Mengingat masa pertama kali kenal au pair 10 tahun lalu, sampai sekarang saya mengikuti perkembangannya dan selalu girang menuangkan tiap cerita lewat blog ini. Dari yang mulai au pair belum terlalu dikenal orang Indonesia, negara yang dulunya sebatas Jerman-Belanda-Prancis, lalu sekarang semakin banyak yang melihat program ini sebagai batu loncatan meninggalkan kampung halaman.
Waktu sudah mengubah banyak hal dan sayangnya, peraturan au pair yang dulunya cukup lenggang sekarang semakin diperketat. Bahkan ada negara yang mengusulkan untuk menghapuskan program ini selamanya karena dinilai hanya konsep perbudakan semata. Beberapa informasi yang saya bagikan di blog ini pun rasanya menjadi kurang relevan karena tulisan dibuat berdasarkan situasi dan kondisi saya dulu. Bukannya semakin ramah dan terbuka, jadi au pair di awal 2020-an malah lebih sulit.
Jadi membayangkan, kalau saya baru tahu program ini dan berniat hijrah juga ke tanah orang, apakah nasib saya masih akan seperti sekarang? Sepertinya, tidak.
Jadi au pair di tahun 2014 bagi saya adalah sebuah privilege. Saat itu au pair masih belum terkenal seperti sekarang, belum terlalu banyak drama yang terjadi antara au pair dan host family. Bisa dikatakan, saya sukses mengejar mimpi lanjut kuliah S2 di Norwegia dengan 'gratis' juga sebetulnya adalah hoki. Beberapa tahun setelahnya, terbukti syarat masuk banyak berubah dan kuliah di Norwegia juga tak gratis lagi untuk mahasiswa internasional.
But let’s put me in the future!
Katakanlah saya akan lulus kuliah tahun depan dan berniat lanjut au pair. Usia saya masih awal 20-an, masih ada kesempatan untuk menjejal banyak negara. Tak ada blog Art och Lingua, juga tak ada yang membeberkan separah apa kehidupan au pair secara gamblang. Beberapa informasi di internet memang sudah masif, mulai dari blog hingga vlog orang yang sudah duluan ke luar negeri. Namun berbeda dengan jalan saya 10 tahun lalu, banyak agensi gratis justru sudah tutup dan tak beroperasi lagi. Tapi ada agensi au pair berbayar yang bisa saya coba untuk menemukan keluarga. This would be challenging, tentu saja!
Baca juga: Agensi Au Pair Gratis
Pertama, tentu saya akan mempelajari lagi peraturan tiap negara dan memetakan peluang. Setelah dipersempit, negara yang akan jadi target adalah Belgia, Luksemburg, Swedia, Swiss, dan Denmark. Mengapa bukan Jerman atau Belanda layaknya banyak au pair lain, alasan saya juga masih sama seperti dulu. Jerman dan Belanda nyatanya tak menarik minat saya untuk tinggal, hanya liburan semata. Apalagi untuk ke Jerman, saya masih membutuhkan sertifikat bahasa. Ah sudahlah, coret!
Untuk pengalaman au pair pertama, mungkin saya lebih condong ke Belgia, Luksemburg, Swiss, atau Swedia yang sama-sama menawarkan pengalaman 1 tahun. Namun karena tertarik juga untuk tinggal di Denmark setelahnya, saya akan memilih Eropa Barat dulu sebagai tujuan pertama. Mengapa Denmark, karena dari semua negara yang tersisa, syarat jadi au pair ke Denmark masih masuk akal. Selain itu uang sakunya naik terus tiap tahun dan masa tinggal sampai 2 tahun bisa memperkaya pengalaman saya di Eropa.
Selanjutnya, mencari host family. Dulu saya menemukan keluarga di Belgia via Au Pair Support Belgium, sebuah agensi gratis yang sekarang sudah tak beroperasi lagi. Tapi syarat ke Belgia dari dulu masih wadidaw (baca: ribet!!!) karena mesti bolak-balik Jakarta untuk mengurus dokumen. Cari keluarga di Luksemburg dan Swiss juga kelihatannya cukup menantang karena tak banyak keluarga butuh au pair di negara sekecil Luksemburg, serta tak semua kanton di Swiss memperbolehkan orang Indonesia jadi au pair di wilayah mereka. Sementara Swedia kelihatannya lebih mudah karena agensi au pair di Skandinavia semisal Energy Au Pair, biasanya punya database keluarga yang cukup banyak. Namun sayangnya, waktu tunggu visanya itu sangat lama dan beberapa orang juga mengeluhkan keluarga yang tak sabar menunggu, hingga akhirnya putus kontrak di tengah jalan.
Entah berakhir di negara mana, but let's say I am done with first year. Tahun berikutnya target saya adalah Denmark atau sisa dari 3 pilihan negara lain. Cari keluarga di Denmark memang relatif lebih mudah karena negara ini semakin dikenal au pair Indonesia dan beberapa dari mereka juga menuangkan kisahnya via blog atau Youtube. Ada banyak kisah yang bisa saya pelajari dan tanyakan langsung ke mereka pengalaman real-nya. Sama seperti cerita saya di blog tentang Denmark yang punya reputasi buruk, para blogger dan vlogger lain pun sepakat bahwa kebanyakan host family di Denmark bukanlah orang-orang yang nice to live and work with. Entah saya berani mempertaruhkan 2 tahun melewati masa suram, atau memilih negara lain maksimal 1 tahun lagi. Lagipula, target saya sepertinya memang hanya ingin tinggal di 2 negara Eropa maksimal 2-3 tahun saja sebagai au pair. Belgia, Luksemburg, dan Swiss sama-sama punya kesamaan bahasa nasional yang masih relevan jika saya jadi au pair di salah dua negara tersebut.
Selanjutnya, karena masih ingin mengejar mimpi kuliah di luar negeri, mungkin saya sudah dibuat pusing di awal kemana akan melangkah 2-3 tahun berikutnya. Karena enggan mengeluarkan uang pribadi (dan tak punya juga), bisa dipastikan saya masih akan mengejar beasiswa untuk lanjut kuliah. Ke negara mana, yang pasti bukan ke Norwegia. Haha! Pilihan saya mungkin ke Austria, Spanyol, Inggris, atau beberapa negara di Asia; semisal Korea Selatan atau Jepang. Rencana ini sepertinya akan sama dengan rencana awal saya dulu selepas 3 tahun jadi au pair di Belgia dan Denmark. Saat itu saya sudah berusaha ikut tes IELTS di Denmark dan daftar beasiswa pemerintah Cina. Pun kalau tak dapat beasiswa, saya masih punya motivasi untuk cari kerja di Indonesia dan mencoba daftar beasiswa lagi kemudian hari.
Enough is enough, no more au pair!
Sepertinya pilihan hidup saya kali ini juga akan lebih mantap ketimbang dulu yang masih tarik ulur ingin lanjut stay di Eropa atau memilih jalan lain. Kalau dulu saya masih melihat au pair sebagai perpanjangan kesempatan untuk tinggal lebih lama di negara orang, kali ini sepertinya saya memang hanya ingin fokus ke tujuan awal; immersing the culture dan menelurkan pengalaman saja. Lanjut berkarir di luar negeri selepas kuliah bisa saya upayakan jika memang job opportunities-nya ada. Namun kalau tak ada pun, saya dari dulu memang sudah ancang-ancang untuk berkarir di Indonesia. Seorang teman yang dulunya au pair sudah mapan dapat kerjaan di Nestle Indonesia karena salah satunya, bisa menjual pengalaman dia di luar negeri. Bahkan ketika selesai au pair di Denmark beberapa tahun lalu pun, saya memang sudah dijejali teman untuk hijrah ke Bali dan mencari peruntungan internasional di sana. Seorang teman sekelas juga sempat menawari saya pekerjaan di sekolah internasional karena dinilai bahasa Inggris saya sudah bagus. So, kembali berkarir di Indonesia nyatanya tak seburuk itu.
Masalah asmara, siapa yang tahu. Tapi lagi-lagi, sepertinya prinsip hidup saya yang dulu dan sekarang juga tak banyak berubah. Kenal dan jalan dengan banyak cowok tak masalah sebagai pengalaman, namun untuk lanjut ke hubungan serius, saya masih menimbang dulu. Yang pasti, saya tak akan menjadikan mereka alasan utama menjamin saya tinggal lama di Eropa 😛
Jadi ya, begitulah. Kalau tak dapat hoki dan privilese seperti 10 tahun lalu, kemungkinan terbesar masa depan saya sekelar au pair ya cuma dua; berkarir di Indonesia atau lanjut kuliah dan berkarir di negara orang setelah lulus. Yang paling make sense sepertinya yang pertama, karena untuk dapat beasiswa pun saya mesti kompetitif dan kelihatannya rasa percaya diri saya masih loyo.
That's me!
Ketika menulis planning ini, saya sadar, ternyata Nin yang dulu dan Nin yang sekarang masih orang yang sama. I know exactly what I want dan kuncinya, jalani saja tiap proses sambil memilah mana opsi terbaik di depan mata.
⚘ ⚘ ⚘
BUUUUT! Itu kalau saya memang memulai petualangan au pair dengan usia yang sama seperti yang saya lakukan 9 tahun lalu. Awal 20-an, masih fresh baru lulus kuliah, masih haus petualangan dan cenderung naif. Bagaimana jika saya baru tahu au pair saat sudah 26 atau 27 tahun, misalnya? Would I still be the same?
Kelihatannya, I wouldn't even bother to try. Melihat jejak karir di Indonesia, kemungkinan di usia segitu saya sudah cukup terikat dengan pekerjaan dan tak ada niat meninggalkan karir yang sudah terbangun hanya untuk jadi au pair. Burnout sudah pasti. Haus akan tantangan baru, tentu saja. Tapi in the end, impian saya dari dulu sebetulnya hanya ingin lanjut kuliah di luar negeri. Persoalan bisa dapat kerja di negara orang setelahnya, hal tersebut sudah keberuntungan lain. Jadi kemungkinan terbesar, saya akan meninggalkan karir di Indonesia demi mengejar cita-cita lanjut kuliah. Rasanya rencana tersebut lebih masuk akal dan bisa membawa growth lebih besar di hidup saya.
Baca juga: Rencana Eks Au Pair Setelah Au Pairing?
Pun, kalau memang sangat tertarik untuk jadi au pair, saya hanya akan melakukannya selama 1 tahun selagi merombak rencana untuk cari beasiswa. Negara yang akan saya pilih juga hanya terbatas ke Swedia dan Luksemburg saja. Tapi Swedia sepertinya akan jadi pilihan utama. Terlebih, Swedia juga terkenal sebagai negara berkualitas di Eropa, baik untuk urusan hidup, pekerjaan, maupun pendidikan.
Mungkin semua rencana di atas terlihat lebih tertata karena saya sudah tahu apa yang saya mau dan cukup fokus saja mengejar jalannya. Tentu, meski manusia hanya bisa berencana, selalu ada keputusan besar lain yang terlibat di dalamnya.
Bagaimana dengan kalian sendiri? Kalau tak di posisi sekarang, who and where would you be?
Blognya bagusan dan simpel templatenya. Ehm...karena bukan orang yang bisa berandai-andai, mungkin tetap pilih jalan yang ada sekarang karena nggak kebayang yang lain ya. Mungkin imajinasi kurang tinggi...
BalasHapusIya, yang kemaren itu coding sendiri, berantakan banget. Ehh tapi aku udah pake template ini ampir setahunan, lho. Good to know kalo lebih simpel! :)
HapusMungkin bisa ditarik mundur ke belakang lagi, misalnya kamu gak kuliah di jurusan kuliah mu dulu? Atau mungkin, ada mimpi yang tertunda?
Hai Kak Nin, salam kenal. Aku sempat ngikutin blogmu sejak beberapa tahun lalu dan berpikir mau jadi au pair juga meski saat itu masih ngerasa gak pede dengan English, ditambah aku lulus pas zaman pandemi, hhh. Berselang tiga tahun kemudian, ketika mutusin "career break" dari pekerjaan yang cukup enak dan ngerasa Englishku lebih baik, aku kepikiran buat lanjutin mimpi ini lagi. Umurku masih 24, jadi pilihan yang bijak buatku mulai either Belgia/Belanda sebagai negara pertama (maks. umur au pair di Belanja jadi 25 tahun, hahaha). Aku baca hampir semua isi blogmu dari 10 tahun lalu, dan lagi berjuang nyari host family nih. Nggak tau berapa lama sampai aku bisa menjejakkan kakiku di benua biru, tapi terima kasih banyak sudah menulis informasi yang bermanfaat. At the same time, aku mau coba ngejar A1 Deutsch, karena siapa tau ternyata rezekinya di German/Austria, negara mana aja yang pertama manggil aku buat ke sana xD I couldn't thank you enough, and hopefully it'll bring me to success. Mohon doanya ya. Dan sehat selalu buatmu, semoga kalau ada kesempatan kita bisa ketemu :D
BalasHapusTengkyu banget Acipa udah ninggalin jejak di sini dan ngikutin cerita aku sejak beberapa tahun lalu :)
HapusSukses juga ya buat perburuan kamu mengejar host family sampe Eropa. Semoga jalan kamu terbuka lebar tahun ini, biar bisa menginjakkan kaki di Eropa secepatnya :) Karena usia kamu juga udah mepet 24, maka nyari hf di Belgia/Belanda mesti lebih diprioritasin. Soalnya kalo udah mepet banget dan amit2 dapet hf yang gak enak, kesempatan kamu ganti family pas udah di negaranya juga udah sulit.
Mungkin juga bisa melebarkan peta perburuan ke Luksemburg atau negara2 yang gak ada syarat bahasanya dulu biar kamu makin fokus. Soalnya kalo gak salah, Austria dan Jerman yang sama2 butuh sertifikat bahasa Jerman maksimal banget sampe 27 ya, CMIIW.
Tetap semangat ya merencanakan mimpi mu di Eropa, semoga tahun ini tahunnya kamu :)