Tahun ini adalah tahun paling produktif untuk saya karena banyaknya langkah dan perubahan yang terjadi sampai penghujung 2019. Saya yang dari dulu sadar bahwa au pair bukanlah kesempatan abadi sebagai pengganti karir, tentu saja selalu mencari peluang baru yang lebih baik. Dari coba-coba ikut tes pramugari Emirates hingga mendaftar kuliah lagi.
I did write and update my CV a looot this year! Tidak hanya untuk mendaftar kerja dan kuliah, tapi resume kerja adalah cermin bagi saya untuk mengukur diri, how far I have stepped by now. Lima tahun jadi au pair bukanlah waktu yang sebentar. Saat teman-teman saya di Indonesia sudah menapaki karir yang stabil, saya di sini masih saja berkutat dengan popok bayi dan vacuum cleaner setiap hari. Di satu sisi, saya bersyukur bisa mendapatkan pengalaman priceless yang belum tentu semua teman saya dapatkan. Tapi di sisi lain, saya bingung, apa hal yang bisa dijual ke employer selama 5 tahun ini?! Dibandingkan dengan rata-rata orang-orang Eropa, I have no enough education and skills!
Setelah 2 tahunan ini mencoba selalu memperbarui CV, saya sadar sebetulnya pengalaman jadi au pair itu cukup menjual, lho! Bagi kalian yang sekarang jadi/akan jadi au pair, jangan malu mencantumkan pengalaman ini di resume kerja. Tapi, jangan juga sampai salah langkah karena bisa jadi poin minus bagi employer!
1. Mention these skills
Saat ikut tes pramugari Emirates beberapa waktu lalu, saya menelusuri kata-kata kunci yang mungkin bisa cocok dengan segala pengalaman saya selama ini. Sebagai pramugari yang selalu berurusan dengan penumpang berbeda background, tentu saja perusahaan penerbanganan internasional membutuhkan seseorang yang service-minded, bisa menguasai bahasa asing, mudah beradaptasi, serta mampu mengendalikan homesickness dan kesendirian.
Dilihat dari pengalaman kita sebagai au pair, ada banyak soft skills yang sebetulnya dicari perusahaan. Contohnya;
- Kemampuan berkomunikasi; tidak hanya pencapaian kita menguasai bahasa asing, tapi juga kemampuan mendengar, merasakan, mengobservasi, serta mengutarakan pendapat terhadap lingkungan yang sama sekali berbeda dari tempat asal kita.
- Cultural awareness; membuat kita tidak serta merta menutup diri dari lingkungan baru, tapi juga berusaha menghargai dan menerima perbedaan di luar ranah nyaman selama ini.
- Adaptability; bukan hanya terhadap makanan, budaya, tradisi, cuaca yang berbeda, namun pengalaman dan tantangan baru di negara asing menjadikan diri kita lebih berkembang, along with resilience.
- Self-awareness; melatih diri kita untuk melihat dunia dari perspektif yang lebih luas tanpa bias dengan apa yang sudah kita yakini.
- Self-reliance; karena semuanya tidak akan berjalan dengan rencana, dari host kids yang bandel sampai host parents yang pelit. Namun karena yakin bisa menghadapi semuanya, akhirnya ada rasa kepercayaan diri yang tertanam untuk mendorong diri untuk terus berkembang meskipun sempat melakukan kesalahan.
Sebagai pendahuluan, kita juga bisa menuliskan "A young professional with 3 years experience of being a kindergarten teacher and having international experience of cultural exchange in Finland."
2. Au pair is NOT a job!
Meskipun harus dapat working permit dulu, bayar pajak, serta diperlakukan layaknya pekerja, namun jangan pernah tuliskan pengalaman au pair di bagian "professional working experience". Mengapa, karena sejatinya au pair itu memang bukan pekerjaan, namun hanya program pertukaran budaya.
Awalnya saya sempat menuliskan au pair sebagai pengalaman profesional, namun semakin kesini, saya merasa hal tersebut justru tidak tepat. Host family memanglah employer yang punya kewajiban memberi kita uang saku, namun bukan real employer yang HRD perusahaan ingin tahu.
Dari pembelajaran ini saya akhirnya menaruh posisi au pair di bagian "additional experience" di bawah "pengalaman kerja". Tidak perlu tulis nama host family, cukup jelaskan 1 kalimat saja apa itu au pair, dimana, kapan. Contohnya, "Au pair - a cultural exchange programme in the Netherlands where I lived with a host family to learn their culture and Dutch for a year."
3. Employers don't want to know what you have done
Meneruskan poin ke-2, mengapa saya taruh pengalaman au pair sebagai "additional experience", karena sejatinya part-time domestic job tidak terlalu menjual ke perusahaan. Mereka tidak perlu tahu berapa banyak popok yang kita ganti seharian, berapa sering kita mencuci baju keluarga angkat dalam seminggu, ataupun seberapa pandai kita masak makan malam untuk satu keluarga.
No, they don't want to know those things!
Seorang teman saya sempat mencantumkan au pair ini di bagian "professional experience" saat mencari kerja di Indonesia. Awalnya memang lancar karena si teman sudah sampai tahap interview. Sayangnya, di bagian inilah teman saya ditanya-tanya soal pengalamannya au pair yang sebetulnya tak sampai 1 tahun itu.
"Oh jadi sekolah tinggi-tinggi, lalu selama setahun ke belakang cuma jadi pembantu ya di negara orang?" kata si pewawancara. Tajam.
"Bukan, Bu. Itu sebetulnya juga sekalian pertukaran budaya."
"Ya, tetap saja. Intinya kan tinggal di rumah orang, lalu bantu bersih-bersih."
Make sense! Tapi mungkin wording teman saya di resume kerjanya tidak tepat sehingga menimbulkan pernyataan demikian dari si pewawancara. Tidak semua orang di dunia ini tahu apa itu au pair. Ketimbang menjelaskan rentetan pekerjaan, sebaiknya tuliskan saja pencapaian kita selama jadi au pair. Contoh, "A culture exchanging in Norway where I am learning Norwegian in intermediate level and facing the diversity by living with a native host family."
Kalau kamu berniat jadi guru di TK internasional, bolehlah sekalian mencantumkan sedikit deskripsi seperti; "worked with children from age 0-8 years to assist their daily routines" atau "taught French kids English and Indonesian as an exchange of French culture in daily life".
4. Sell the experience, not the job desc
Saat menulis cover letter untuk syarat mendaftar kuliah S2 di Universitas Oslo, saya dibuat pusing juga dengan pencapaian saya selama ini. Okelah, cover letter-nya memang berbau akademis yang mana saya juga bisa bercerita tentang pengalaman kerja dan ekstrakurikuler saat kuliah dulu. Tapi bukankah akan jadi tanda tanya juga "mengapa bisa jadi au pair sampai 5 tahun??!!". Tak ada pengalaman profesional setelah itu. Stuck jadi au pair!
Tapi meskipun pusing juga ingin menulis apa, untungnya saya cukup aktif dan oportunis selama tinggal di Eropa ini. Tidak hanya datang ke sekolah bahasa, tapi saya juga coba belajar menggambar dari kelas seni di Ghent, ikut kelas desain di Kopenhagen, sampai tak pernah absen ikut kegiatan volunteering dalam satu tahun. I know being an au pair alone is not getting me to the peak!
Saya sarankan juga bagi kalian untuk tidak hanya jadi "au pair biasa". Terus kembangkan diri, temukan passion dan belajarlah hal baru setiap waktu selama kita masih tinggal di negara orang ini. Datangi konferensi dan seminar, ikutlah volunteering untuk belajar teamwork dan branding management, serta cobalah belajar bahasa dengan serius. Banyak sekali kesempatan yang tak akan saya temui jika tinggal di Palembang, makanya kapan lagi ikut banyak kegiatan dengan world-class setting seperti ini. Hasilnya, sungguh worth-it! Bukan soal au pair yang saya tuliskan di cover letter, tapi pengalaman selama mengikuti kegiatan sukarelawan yang banyak sekali korelasinya dengan dunia kerja.
Kalau kamu ada kesempatan ikut kursus programming atau sempat punya projek kecil-kecilan dengan teman-teman lain, don't hesitate untuk juga mencantumkannya di resume kerja. Cara paling sederhana lainnya menurut saya adalah dengan ikut lomba dan kompetisi yang sesuai dengan bakat. Tahukah kamu kalau banyaknya prestasi yang kita raih juga bisa jadi professional portfolio ke depannya? Suka menulis, ikutlah kompetisi menulis. Suka membuat video, ikutlah kompetisi film pendek! And so on..
Trust me, it is definitely worth it!
(Coba juga ikutan kompetisi menulis & ilustrasi "My Final Year" 2019 ini, siapa tahu kamu menang paket hadiah dari Skandinavia plus award-nya bisa jadi portfolio kerja!)
5. Tie the competence
Tidak semua mantan au pair bangga dengan titel "au pair" ini. Atau bisa jadi juga, simpelnya karena malu jadi au pair. Tidak semua mantan au pair juga ingin mencantumkan pengalaman au pairnya di resume kerja mengingat mungkin adanya ekspektasi berlebih dari employer di Indonesia.
Seorang teman saya yang lain menolak untuk menuliskan pengalamannya ini di CV kerja. Alasannya karena takut para HRD perusahaan memandangnya overqualified hanya gara-gara pernah tinggal di luar negeri. Takut juga kalau si teman saya ini ingin minta gaji tinggi hanya karena sudah punya pengalaman internasional.
Well, that's totally up to you! Saya juga merasa bahwa tidak semua pekerjaan punya keterikatan dengan au pair ini. Banyak perusahaan yang tak peduli dengan pengalaman internasional. Banyak juga dari mereka yang lebih mengutamakan pengalaman profesional ketimbang deretan pengalaman lain yang tak ada kualifikasinya sama sekali dengan pekerjaan yang kita tuju.
Saya, karena sudah 5 tahun ini jadi au pair, mau tidak mau harus mencantumkan juga apa yang saya lakukan selepas lulus kuliah. On that's why, saya butuh ilmu dan skill tambahan setelah jadi au pair. Karena pengalaman jadi au pair sendirian bisa useless jika tidak didampingi pengalaman profesional dan kemampuan lainnya.
6. Host family could be our referee
Tahu kah kalian bahwa host family yang juga statusnya sebagai employer, bisa kita mintai surat rekomendasi sekiranya diperlukan dalam penulisan resume? Tak harus saat melamar pekerjaan, di beberapa kesempatan seperti contohnya melamar beasiswa ataupun cari kontrakan, kadang kita juga harus melampirkan surat rekomendasi dari seseorang yang kenal kita dengan cukup baik.
Happy writing and keep updating your CV!
Komentar
Posting Komentar