belum tentu juga mau tinggal di negara orang. Justru kadang kita yang pontang-panting berniat ingin tinggal di luar negeri inilah yang tak menemukan jalannya dan berakhir putus asa.

Sama halnya dengan para au pair bermasalah yang kadang membuat saya heran, mengapa justru mereka yang dapat rejeki tinggal di benua ini?! Di Indonesia ada banyak sekali calon au pair dengan motivasi yang jauh lebih meaningful, namun sayangnya tak punya peluang yang sama. Sementara orang-orang yang punya tujuan terselubung justru malah mulus jalannya. Konteks “au pair bermasalah” ini adalah para oknum yang diberikan kesempatan emas tinggal di luar negeri, namun kurang mampu menggunakan segala peluang dengan maksimal. Alih-alih ingin belajar dan mengembangkan diri, mereka datang dengan tujuan berbeda yang kadang mengukir persepsi buruk di negara tujuan. It's not my job to judge, tapi sebagai mantan au pair yang diberikan banyak kesempatan untuk eksplorasi, saya cukup menyayangkan. 

"Namanya hidup, banyak yang tak adil," ucap seorang teman saat saya tanyai pendapatnya.

Teruntuk kalian yang tak punya unfair advantage, hanya berhalusinasi dan mimpi memang tak akan membawa kita kemana-mana. Namun menjaga mimpi agar tetap hidup adalah salah satu bekal mememotivasi dan menginspirasi diri menjalani hidup lebih bermakna. Satu jalan tertutup, mudah-mudahan ada jalan lain yang terbuka. Kita yang tak dianugerahi hoki dan privilese ini harus berusaha berkali lipat untuk menyamakan nasib. Meski kita kalah dengan orang-orang yang punya keberuntungan ganda, namun selalulah percaya bahwa jika ada kemauan pasti ada jalan. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

emerge © , All Rights Reserved. BLOG DESIGN BY Sadaf F K.