Langsung ke konten utama

Sebuah Privilese: Kursus Bahasa Gratis



Menghitung privilese, tak harus selalu berhubungan dengan harta kekayaan orang tua ataupun networking orang dalam. Jadi au pair pun juga banyak perks dan privilesenya. Tak perlu jadi Raffi Ahmad dulu untuk bisa diajak ski ke Zermatt. Tak perlu jadi selebgram dulu untuk bisa mengunjungi kebun anggur di Eropa Selatan sambil berpose minum wine ala model. Juga tak perlu jadi anak sultan dulu untuk punya kamar luas bak hotel bintang lima. Kalau kebetulan dapat host family kaya raya, itulah beberapa dari banyak privilese yang bisa au pair dapatkan!

Tapi saya tak ingin membahas soal enaknya jadi au pair karena kemewahan tersebut. Banyak juga au pair yang tinggal dengan keluarga pas-pasan dan tak pernah mencicipi kehidupan mentereng, tapi tetap bahagia. Salah satu hal yang membuat saya bahagia selama jadi au pair justru adalah bisa kursus bahasa gratis! Bagi saya, jadi au pair itu tak selalu menyangkut jaga anak, beres-beres rumah, jalan-jalan keliling Eropa, have fun dengan geng teman bule, ataupun dating dengan para cowok Kaukasia. Tapi juga belajar, entah itu kebudayaan ataupun bahasa baru.


Meskipun tak bisa disandingkan dengan para mahasiswa yang menempuh pendidikan bergelar, namun kesempatan belajar bahasa asing langsung di negaranya merupakan hal yang tak boleh dilewatkan selama jadi au pair. Tak dapat gelar, setidaknya kita bisa menyelesaikan kontrak dengan memegang sertifikat bahasa yang juga punya power untuk mempercantik CV

Kebetulan memang ingin meningkatkan kemampuan bahasa asing selain Inggris, saya beruntung bisa belajar 3 bahasa baru secara gratis selama tinggal di Eropa. Dua host family di Belgia sangat bertanggungjawab mencarikan sekolah untuk belajar bahasa Belanda. Zaman saya au pair dulu, sekolah bahasa milik kotamadya seperti ini harganya masih €75 per level (non-intensif). Sementara di Denmark, meskipun dulu biaya kursus masih ditanggung negara, namun host family memang diwajibkan membiayai kursus au pair mereka yang biayanya sekarang mencapai DKK 18.000 (2021) atau sekitar IDR 42 juta. Sama seperti di dua negara lainnya, di Norwegia pun saya didukung penuh oleh host family secara material untuk belajar bahasa lokal. Meskipun, banyak keluarga sebetulnya juga mendukung keputusan au pair yang enggan belajar. Lumayan, tak perlu repot-repot keluar uang percuma dari sisi mereka.

Namun kalau boleh memilih, saya lebih baik keluar belajar ketimbang hanya berdiam diri di rumah menunggu host family pulang. Terlepas dari misi ingin menambah kompetensi, bagi saya sekolah bahasa adalah playground untuk bersosialisasi dan tempat pelarian dari tugas rumah. Di sisi lain, keluarga juga punya kewajiban membayari kita sekolah bahasa yang sayang saja jika fasilitas tersebut tak dimanfaatkan.


Di Denmark, saya memulai kelas bahasa dari Modul 1 sampai Modul 4 dengan teman sekelas yang sama. Sejujurnya, mereka adalah teman sekolah bahasa terbaik yang pernah saya kenal selama tinggal di Eropa. Tak hanya di kelas, kami sering merayakan ulang tahun bersama, makan siang di luar, curhat masalah keluarga, sampai nge-bully teman sekelas yang kami nilai aneh (meskipun in a cheeky way, tapi tidak untuk dicontoh ya 😜). Padahal usia kami sangat beragam dari belasan sampai nenek-nenek, namun tetap saja koneksi terjalin dengan sangat baik. 


Teman sekelas di Modul 4 saat praktek Speaking ke supermarket

Pindah ke Norwegia, saya belajar bahasa baru lagi masih dengan dana dari host family. Berbeda dengan Denmark yang kurikulum sekolahnya terbilang cukup lambat namun sangat terstruktur, di Norwegia kursus bahasa dijadikan komoditas bagi foreigners. Harga kursus di sini tentu saja tidak murah dan ada banyak level yang durasi belajarnya hanya 1,5 bulan dengan intensitas 2 kali per minggu. Karena dibayari, tentunya saya ingin memilih sekolah bahasa terbaik atau setidaknya banyak direkomendasikan orang-orang. Di tahun 2018, sekolah bahasa yang saya datangi satu level harganya masih NOK 4760*. Sementara dalam satu tahun, host family di Norwegia wajib mengeluarkan dana minimal NOK 8400 termasuk uang buku. Lumayan juga jika harus merogoh kocek sendiri karena harga bukunya pun sangat mahal!

*1 NOK = 1.708 Rupiah atau 10.14 NOK = 1 Euro (kurs saat menulis tulisan ini)

Selepas jadi au pair dan tak punya cukup uang meneruskan ke level selanjutnya, lagi-lagi sebuah keberuntungan bisa meneruskan Level 2 di kampus. Bagi kalian yang sedang atau akan menempuh studi di Norwegia, ada banyak kampus negeri yang menawarkan mata kuliah tambahan untuk program Norwegian for International Students secara cuma-cuma. Tak sama seperti sekolah bahasa di luar yang kurikulumnya cukup terburu-buru, bahasa Norwegia yang diajarkan di universitas lebih terstruktur dengan tambahan kredit 5-20 ECTS. Durasi belajarnya pun lebih panjang 4-5 bulan mengikuti masa semester perkuliahan.


Di banyak kampus, subjek Bahasa Norwegia ini juga tak hanya Level 0-3, tapi tersedia sampai Level 4 yang difokuskan pada latihan bicara dan menulis. Mata kuliahnya pun cukup luas; dari kehidupan sosial, budaya, fonetik, sampai Nynorsk! Jadi meskipun gratis, kualitas yang diberikan juga tak abal-abal. Kalau bukan kuliah master yang cuma 2 tahun, rasanya ingin sekali mengambil semua mata kuliah penting tersebut sampai betul-betul menelan semua ilmunya. Mumpung gratis 😁

Satu lagi kabar baiknya, sertifikat bahasa Norwegia yang dikeluarkan oleh universitas juga diakui oleh institusi pendidikan lain dan badan imigrasi negara! Saya kurang tahu di universitas lain, namun di Universitas Oslo (UiO), mereka menyediakan mata kuliah Social Studies sebanyak 10 ECTS yang kreditnya bisa digunakan sebagai pengecualian saat pendaftaran aplikasi permanenet residence (PR) dan ganti kewarganegaraan. Jika ingin kursus di luar, harganya dimulai dari NOK 2900. Sementara jika harus tes, harga ditentukan oleh kotamadya setempat yang harga tesnya saja berkisar NOK 300-2200.

Selain itu, jika kita lulus tes Level 3 yang diselenggarakan oleh universitas, transkrip nilainya juga bisa digunakan sebagai syarat pendaftaran ke kampus berbahasa pengantar Norwegia pun sebagai kelengkapan aplikasi PR dan citizenship. Mengapa, karena Level 3 merupakan Advanced Level (B2/C1) yang bisa disejajarkan dengan Bergentest.

Bergentest adalah tes berskala nasional dan merupakan prasyarat bagi para non-natives yang ingin belajar di lembaga pendidikan tinggi di Norwegia atau sebagai opsi syarat aplikasi izin tinggal dan ganti kewarganegaraan. Yang saya dengar, di luar sana lulus tes ini tak mudah dan banyak orang bisa sampai berkali-kali mencoba. Tak hanya sulit, harga tesnya juga tak murah! Untuk satu kali tes lisan dan tulisan, kita harus membayar sekitar NOK 3500 dan tambahan biaya kursus Level B2 sekitar NOK 6900, jika harus persiapan kursus dulu. 

Beberapa minggu lalu saya menonton video salah seorang mantan au pair dari Filipina yang sekarang sedang studi keperawatan di Oslo Metropolitan University. Karena selalu gagal tes, doi memutuskan untuk mengambil kursus bahasa Norwegia Level 3 di UiO karena programnya sudah termasuk tes. Untuk non-mahasiswa setempat, pendaftar diwajibkan mengambil program berbeda bersubjek Norwegian for Academics (NORA) dengan biaya NOK 15.800 (sekitar IDR 27 juta) ditambah biaya semester NOK 840 selama studi di UiO. It's huge! Namun katanya, uang yang dikeluarkan juga cukup worth-it karena UiO tidak terlalu strict saat ujian dan bisa lulus dengan 'gampang'. Bisa jadi terlihat mudah mungkin karena syarat kelulusan sebetulnya cukup dapat nilai D. Dari skala nilai A-F, yang berarti F adalah gagal, standar nilai universitas hanya menekankan mahasiswa untuk tak sampai dapat nilai E pada subjek ini. Di luar semua asumsi, sayang sekali sudah keluar uang sebanyak itu kalau ujung-ujungnya gagal juga!

Baca juga: Exam!!

One more unlocked privilege: ketika orang lain berusaha keras belajar bahasa Norwegia sampai rela mengeluarkan uang sebanyak itu untuk mendapatkan sertifikat kelulusan, saya bisa mendapatkan semuanya dengan gratis! Tinggal seserius apanya saya, karena sejujurnya, belajar bahasa itu tidak pernah mudah. Di semester ini, mungkin saya lebih condong bersikap oportunis ketimbang serius. Sulit sekali rasanya berinteraksi dengan teman sekelas via Zoom yang kadang berakhir dengan obrolan kriik kriik di Breakout Room. Belum lagi jadwal saya terasa sesak dengan harus membagi waktu antara tesis, kerja, dan kursus bahasa. Level 3 ini jumlah kreditnya 20 ECTS dan tugasnya banyak sekali! Tidak hanya satu, saya juga mengambil mata kuliah lain yaitu Phonetics. Poin paling penting, kita tidak akan bisa langsung lancar hanya gara-gara sudah sampai level ini. Makanya belajar mandiri plus sering latihan sehari-hari harus dipraktekan secara paralel.

Pernah beberapa kali rasanya ingin withdraw dan fokus saja tesis dan kerja. Namun saya urungkan, karena terlalu sayang kesempatannya. Malas sekali kalau suatu hari harus belajar dan tes lagi di luar hanya demi dapat sertifikat kelulusan. Terlepas kredit nilainya bisa jadi kelengkapan syarat daftar PR, ganti kewarganegaraan, atau kuliah di Norwegia, saya sebetulnya sangat menikmati sistem pembelajaran bahasa Norwegia dari kampus. Di sisi lain, dosennya juga sangat sabar dan cekatan dalam mengajar. Berbeda sekali dengan salah satu sekolah bahasa berbayar yang pernah saya datangi, namun gurunya terkesan kurang serius dan profesional. 

⚘ ⚘ ⚘

Saya paham, tak semua au pair dan mahasiswa asing punya motivasi yang sama dalam melihat kesempatan belajar bahasa gratis ini. Selain dinilai buang-buang waktu, banyak juga yang menganggap bahwa bahasa lokal tak punya peranan lebih terhadap masa depan mereka. Orang yang sudah jelas tak mau tinggal lama di Belanda, belum tentu ingin belajar bahasa Belanda selama jadi au pair. Mahasiswa asing yang tak melihat prospek kerja di Norwegia, belum tentu juga ingin buang-buang energi belajar bahasa lokal di kampus. Tak masalah, karena visi orang tentu beda-beda.

Tapi saran saya, berusahalah memanfaatkan semua benefit selama tinggal di negara orang. Jangan sampai dua tahun lewat, lalu di akhir masa perkuliahan atau kontrak au pair baru sadar bahwa belajar bahasa lokal sangat berguna. Beberapa kali saya temui orang yang keteteran harus menyertakan sertifikat bahasa lokal sebagai syarat aplikasi izin tinggal. Ada juga yang kemarin setelah lulus kuliah baru sadar bahwa untuk menembus job market, kecakapan bahasa sangat dibutuhkan. Negara pasti sangat menghargai warga asing yang mau belajar bahasa mereka meskipun masih terbata-bata, kokBecause you know what, integration is a must! 😊



Komentar

  1. Terlepas dari sekolah bahasanya gue pengen komen yang jalan-jalan ke zermattnya, gila hostel kelas dormitorynya aja mahal banget gitu, belum transportnya.. lalu yang di perancis juga wow. Mau bilang you are lucky Nin dapet host yg norway ini ya meskipun aku tau juga, ke zermatt dan perancis tetep aja kamu kerja huhu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bangeeeet, Um!! Sebuah keberuntungan yang sangat hakiki memang, meskipun pada dasarnya sedang 'business trip'! Karena aku pun juga merasa, tanpa mereka, kayaknya tau Zermatt pun enggak akunya.

      Hapus
    2. Saya tau Zermatt dari blog kak Nin :) walaupun entah kapan bisa kesana keburu abis umur pas corona beres.

      Anyway Topik membagi waktu antara tesis, kerja, dan kursus bahasa sepertinya akan menarik kak.

      Hapus
    3. Iya. Udah pengen banget nulis blog lagi sebetulnya. Banyak banget yang pengen diceritain. tapi waktunya beneran lagi gak pas ini :c Nanti deh, kalo ada waktu aku sengaja luangin ya :)

      Hapus
  2. Belajar bahasa baru itu emang ngga pernah rugi. Apalagi yang kalau sudah menentukan mau tinggal di sebuah negara lebih lama dari 2-3 tahun, ya masa enak gitu ke supermarket ngga ngerti label2 produk, atau baca koran / nonton berita tv ngga ngerti apa yang diomongin. Ada banyak banget tapi yang kek gitu sih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Banyak yang sombong, Ce! xD
      Mentang2 orang Skandinavia pada casciscus Inggrisnya :)

      Hapus
  3. Hi mba Nin, akhirnya bisa komen lagi, sesak nafas baca previous post-nya mba, but as usual you are amazing mbaaa, mungkin aku udah nggak tahu ngapain kalau diposisi itu. Tetap cemerlang mba Nin, God bless you.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waduh, jangan sampe sesak napas dong ;)
      Semoga ceritanya menginspirasi ya. Tetap gak ada yang mudah di dunia ini.

      Makasih banyak semangatnya!

      Hapus
  4. Ajak aku dong Kak...
    Salam kenal yaak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sesuai nama kamu..

      Salam kenal! ;)

      Hapus
  5. Hallo Kak Nin!
    Wah makin seru ceritanya!
    Semangat nulisnya ya 🌻

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tengkyu udah mampir! Ditungguin terus ya postingan terbarunya :)

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bule Ketemu Online, Bisakah Serius?

( PERHATIAN!!! SAYA BANYAK SEKALI MENERIMA TESTIMONIALS SOAL COWOK-COWOK DARI INGGRIS YANG MEMINTA ALAMAT SI CEWEK YANG DIKENAL VIA ONLINE. FYI , HAMPIR SEMUA MODUS PENIPUAN SEPERTI INI BERASAL DARI INGGRIS DAN AMERIKA! JANGAN PERNAH TERTIPU KEMASAN KULIT PUTIHNYA, KARENA BISA JADI YANG KALIAN AJAK CHATTING -AN ATAU VIDEO CALL -AN ITU ADALAH PENIPU !! JANGAN PERNAH BERI DATA DIRI SEPERTI NAMA LENGKAP, ALAMAT, SERTA NOMOR IDENTITAS ATAU KARTU KREDIT KE ORANG-ORANG ASING LEWAT DUNIA DIGITAL! BE SMART, BE AWARE, AND PLEASE JANGAN DULU BAPERAN KALO ADA YANG MENGAJAK NIKAH PADAHAL BARU SEMINGGU KENAL!!!) Selain berniat jadi au pair, ternyata blog saya banyak dikunjungi oleh cewek-cewek Indonesia yang ingin pacaran atau sedang dekat dengan bule. Gara-gara tulisan tentang cowok Eropa dan cowok Skandinavia , banyak pembaca blog yang mengirim surel ke saya dan curhat masalah cintanya dengan si bule. Aduh, padahal saya jauh dari kata "ahli" masalah cinta-cintaan. Saya sebetu

Mempelajari Karakter Para Cowok di Tiap Bagian Eropa

*I talk a lot about European boys in this blog, but seriously, this is always the hottest topic for girls! ;) Oke, salahkan pengalaman saya yang jadi serial dater  selama tinggal di Eropa. Tapi gara-gara pengalaman ini, saya juga bisa bertemu banyak orang baru sekalian mempelajari karakter mereka. Cowok-cowok yang saya temui ini juga tidak semuanya saya kencani. Beberapa dari mereka saya kenal saat workshop, festival, ataupun dari teman. Beruntung sekali, banyak juga teman-teman cewek yang mau menceritakan pengalamannya saat berkencan dari cowok ini, cowok itu, and all of them have wrapped up neatly in my head! Secara umum, tulisan yang saya ceritakan disini murni hasil pengalaman pribadi, pengalaman teman, ataupun si cowok yang menilai bangsanya secara langsung. Letak geografis Eropanya mungkin sedikit rancu, tapi saya mengelompokkan mereka berdasarkan jarak negara dan karakter yang saling berdekatan. Kita semua benci stereotipe, tapi walau bagaimana pun kita tetaplah bagi

7 Kebiasaan Makan Keluarga Eropa

Tiga tahun tinggal di Eropa dengan keluarga angkat, saya jadi paham bagaimana elegan dan intimnya cara makan mereka. Bagi para keluarga ini, meja makan tidak hanya tempat untuk menyantap makanan, tapi juga ajang bertukar informasi para anggota keluarga dan pembelajaran bagi anak-anak mereka. Selain table manner , orang Eropa juga sangat perhatian terhadap nilai gizi yang terkandung di suatu makanan hingga hanya makan makanan berkualitas tinggi. Berbeda dengan orang Indonesia yang menjadikan meja makan hanya sebagai tempat menaruh makanan, membuka tudung saji saat akan disantap, lalu pergi ke ruang nonton sambil makan. Selama tinggal dengan banyak macam keluarga angkat, tidak hanya nilai gizi yang saya pelajari dari mereka, tapi juga kebiasaan makan orang Eropa yang sebenarnya sangat sederhana dan tidak berlebihan. Dari kebiasaan makan mereka ini juga, saya bisa menyimpulkan mengapa orang-orang di benua ini awet tua alias tetap sehat menginjak usia di atas 70-an. Kuncinya, pola

Guide Untuk Para Calon Au Pair

Kepada para pembaca blog saya yang tertarik menjadi au pair, terima kasih! Karena banyaknya surel dan pertanyaan tentang au pair, saya merasa perlu membuat satu postingan lain demi menjawab rasa penasaran pembaca. Mungkin juga kalian tertarik untuk membaca hal-hal yang harus diketahui sebelum memutuskan jadi au pair  ataupun tips seputar au pair ? Atau mungkin juga merasa tertantang untuk jadi au pair di usia 20an, baca juga cerita saya disini . Saya tidak akan membahas apa itu au pair ataupun tugas-tugasnya, karena yang membaca postingan ini saya percaya sudah berminat menjadi au pair dan minimal tahu sedikit. Meskipun sudah ada minat keluar negeri dan menjadi au pair, banyak juga yang masih bingung harus mulai dari mana. Ada juga pertanyaan apakah mesti pakai agen atau tidak, hingga pertanyaan soal negara mana saja yang memungkinkan peluang kerja atau kuliah setelah masa au pair selesai. Oke, tenang! Saya mencoba menjabarkan lagi hal yang saya tahu demi menjawab rasa penasar

First Time Au Pair, Ke Negara Mana?

Saya ingat betul ketika pertama kali membuat profil di Aupair World, saya begitu excited memilih banyak negara yang dituju tanpa pikir panjang. Tujuan utama saya saat itu adalah Selandia Baru, salah satu negara impian untuk bisa tinggal. Beberapa pesan pun saya kirimkan ke host family di Selandia Baru karena siapa tahu mimpi saya untuk bisa tinggal disana sebentar lagi terwujud. Sangat sedikit  host family dari sana saat itu, jadi saya kirimkan saja aplikasi ke semua profil keluarga yang ada. Sayangnya, semua menolak tanpa alasan. Hingga suatu hari, saya menerima penolakan dari salah satu keluarga yang mengatakan kalau orang Indonesia tidak bisa jadi au pair ke Selandia Baru. Duhh! Dari sana akhirnya saya lebih teliti lagi membaca satu per satu regulasi negara yang memungkinkan bagi pemegang paspor Indonesia. Sebelum memutuskan memilih negara tujuan, berikut adalah daftar negara yang menerima au pair dari Indonesia; Australia (lewat Working Holiday Visa ) Austria Amerika